Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tradisi Braokan

26 Oktober 2015   23:22 Diperbarui: 27 Oktober 2015   00:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada semacam kebiasaan yang unik-aneh dan sedikit tidak masuk akal yang secara menyedihkan terus dijalani dan nampaknya semakin banyak digemari. Sebutlah namanya Tradisi Braokan; berteriak-teriak, bersuara dengan kencang, nyaris membentak, dan terkesan memaksa kalau tidak juga marah."

Braokan

Sewaktu kecil dulu aku sering mendengar nasehat suapaya orang tidak membiasakan diri untuk braokan. Yaitu cara menyampaikan pendapat dengan sepenuhnya usaha untuk menguasai pembicaraan, agar pendengar merasa terintimidasi dan dengan serta-merta menerima dan menyetujui, dengan cara penyampaian melalui suara yang keras penuh dengan pengulangan-pengulangan dan penekanan-penekanan pada hal-hal tertentu. Tak jarang model penyampaian ini memaksa orang untuk memberi afirmasi yang sifatnya aklamatif. Kalau kurang aklamatif, semakin keraslah braokannya. Semakin enggan reaksi orang, semakin semangatlah braokannya. Dan semakin braokan itu menemukan pembenaran-pembenaran (entah itu argumen yang sehat atau tidak), semakin tak berujung dan tak terhenti braokan dilakukan.

Saya menduga tradisi braokan ini ada kaitannya dengan setidaknya tiga hal, yaitu: Pertama: belum tuntasnya kita memahami, atau belum mampunya kita membuat perbedaan antara dua hal yang sebenarnya saling melengkapi dan membuat orang menjadi bijak, yaitu tradisi lisan dan tradisi tertulis. Kedua: adanya asumsi bahwa menyampaikan sesuatu hal yang serius dan penting itu harus dengan cara-cara braokan. Ketiga: berkembangnya sistem edukasi yang melulu entertain, yang menganggap bahwa semua orang adalah anak-anak yang kalau tidak diberi tahu dengan cara braokan maka mereka tidak akan mengerti.

Tradisi Lisan

Jangankan di halte-halte atau tempat mangkal angkutan umum, di kantor transportasi masal paling resmi semacam terminal dan stasiunpun, muncul anggapan bahwa semua calon penumpang adalah orang-orang bodoh, tak tahu tujuan, tak bisa membaca, dan tak mengerti cara berkomunikasi dengan santun. Teriakan, paksaan, intimidasi, yang berasal dari sumber resmi kantor yang bersangkutan atau dari sumber tidak resmi pengusaha taxi, angkutan umum, ojek, sales wisata, sales hotel, bahkan kadang bercampur dengan teriakan-teriakan orang menjajakan barang dan jasa saling berebut pengaruh dengan bebal ... eh maksud saya dengan bebas.

Muka orang ditunjuk-tunjuk, dipelototi, dirayu dengan wajah memelas, dimanipulasi dengan rayuan-rayuan, hiruk pikuk suara yang hampir seluruhnya tidak dibutuhkan oleh para calon penumpang, para penjemput, para wisatawan yang sekedar jalan-jalan adalah suguhan sehari-hari. Kalau kebetulan terminal atau tempat mangkal angkutan umum itu berada di lokasi yang sama dengan pasar, bisa dibayangkan betapa besar beban harus ditanggung oleh telinga dan pikiran sehat kita.

Jangankan di demonstrasi buruh atau mahasiswa, petani atau karyawan, pedagang atau pecinta lingkungan, suara-suara braokan itu bunyinya hampir sama dengan yang terjadi di kelas-kelas, di lapangan-lapangan, di kantor-kantor, di pelatihan-pembinaan-pemberdayaan, bahkan di mimbar-mimbar. Kombinasi tulisan dan lisan dimanfaatkan dengan baik, namun semangat braokan tak bisa dihindari. Mengapa?

Tradisi lisan mengisyaratkan bahwa penyampaian pesan penting dan serius itu tersalur dari mulut ke telinga ke otak ke hati ke otak lagi dan ke mulut lagi keluar untuk disampaikan kembali. Itulah yang menghasilkan kearifan budaya dan tradisi yang mendahulukan harmoni keras-pelan, cepat-lambat, baik dalam gerak tari, pewarnaan lukisan, dan maupun melodi musik. 

