Mohon tunggu...
Kris Hadiwiardjo
Kris Hadiwiardjo Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Eks Penulis Artikel Bisnis, Ekonomi, Teknologi Harian Pelita

Penulis adalah peminat bidang teknologi, Komputer, Artificial Intelligence, Psikologi dan masalah masalah sosial politik yang menjadi perbincangan umum serta melakukan berbagai training yang bekenaan dengan self improvement, human development dan pendidikan umum berkelanjutan bagi lanjut usia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesantren: Harapan & Kenyataan

28 September 2024   17:12 Diperbarui: 28 September 2024   17:18 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PESANTREN: HARAPAN & KENYATAAN

Semua orang tua yang mengirim anaknya ke Pesanten mempunyai harapan yang sederhana dan mulia. Ingin menjadikan anak mereka menjadi anak yang soleh. Anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya, berperilaku, berakhlak baik. Memahami ajaran Tuhan dengan sempurna. Dapat mengamalkan ajaran itu dengan baik ditengah-tengah masyarakat. Menjadi sauri taula dan bagi generasi mereka. itulah harapan-harapan yang ada di benak orang tua bagi anak-anak mereka.

Tetapi apa yang terjadi di beberapa pesantren sepanjang 15 sampai 20 tahun terakhir mungkin akan membuat detak jantung orang tua berhenti.

Data mengenai kasus pelecehan seksual di pesantren di Indonesia selama 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan berbasis agama Islam, termasuk pesantren, mengalami sejumlah kasus kekerasan seksual yang signifikan. Berikut adalah beberapa poin penting berdasarkan data yang tersedia:

Periode 2015-2020: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, setelah universitas. Dari 51 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, 19% terjadi di pesantren.

Jenis Kekerasan: Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Selain itu, ada juga kekerasan psikis dan diskriminasi terhadap korban.

Kasus Terkini: Salah satu kasus yang menonjol adalah kasus Herry Wirawan di Bandung, yang melakukan pemerkosaan terhadap 12 santriwati. Kasus ini menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat dan hukuman yang tegas bagi pelaku.

Selama 10 tahun terakhir, beberapa kasus pelecehan seksual di pesantren yang terekam dalam pemberitaan media di Indonesia mencakup berbagai insiden yang mengejutkan. Berikut adalah beberapa kasus yang menonjol:

Kasus Herry Wirawan: Pada tahun 2021, Herry Wirawan, seorang guru pesantren di Bandung, dihukum mati setelah terbukti memperkosa 13 santriwati. Kasus ini menjadi sorotan besar dan memicu diskusi luas tentang perlindungan anak di lingkungan pesantren.

Kasus di Jombang: Pada tahun 2022, Moch Subchi Azal Tsani, putra dari pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, ditahan atas tuduhan kekerasan seksual terhadap santri. Kasus ini menyoroti masalah relasi kuasa dan victim blaming di lingkungan pesantren.

Kasus di Lampung dan Jember: Pada awal 2023, terungkap empat kasus kekerasan seksual di pesantren di Lampung dan Jember. Mayoritas pelakunya adalah pimpinan pesantren itu sendiri, yang menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat.

Kasus di Malang: Pada tahun 2024, seorang pengasuh pesantren di Malang ditetapkan sebagai tersangka setelah mencabuli santriwati sebanyak 10 kali. Kasus ini dilaporkan sejak pertengahan 2023.

Kasus di Agam, Sumatera Barat: Pada tahun 2024, dua guru pesantren di Agam ditangkap karena mencabuli 40 santri. Modus operandi mereka termasuk meminta pijatan dari santri sebelum melakukan pelecehan.

BBC mencatat beberapa kasus kekerasan seksual di pesantren, meskipun banyak dari laporan ini lebih baru. Salah satu kasus yang menonjol adalah pemerkosaan santriwati di Semarang oleh pemimpin pesantren yang mengaku sebagai kiai.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual di pesantren, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman bagi semua santri.

Kompas mencatat bahwa pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berdasarkan data Komnas Perempuan untuk periode 2015-2020. Meskipun data ini lebih baru, ini menunjukkan tren yang mungkin sudah ada sejak lama.

Detik melaporkan beberapa kasus pelecehan seksual di pesantren, termasuk kasus di Cilacap.  

TV One mencatat beberapa kasus pelecehan seksual di pesantren, termasuk kasus di Lumajang dan Depok. Di Lumajang, seorang kiai mencabuli tiga santriwati, sementara di Depok, tiga ustadz dan satu kakak kelas melakukan pemerkosaan terhadap 11 santriwati.

Data ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual di pesantren, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman bagi semua santri.

Pelapor justru diteror

Yang lebih menyedihkan lagi, orang yang ingin berbuat kebaikan justru malah teraniaya. Kata kata bahwa "Orang jujur pasti hancur" seperti mendapatkan pembenaran.

Contohnya, Seorang guru berinisial A diberhentikan oleh pihak yayasan pondok pesantren di Serpong, Tangerang Selatan, usai membongkar dugaan pelecehan 13 santriwati. A diberhentikan karena telah melaporkan kasus dugaan pelecehan oleh kepala pondok pesantren sekaligus pengajar berinisial HS ke Kementerian Agama Tangerang Selatan. "Iya, karena pengurus bilangnya dikeluarkan dari sana (pondok pesantren) karena saya ngelaporin ke Kemenag. Jadi, mereka mengeluarkan saya," ucap A saat dikonfirmasi.

Menghadapi pemimpin / pemilik pesantren jadi seperti apa yang katakan oleh kalimat "The King can do no wrong",  "Raja tidak pernah berbuat salah", meski kesalahan itu nampak jelas di siang bolong.

Pelecehan seksual merupakan masalah serius yang tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat umum, tetapi juga di lembaga pendidikan agama, termasuk pesantren.

Pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembentukan akhlak bagi generasi muda memiliki peran penting dalam penanaman nilai-nilai moral dan etika. Namun, ketika terjadi kasus pelecehan seksual, hal ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mencoreng nama baik pesantren dan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat.

1. Fenomena Pelecehan Seksual di Pesantren

Kasus pelecehan seksual di pesantren, meskipun masih jarang terungkap atau terungkap sebagian kecil, telah mencuat ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai laporan menunjukkan bahwa sejumlah kejadian pelecehan melibatkan santri, baik dari pengurus pesantren maupun sesama santri. Dalam banyak kasus, ketidakberdayaan dan stigma yang melekat pada korban seringkali menjadi penghalang bagi mereka untuk melaporkan kejadian tersebut. Bisa jadi kasus-kasus yang mencuat ini hanya merupakan puncak gunung es.

2.  Faktor Penyebab

Beberapa faktor yang menyebabkan pelecehan seksual di pesantren antara lain:

- Kekuasaan dan Ketergantungan.

Biasanya, santri berada dalam posisi yang lebih lemah karena ketergantungan mereka kepada pengurus pesantren. Hal ini dapat memudahkan terjadinya eksploitasi.

- Kurangnya Pendidikan Seksual.

Pendidikan tentang hak-hak individu dan batasan-batasan seksual sering kali diabaikan, sehingga santri tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang pelecehan seksual.

- Stigma dan Ketakutan.

Dalam banyak kasus, budaya yang menganggap tabu untuk membahas masalah seksual membuat korban enggan untuk melapor. Sebagaimana contoh diatas bahwa pelapor justru diberi sanksi alih- alih dipuji dan diberi medali. Keadaan ini membuat penyimpangan di pesantren menjadi sistemik yang akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap pesantren.

- Mitos seputar Ustadz

Ustadz sering dimitoskan sebagai ulama yang tidak bisa berbuat salah. Melawan ulama berarti durhaka terhadap Tuhan. Seorang santri yang didatangi ustadznya harus merasa beruntung karena akan mendapat berkah yang banyak dari Tuhan. Ide ide seperti ini yang tidak didasari nalar sehat telah memenjara para santri bertahun-tahun. Dan ini seharusnya diberantas dengan edukasi bahwa ustadz juga manusia biasa yang bisa terjerumus pada dosa kecil atau besar sekalipun. Dia bukan dewa yang harus diciumi kakinya, atau yang jika meminum air liurnya bisa mendapat betkah.

3. Dampak pada Korban

Pelecehan seksual dapat berdampak signifikan pada korban, termasuk:

- Trauma Psikologis.

Korban sering mengalami kecemasan, depresi, dan trauma yang berkepanjangan.

- Stigma Sosial.

Selain dampak psikologis, korban juga sering kali menghadapi stigma sosial, yang dapat mengisolasi mereka dari komunitas.

- Pendidikan Terhambat.

Banyak korban yang mengalami penurunan motivasi belajar, yang dapat mengganggu proses pendidikan mereka.

4. Upaya Penanganan dan Pencegahan

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah dapat diambil:

- Pendidikan dan Kesadaran.

Meningkatkan pendidikan tentang hak-hak individu dan batasan seksual di kalangan santri dan pengurus pesantren.

- Kebijakan yang Jelas

Pesantren perlu memiliki kebijakan yang jelas dan tegas dalam menangani dan mencegah pelecehan seksual.

- Dukungan Psikologis.

Memberikan dukungan psikologis bagi korban untuk membantu mereka pulih dari trauma.

- Pelaporan yang Aman.

Menciptakan saluran pelaporan yang aman dan anonimus bagi korban untuk melaporkan kasus pelecehan tanpa takut akan stigma atau pembalasan.

- Menyusun Kebijakan Anti-Pelecehan

Buatlah regulasi yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan kasus pelecehan seksual. Kebijakan ini harus diketahui dan dipahami oleh semua santri, pengurus, dan staf.

- Pendidikan dan Pelatihan

Selenggarakan program pendidikan tentang kesadaran seksual, hak-hak individu, dan perilaku yang sesuai. Ini dapat mencakup pelatihan bagi pengurus pesantren dan santri.

- Adakan seminar atau workshop dengan narasumber dari psikolog atau ahli hukum untuk memberikan pemahaman tentang pelecehan seksual dan cara mencegahnya.

- Penerapan Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Integrasikan pendidikan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pesantren. Ini penting untuk memberikan informasi yang benar dan layak mengenai batasan-batasan seksual dan hak-hak individu.

5. Kesimpulan

Pelecehan seksual di pesantren adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan dari semua pihak. Pesantren sebagai institusi pendidikan harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman, serta memberikan pendidikan yang memadai untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Dengan meningkatnya kesadaran dan upaya bersama, diharapkan pelecehan seksual di pesantren dapat diminimalisir, serta korban mendapatkan keadilan dan dukungan yang mereka butuhkan.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi anak-anak serta generasi muda dari segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun