PAMER DI MEDSOS DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI, SOSIAL & SPIRITUAL
Di era digital yang serba cepat ini, banyak dari kita yang tidak bisa lepas dari media sosial. Setiap momen kehidupan, dari yang sepele hingga yang monumental, sering kali dipamerkan di platform-platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook.
Kita melihat makanan yang akan disantap, pakaian yang baru dibeli, atau bahkan prestasi dan perasaan terdalam yang ingin dibagikan kepada dunia.
Namun, ada satu pertanyaan besar: Mengapa kita merasa terdorong untuk “pamer”? Apakah ini hanya sekadar bagian dari modernitas, atau ada sesuatu yang lebih dalam terjadi di balik fenomena ini?
Artikel ini akan membahas fenomena "pamer" di media sosial dari sudut pandang psikologis, teori sosial, serta membandingkannya dengan prinsip-prinsip spiritualitas dan agama. Kita akan memahami mengapa manusia semakin haus akan pengakuan, bagaimana teknologi berperan dalam hal ini, serta bagaimana kita dapat menemukan keseimbangan antara kebutuhan untuk berbagi dan kesadaran diri yang sejati.
Pamer Sebagai Kebutuhan Psikologis: Penguatan Narasi Diri
Dalam psikologi, salah satu teori yang paling relevan untuk memahami perilaku pamer di media sosial adalah *self-presentation theory* (teori presentasi diri). Teori ini menjelaskan bahwa setiap individu secara sadar atau tidak sadar selalu berusaha membentuk persepsi orang lain terhadap dirinya. Kita ingin terlihat baik, sukses, menarik, atau unik di mata orang lain karena ini memperkuat konsep diri kita.
Ahli psikologi sosial, Erving Goffman, dalam bukunya *The Presentation of Self in Everyday Life* (1959) menggambarkan bahwa hidup manusia bagaikan panggung teater, di mana kita terus-menerus memainkan peran untuk disaksikan oleh orang lain.
Di media sosial, platform-platform ini menjadi panggung virtual di mana kita bisa memilih apa yang ingin kita tunjukkan dan bagaimana kita ingin dilihat. Tidak ada batasan waktu, tempat, atau konteks, sehingga kita dapat dengan mudah membangun narasi diri yang sempurna, walau seringkali tidak sesuai dengan kenyataan.
Namun, perilaku ini tidak selalu membawa dampak positif. Sebuah studi yang dipublikasikan di *Journal of Social and Clinical Psychology* pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan, khususnya untuk membandingkan diri dengan orang lain, dapat memicu perasaan rendah diri, kecemasan, hingga depresi.