Struktur sosial, ekonomi, dan politik seringkali membuat sebagian orang berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, terlepas dari seberapa keras mereka berusaha.
Fakta Empiris: Keadilan dalam Realitas Sosial
Jika keadilan adalah ilusi, mengapa kita tetap terjebak dalam retorika ini? Salah satu alasan utamanya adalah bahwa keadilan memberikan legitimasi terhadap struktur sosial yang ada.Â
Dalam teori kritis, konsep keadilan sering kali dijadikan alat untuk mempertahankan status quo. Misalnya, sistem peradilan di banyak negara didesain sedemikian rupa agar tampak adil, padahal dalam praktiknya, akses keadilan seringkali bergantung pada status sosial dan ekonomi seseorang.
Statistik menunjukkan bahwa mereka yang berasal dari kelompok minoritas atau ekonomi rendah sering kali menghadapi hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan mereka yang lebih kaya atau berasal dari kelompok mayoritas.Â
Penelitian dari University of Michigan menemukan bahwa di Amerika Serikat, orang kulit hitam cenderung dihukum lebih berat dibandingkan dengan orang kulit putih untuk kejahatan yang sama (Feldmeyer et al., 2015). Ini menunjukkan bahwa meskipun ada wacana keadilan, pada kenyataannya sistem ini cenderung berat sebelah.
Di Indonesia, hal yang sama bisa kita lihat dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan koruptor kelas atas versus pencuri kecil-kecilan. Seorang koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah sering kali mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dibandingkan dengan seorang pencuri ayam. Apakah ini yang disebut dengan keadilan?
Solusi: Mengubah Keadilan Menjadi Sesuatu yang Terukur
Karena keadilan adalah konsep yang sulit diukur dan sangat subjektif, mungkin sudah saatnya kita menggantinya dengan sesuatu yang lebih empiris dan terukur. Salah satu alternatifnya adalah dengan fokus pada kesejahteraan sosial (social welfare). Kesejahteraan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator yang lebih jelas, seperti tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta tingkat kebahagiaan warga negara.
Fokus pada kesejahteraan sosial memberikan kita landasan yang lebih konkret dalam mengevaluasi apakah masyarakat kita berjalan ke arah yang lebih baik atau tidak. Jika tujuan keadilan adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera dan setara, maka kita bisa memonitor indikator-indikator ini secara obyektif, tanpa harus terjebak dalam perdebatan tentang keadilan yang cenderung normatif dan tidak terukur.
Dalam pandangan utilitarianisme, prinsip moralitas adalah "sebesar-besarnya kebahagiaan untuk sebesar-besarnya jumlah orang" (Mill, 1861). Meskipun utilitarianisme juga memiliki kelemahannya, pendekatan ini lebih terukur dan dapat dioperasionalkan dalam kebijakan publik, dibandingkan dengan konsep keadilan yang abstrak dan subjektif.
Penutup: Meninggalkan Ilusi