Hal ini diperparah dengan ilusi bahwa hidup orang lain lebih sempurna, padahal kenyataannya yang ditampilkan di media sosial hanyalah bagian terbaik dari kehidupan mereka.
Pamer dari Perspektif Teori Sosial: Kapitalisme dan Konsumsi Identitas
Selain faktor psikologis, fenomena pamer di media sosial juga bisa dijelaskan melalui teori sosial, khususnya dari sudut pandang kapitalisme dan konsumsi identitas. Dalam masyarakat modern yang sangat dipengaruhi oleh kapitalisme, identitas seseorang sering kali dibentuk melalui apa yang mereka konsumsi.Â
Anthony Giddens, seorang sosiolog terkemuka, menggambarkan bagaimana identitas manusia di era modern sangat bergantung pada pilihan-pilihan yang mereka buat, termasuk barang-barang yang mereka beli dan bagaimana mereka menunjukkan barang-barang tersebut.
Di media sosial, sering kali kita melihat orang memamerkan produk-produk konsumtif seperti gadget terbaru, kendaraan mewah, atau pakaian dari merek ternama. Hal ini, dalam pandangan para ahli sosiologi, adalah bentuk "konsumsi identitas" di mana individu merasa bahwa status sosialnya dapat diukur dari barang-barang yang mereka miliki dan bagaimana mereka memamerkannya kepada orang lain.
Fenomena ini juga berhubungan dengan konsep *conspicuous consumption* (konsumsi mencolok) yang pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Thorstein Veblen pada akhir abad ke-19.Â
Veblen menjelaskan bahwa manusia, terutama kelas menengah ke atas, sering kali mengonsumsi barang-barang mewah bukan semata-mata karena kebutuhan, melainkan untuk menunjukkan status sosial mereka kepada orang lain. Di media sosial, perilaku ini semakin terlihat dengan adanya fitur-fitur seperti "likes" dan "comments" yang memberikan validasi sosial terhadap apa yang kita pamerkan.
Kecanduan Media Sosial: Peran Teknologi dalam Membentuk Perilaku
Selain alasan psikologis dan sosial, ada pula faktor teknologi yang turut berperan besar dalam fenomena ini. Algoritma di balik media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin.Â
Fitur-fitur seperti notifikasi, fitur stories, atau bahkan *scrolling* tanpa batas semuanya dirancang untuk menciptakan apa yang disebut dengan *dopamine loop* – pola perilaku di mana kita merasa terdorong untuk terus kembali dan menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial.
Riset oleh ahli neuropsikologi dari University of California, Los Angeles (UCLA), menemukan bahwa ketika seseorang menerima "like" atau komentar positif di media sosial, otak mereka melepaskan dopamin, zat kimia yang terkait dengan rasa senang dan penghargaan. Ini mirip dengan efek yang ditimbulkan oleh zat adiktif seperti alkohol atau narkoba.Â