Berbagai Pengukuran Keadilan
Pandangan bahwa keadilan adalah konsep yang universal sering dipatahkan oleh realitas sosial. Jika keadilan benar-benar universal, mengapa begitu banyak konflik dan perbedaan pendapat yang muncul terkait apa yang dianggap "adil"?
Dalam teori psikologi sosial, ada konsep yang dikenal sebagai *self-serving bias*—kecenderungan seseorang untuk melihat dirinya sebagai pihak yang lebih berhak dan pantas dalam situasi yang melibatkan pembagian sumber daya atau keputusan penting (Miller & Ross, 1975).Â
Bias ini secara otomatis mengganggu persepsi kita tentang keadilan. Kita cenderung merasa bahwa keadilan terjadi ketika kita mendapatkan hasil yang kita inginkan, dan ketidakadilan terjadi ketika hasil tidak sesuai dengan harapan kita.
Tidak mengherankan, hal ini membuat konsep keadilan menjadi lebih membingungkan dalam konteks sosial. Orang kaya mungkin merasa bahwa adil jika mereka tidak diharuskan membayar pajak lebih tinggi karena mereka "menghasilkan uang melalui kerja keras." Di sisi lain, mereka yang kurang mampu mungkin merasa bahwa keadilan berarti redistribusi kekayaan untuk memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang setara dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, teori kontrak sosial dari John Rawls bisa diangkat. Rawls berpendapat bahwa keadilan hanya bisa diwujudkan dalam masyarakat jika kita mengadopsi prinsip "ketidaktahuan semula" (original position), yaitu sebuah posisi di mana kita tidak tahu posisi sosial kita dalam masyarakat dan dengan demikian akan memilih prinsip keadilan yang adil bagi semua (Rawls, 1971).Â
Namun, dalam kenyataannya, konsep ketidaktahuan semula ini jarang diterapkan. Kita sudah tahu siapa kita, di mana posisi kita dalam hierarki sosial, dan hal ini memengaruhi pandangan kita tentang keadilan.
Keadilan sebagai Ilusi
Melihat kompleksitas pandangan tentang keadilan, kita bisa menyimpulkan bahwa keadilan dalam dunia nyata seringkali tidak lebih dari sekadar ilusi. Banyak kasus di mana orang merasa mereka sedang memperjuangkan keadilan, padahal pada dasarnya mereka hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri.
Dalam kajian psikologi, ada konsep yang disebut dengan *just-world hypothesis* (Lerner, 1980). Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung percaya bahwa dunia ini adil, dan bahwa orang mendapatkan apa yang mereka pantas dapatkan. Keyakinan ini membuat kita merasa nyaman di tengah ketidakpastian dunia, tetapi juga menyebabkan kita mengabaikan realitas ketidakadilan yang sesungguhnya.
Ketika seseorang melihat orang lain menderita, sering kali ia mencoba merasionalisasikan penderitaan itu sebagai akibat dari "kesalahan" orang tersebut. "Oh, dia miskin karena dia malas," atau "dia tidak mendapat pekerjaan bagus karena dia kurang berusaha." Pola pikir ini membantu kita menjaga ilusi bahwa dunia ini adil, padahal kenyataannya tidak demikian.Â