Tradisi lisan yang sesungguhnya justru memastikan bahwa apa yang disampaikan oleh mulut itu selalu berupa hal-hal yang sangat penting dan berguna, dikemas melalui segala ragam cara penyampaian melodisnya, hingga kadang menghimbau pendengar untuk mampu mendengar apa yang tak tersampaikan, memahami apa yang tak terdengar. Jadi jelas, tradisi lisan itu memanusiakan manusia, melihat bahwa pendengar adalah orang yang memiliki kecakapan persepsi dan interpretasi, dan akan menghasilkan reproduksi pesan yang semakin berarti. 

Jadi tradisi braokan itu tidak secara langsung bersumber dari keindahan dan bermartabatnya tradisi lisan kita. Tradisi braokan itu efek samping dari modernitas pengeras suara yang mulai diaplikasikan pada tradisi-tradisi lain yang bersumber pada tradisi lisan. Tradisi braokan itu kini semakin modern bentuk, cara, dan penampilannya. Dalam masyarakat komunalistik (yang kadang kebablasan) ini, budaya braokan itu sering dipakai sebagai tanda bahwa masih terjadi koneksi antara penyuara dengan pendengarnya. 

Suatu hari, saya kebagian sebagai seksi perlengkapan di dalam sebuah hajatan tetangga. Datanglah jasa persewaan sound system dan mulai memutar musik dengan volume maksimal, sebagai panitia yang banyak nganggurnya saya dekati operator dan memintanya supaya volume dikurangi hingga membuat orang bisa mendengar musiknya dengan rileks. Beberapa lagu berlalu dengan asyik sampai datanglah seorang kerabat si empunya hajad datang dan bertanya kepadaku mengapa musiknya kok pelan sekali. Saya sampaikan alasanku dan terkejut mendengar sanggahan beliau: "Ini sound system sudah dibayar kok pak, rugi kalau tidak diputar maksimal". Sambil tersenyum dia meminta operator memaksimalkan volume, dan membuatku kehilangan akal sehat sejenak.

Saya jadi membayangkan, kira-kira apa alasan sopir, kondektur, kernet, dan makelar-makelar di terminal-terminal? Apa alasan para pedagang yang terus berteriak menjajakan dagangannya sekalipun sudah berada di pinggir jalan membuat macet dilengkapi dengan tulisan besar jenis produk dan harganya, bahkan barang dagangannya itu sendiri nampak jelas kelihatan? 

Sampailah saya pada kenyataan bahwa, hal yang sama terjadi juga di sekolah-sekolah, terutama jika murid-muridnya masih kanak-kanak. Guru berteriak-teriak di tengah kegaduhan murid yang semakin menikmati kegaduhannya dibalik volume keras teriakan gurunya. Jangan-jangan begitu juga yang terjadi di rumah. Orang tidak percaya lagi bahwa petunjuk, anjuran, ajakan, rayuan yang sudah tertulis dengan jelas itu sampai ke tujuan dengan efektif.

Tadi pagi, sekali lagi aku mengalaminya. Sama seperti di pesta, hajatan, atau perayaan yang lain. Pemegang microphone seolah menjadi orang yang sedang kalap, bekerja sama dengan operator sound system memaksimalkan suaranya. Seolah itulah cara paling efektif untuk menyampaikan pesan pada semua hadirin. Seolah itulah metode paling jitu untuk mengendalikan masa.

Tradisi braokan nampaknya berpulang pada pertanyaan paling menyakitkan: Apakah masyarakat kita ini masih bisa disebut sebagai sejenis masyarakat yang budaya dan tradisinya halus, lemah lembut, tenang? Mungkin inilah inti dari nasehat para tetua yang dulu sering aku dengar. Bahwa sesungguhnya, tradisi kita bukanlah tradisi braokan, dan bersukurlah jika mengenal tulisan dan teknologi yang mempermudah penyampaian pesan, karena itu adalah anugerah agar kita tidak jatuh dalam godaan masuk pada golongan orang braokan.

