Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pamer di Medsos dari Perspektif Psikologi, Sosial dan Spiritual

16 Oktober 2024   15:24 Diperbarui: 16 Oktober 2024   15:43 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PAMER DI MEDSOS DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI, SOSIAL & SPIRITUAL

Di era digital yang serba cepat ini, banyak dari kita yang tidak bisa lepas dari media sosial. Setiap momen kehidupan, dari yang sepele hingga yang monumental, sering kali dipamerkan di platform-platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook. 

Kita melihat makanan yang akan disantap, pakaian yang baru dibeli, atau bahkan prestasi dan perasaan terdalam yang ingin dibagikan kepada dunia. 

Namun, ada satu pertanyaan besar: Mengapa kita merasa terdorong untuk “pamer”? Apakah ini hanya sekadar bagian dari modernitas, atau ada sesuatu yang lebih dalam terjadi di balik fenomena ini?

Artikel ini akan membahas fenomena "pamer" di media sosial dari sudut pandang psikologis, teori sosial, serta membandingkannya dengan prinsip-prinsip spiritualitas dan agama. Kita akan memahami mengapa manusia semakin haus akan pengakuan, bagaimana teknologi berperan dalam hal ini, serta bagaimana kita dapat menemukan keseimbangan antara kebutuhan untuk berbagi dan kesadaran diri yang sejati.

Pamer Sebagai Kebutuhan Psikologis: Penguatan Narasi Diri

Dalam psikologi, salah satu teori yang paling relevan untuk memahami perilaku pamer di media sosial adalah *self-presentation theory* (teori presentasi diri). Teori ini menjelaskan bahwa setiap individu secara sadar atau tidak sadar selalu berusaha membentuk persepsi orang lain terhadap dirinya. Kita ingin terlihat baik, sukses, menarik, atau unik di mata orang lain karena ini memperkuat konsep diri kita.

Ahli psikologi sosial, Erving Goffman, dalam bukunya *The Presentation of Self in Everyday Life* (1959) menggambarkan bahwa hidup manusia bagaikan panggung teater, di mana kita terus-menerus memainkan peran untuk disaksikan oleh orang lain. 

Di media sosial, platform-platform ini menjadi panggung virtual di mana kita bisa memilih apa yang ingin kita tunjukkan dan bagaimana kita ingin dilihat. Tidak ada batasan waktu, tempat, atau konteks, sehingga kita dapat dengan mudah membangun narasi diri yang sempurna, walau seringkali tidak sesuai dengan kenyataan.

Namun, perilaku ini tidak selalu membawa dampak positif. Sebuah studi yang dipublikasikan di *Journal of Social and Clinical Psychology* pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan, khususnya untuk membandingkan diri dengan orang lain, dapat memicu perasaan rendah diri, kecemasan, hingga depresi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun