Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Coblosan dan Ritual Pemuasan Hasrat Kekerasan Publik

26 Agustus 2018   20:50 Diperbarui: 26 Agustus 2018   20:56 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, saat kenyamanan berada dalam kelompok ini dilengkapi dengan mekanisme kelekatan dan keterikatan dalam bentuk identitas yang bersifat spiritual, ia memiliki kekuatan ganda. Kekuatan membangun menara diri makin tinggi dan celakanya juga memangun kelengkapan untuk menyerang, menguasai, dan menghancurkan yang lain.

Jadi selain diri tiap orang, bagaimana manusia membangun model relasi yang berangkat dari kesadaran menemukan rasa aman itulah yang merupakan titik kritis terus berulangnya kekerasan massal. Namun, entah ini bentuk evolusi pisitif atau negatif, dalam sejarahnya tiap komunitas selalu menemukan bentuk aktivitas yang bisa meredam kecenderungan agresif antar pribadi dan antar kelompok tersebut dalam bentuk permainan, kompetisi, dan ritual. Tujuan utamanya adalah memberi ruang bagi diri dan komunitas agar roh agresif sikap kekerasan dapat dilampiaskan sepuasnya dan setelahnya dapat dikendalikan lagi.

Kadangkala diperlukan kurban yang dijadikan sasaran utama pelampiasan itu. Apapun bentuknya, terselip alasan bahwa harus ada sesuatu yang dianggap kalah atau salah, dianggap sebagai penghalang atau pengancam kenyamanan sosial. Begitulah ritual coblosan melintas dalam kesadaran kita. Dan menjadi alasan penting bagi pemuasan hasrat kekerasan publik. Segenap energi dicurahkan, akan ada yang diyakinkan bahwa ritual berakhir dengan berhasil sebab meredam hasrat kekerasan publik pada yang berbeda. Namun semua juga sadar bahwa ada yang "terpaksa" harus dikorbankan. Dijadikan tumbal bagi harmonisasi baru. Tetap juga dengan harapan bahwa suatu saat nanti, akan ada ritual baru yang membasuh keutuhan kemanusiaan kita entah dengan amisnya darah, entah dengan keringat kecut pekat dengan kebencian, entah dengan air segar harapan yang menyejukkan.

Sampai kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun