Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Coblosan dan Ritual Pemuasan Hasrat Kekerasan Publik

26 Agustus 2018   20:50 Diperbarui: 26 Agustus 2018   20:56 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Ritual coblosan

Pasca reformasi, eforia coblosan - untuk membedakannya dengan kesadaran pada keseluruhan proses demokrasi dalam penyusunan sistem dan struktur bernegara - telah menjadi ritual akbar yang menggembirakan-menyedihkan, menegangkan-menakutkan, sekaligus menguras energi masyarakat yang tak terhingga konsekuensinya.

Hiruk pikuk menjelang dan hari-hari sesudahnya penuh dengan drama penggugah emosi dan pikiran termasuk intrik-intrik yang dipopulerkan oleh perorangan maupun gerakan masa. Baik masa jalanan, masa media sosial, dan bahkan massa birokrasi. Semua terlibat aktif menuju puncak ritual coblosan yang akan melegakan-mengecewakan, mempererat-menghancurkan persaudaraan, menghasilkan sampah kebodohan dan pelajaran berharga pada imaginasi masyarakat tentang hidup dalam proses negosiasi pilihan idiologis dan politis yang pada akhirnya harus diakhiri diwakilkan pada segelintir orang yang sepanjang masa jabatannya hingga akhir masa jabatannya akan dipuja, diidolakan, dihujad, bahkan dikutuki.

Kenyataan seperti itu diketahui oleh semua pihak. Sejak dari penyelenggaranya, kontestan tokoh utama ritual coblosan, dan juga seluruh rakyat jelata yang bersorak gembira, yang apatis sinis, pun yang akademis logis optimis bahwa ritual akan menghasilkan perubahan baru. Aturan-aturan seideal mungkin dibuat, penjagaan dan pengawasan diperketat, etika dipamerkan, religiusitas disinggung-singgung, hanya agar semua tahu bahwa - terima tidak terima - ritual coblosan perlu terjadi. Dan aneh bin ajaib, segala energi emosi dan akal itu terkendali kembali pada saat ritual sudah dijalani bersama.

Ada semacam kehausan publik masayarakat demokrasi yang terpuaskan ketika ritual coblosan itu terjadi. Sebuah mekanisme sosial dimana perbedaan (pilihan) itu dikondisikan sedemikian rupa hingga masyarakat berada pada pihak tertentu dengan tegas dan kalau perlu terinternalisasi pada identitas dirinya. Sebuah kecenderungan dasar kemanusiaan bahwa diperlukanlah sebuah peristiwa berulang dan teratur untuk menenangkan dan mengendalikan kehausan masa itu.

Apakah yang mendorong manusia hingga perlu berpikir bahwa ada peristiwa tertentu yang harus dilalui bersama agar siklus hidup normal harmonis utopis itu dapat tetap berlangsung? Mengapa dibutuhkan ritual yang begitu gemerlap merangsang perhatian semua orang seperti itu?

Mengatasi Kekerasan publik

 Terlepas dari varian prosedur praktis pelaksanaannya, sistem pemilihan langsung dari dan oleh rakyat terhadap kepala pemerintahan baik nasional maupun regional hingga saat ini masihlah dianggap yang paling baik. Asumsi bahwa mekanisme demokratik adalah berkeadilan misalnya, memang masih harus dipergumulkan terus menerus, apalagi jika hal itu diperhadapkan pada nilai kemanusiaan seutuhnya. Pada saat inilah tiap orang ditantang untuk memikirkan ulang bukan pada sistem yang ada saja tetapi pada semangat dasar sebelum seseorang memutuskan diri menjadi bagian dari warga negara dan terlibat aktif dalam sistem demokrasinya.

Sepanjang sejarah kemanusiaan, kecenderungan untuk membangun kesadaran diri berada nyaman dalam sebuah kelompok berdasar darah, warna kulit, adat, asal wilayah, bahasa, dan sebagainya selalu juga dilengkapi dengan negasi pada yang berbeda. Dalam tiap pribadi tersimpan mentalitas yang memudahkan orang menemukan kelompoknya dan menolak, membukankan, dan me"liyan"kan, kelompok lain terutama yang mengancam dan mengganggu kenyamanan penemuan diri dalam kelompok tersebut. Kekerasan massal bermula disini.

Maka, saat kenyamanan berada dalam kelompok ini dilengkapi dengan mekanisme kelekatan dan keterikatan dalam bentuk identitas yang bersifat spiritual, ia memiliki kekuatan ganda. Kekuatan membangun menara diri makin tinggi dan celakanya juga memangun kelengkapan untuk menyerang, menguasai, dan menghancurkan yang lain.

Jadi selain diri tiap orang, bagaimana manusia membangun model relasi yang berangkat dari kesadaran menemukan rasa aman itulah yang merupakan titik kritis terus berulangnya kekerasan massal. Namun, entah ini bentuk evolusi pisitif atau negatif, dalam sejarahnya tiap komunitas selalu menemukan bentuk aktivitas yang bisa meredam kecenderungan agresif antar pribadi dan antar kelompok tersebut dalam bentuk permainan, kompetisi, dan ritual. Tujuan utamanya adalah memberi ruang bagi diri dan komunitas agar roh agresif sikap kekerasan dapat dilampiaskan sepuasnya dan setelahnya dapat dikendalikan lagi.

Kadangkala diperlukan kurban yang dijadikan sasaran utama pelampiasan itu. Apapun bentuknya, terselip alasan bahwa harus ada sesuatu yang dianggap kalah atau salah, dianggap sebagai penghalang atau pengancam kenyamanan sosial. Begitulah ritual coblosan melintas dalam kesadaran kita. Dan menjadi alasan penting bagi pemuasan hasrat kekerasan publik. Segenap energi dicurahkan, akan ada yang diyakinkan bahwa ritual berakhir dengan berhasil sebab meredam hasrat kekerasan publik pada yang berbeda. Namun semua juga sadar bahwa ada yang "terpaksa" harus dikorbankan. Dijadikan tumbal bagi harmonisasi baru. Tetap juga dengan harapan bahwa suatu saat nanti, akan ada ritual baru yang membasuh keutuhan kemanusiaan kita entah dengan amisnya darah, entah dengan keringat kecut pekat dengan kebencian, entah dengan air segar harapan yang menyejukkan.

Sampai kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun