Maka, saat kenyamanan berada dalam kelompok ini dilengkapi dengan mekanisme kelekatan dan keterikatan dalam bentuk identitas yang bersifat spiritual, ia memiliki kekuatan ganda. Kekuatan membangun menara diri makin tinggi dan celakanya juga memangun kelengkapan untuk menyerang, menguasai, dan menghancurkan yang lain.
Jadi selain diri tiap orang, bagaimana manusia membangun model relasi yang berangkat dari kesadaran menemukan rasa aman itulah yang merupakan titik kritis terus berulangnya kekerasan massal. Namun, entah ini bentuk evolusi pisitif atau negatif, dalam sejarahnya tiap komunitas selalu menemukan bentuk aktivitas yang bisa meredam kecenderungan agresif antar pribadi dan antar kelompok tersebut dalam bentuk permainan, kompetisi, dan ritual. Tujuan utamanya adalah memberi ruang bagi diri dan komunitas agar roh agresif sikap kekerasan dapat dilampiaskan sepuasnya dan setelahnya dapat dikendalikan lagi.
Kadangkala diperlukan kurban yang dijadikan sasaran utama pelampiasan itu. Apapun bentuknya, terselip alasan bahwa harus ada sesuatu yang dianggap kalah atau salah, dianggap sebagai penghalang atau pengancam kenyamanan sosial. Begitulah ritual coblosan melintas dalam kesadaran kita. Dan menjadi alasan penting bagi pemuasan hasrat kekerasan publik. Segenap energi dicurahkan, akan ada yang diyakinkan bahwa ritual berakhir dengan berhasil sebab meredam hasrat kekerasan publik pada yang berbeda. Namun semua juga sadar bahwa ada yang "terpaksa" harus dikorbankan. Dijadikan tumbal bagi harmonisasi baru. Tetap juga dengan harapan bahwa suatu saat nanti, akan ada ritual baru yang membasuh keutuhan kemanusiaan kita entah dengan amisnya darah, entah dengan keringat kecut pekat dengan kebencian, entah dengan air segar harapan yang menyejukkan.
Sampai kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H