Semakin sering kita mendapatkan validasi sosial melalui media sosial, semakin besar dorongan untuk terus memamerkan aspek-aspek kehidupan kita untuk mendapatkan lebih banyak "likes" dan komentar positif.
Dalam jangka panjang, kecanduan media sosial ini tidak hanya dapat mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga kualitas hubungan sosial. Orang lebih fokus pada "audiens" virtual mereka daripada membangun interaksi yang nyata dan mendalam dengan orang-orang di sekitarnya. Kita menjadi lebih terhubung dengan layar ponsel daripada dengan orang-orang di ruang nyata.
Perspektif Spiritual: Kehampaan di Balik Pamer
Jika dilihat dari sudut pandang spiritualitas dan agama, fenomena pamer di media sosial sering kali dilihat sebagai tanda dari kehampaan batin dan kebutuhan akan pengakuan yang tidak terpenuhi dari dalam diri. Dalam banyak ajaran agama, termasuk Islam, Kristen, dan Hindu, konsep kesederhanaan dan keikhlasan sangat ditekankan.
Misalnya, dalam Al-Qur'an, Allah SWT mengingatkan manusia untuk menjauhi sifat sombong dan pamer, karena itu adalah tanda dari ketidakmampuan seseorang untuk bersyukur dan menerima apa adanya.
Salah satu ayat yang relevan adalah Al-Qur'an surat Al-Isra' ayat 37: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung.”
Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya manusia untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka miliki hanyalah sementara dan titipan dari Sang Pencipta.
Dalam ajaran Buddha, konsep *anatta* atau tanpa diri juga mengajarkan bahwa identitas dan keinginan untuk diakui hanyalah ilusi. Pamer atau mencari validasi dari orang lain adalah bentuk dari ketidaktahuan akan sifat sejati diri kita yang bebas dari keinginan duniawi. Dengan menyadari ini, kita dapat melepaskan kebutuhan untuk terus-menerus membuktikan diri di hadapan orang lain dan menemukan kedamaian dalam diri sendiri.
Menemukan Keseimbangan: Berbagi dengan Bijak di Era Digital
Tidak ada yang salah dengan berbagi momen hidup di media sosial. Masalahnya muncul ketika kita menjadi terlalu bergantung pada validasi dari dunia maya atau ketika kita mulai membangun identitas yang tidak sesuai dengan diri kita yang sebenarnya.
Untuk menemukan keseimbangan, kita perlu menyadari motivasi di balik setiap unggahan yang kita bagikan. Apakah kita berbagi karena benar-benar ingin menginspirasi orang lain atau hanya ingin mendapatkan pengakuan?