Penting dan serius itu keras bunyinya

Dari pengalaman lain saya melihat bahwa tradisi braokan itu juga terjadi ketika orang hendak menyampaikan sesuatu yang dianggapnya serius dan penting untuk didengar banyak orang. Jadi hal ini tidak harus terjadi dalam retorika akbar di lapangan-lapangan saat kampanye. Usaha meyakinkan orang dengan cara braokan itu terjadi bahkan di kelas-kelas juga yang didampingi oleh para guru nan sabar yang meminta si murid memberi penekanan pada kalimat-kalimat penting dan serius dengan penekanan melalui teriakan dan seringkali semacam meluapkan kemarahan.

Jangankan politikus yang sedang membela diri untuk lepas dari jeratan hukum, tradisi braokan dalam menyuarakan hl penting dan serius itu bahkan ada dan dilakukan oleh hampir semua peserta lomba pidato tingkat Sekolah Menengah Pertama. Tidak peduli muatan yang disampaikan itu berbicara tentang apa. Ketika sampai pada kalimat penting dan serius yang memerlukan penekanan, munculah teriakan - kadang sangat melengking dan panjang - yang jelas merupakan bentuk nyata tradisi braokan itu.

Sebagaimana seorang komandan kompi tentara memberi perintah kepada anak buahnya, bahkan sering kita jumpai di mimbar-mimbar akademik dan keagamaan, tradisi braokan untuk meyakinkan betapa penting dan seriusnya pesan yang disampaikan terjadi nyaris sama saja. Bahkan orang bicara tentang perdamaian, kesucian, kemuliaan, kebaikan hati, cinta, kasih, toleransi, keadilan, dan semua nilai keutamaan positif, tetapi menyampaikannya tak jarang dengan tradisi braokan pula.

Nah kembali kita diperhadapkan pada pertanyaan menyakitkan yang kedua: Sekalipun tidak dengan tujuan dan goal yang berorientasi pada tindak kekerasan dan kebencian, kalau pesan penting dan serius itu disampaikan melalui mekanisme tradisi braokan, apakah sebenarnya yang hendak dicapai?

Semua orang itu bodoh

Setahu saya, sistem pendidikan di dunia ini sudah semakin hebat dan kreatif dalam memperkenalkan pendekatan-pendekatan baru agar orang mendapatkan pemahaman tentang sesuatu. Orang kebanyakanpun sudah tidak asing untuk bicara soal keragaman bentuk intelegensi anak. Orang sekarang juga sudah membiasakan diri untuk semakin membebaskan agar setiap individu dapat berekspresi berdasarkan minat terbaiknya.

Nah dalam kesadaran seperti itu maka tradisi braokan itu bukan hanya kontra produktif terhadap segala usaha mendidik yang sudah diproses namun juga memberi kesan seolah pendengar, para orang yang menerima pesan adalah orang-orang bodoh semua. Yaitu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan mengolah informasi dengan arif sehingga butuh dan selalu merindu untuk diteriaki, dibentak, dikasari dan diperlakukan sebagaimana layaknya orang bodoh.

Maka kalau masih sempat berpikir jernih akan timbul keanehan kontradiktif. Kala ide-ide besar, karya-karya agung, pesan-pesan suci dan bermoral, ajakan martabat dan menjadi bijak, dorongan untuk disiplin dan menghormati sesama, ternyata dalam prakteknya dijalani dengan menggunakan tradisi braokan, dan bahkan menganggap inilah jalan terbaik dan terefektif. Apa akibatnya?

Membela yang marah

Ketika ketiga hal di atas dimaklumi, menjadi semacam kebiasaan yang diterima secara umum, maka dampak luar biasa terjadi pada psikologi sosial bagaimana birokrasi, sistem politik, relasi antar manusia, dan dinamika hidup keagamaan. Tak jarang kita melihat, dan soalah bahkan media masa memaklumi, ketika terjadi amuk masa yang mengancam kelompok minoritas, dan apalagi jika amok masa itu menggunakan tradisi braokan dengan tujuan mendeskreditkan sasarannya, sistem kesadaran keamanan yang dilakukan justru meminta pada kelompok minoritas untuk menyingkir. Setelah itu, para aparat, baik keamanan, hukum, dan birokrasi lantas sibuk berpolemik soal - seringnya - bagaimana memperlihatkan bahwa tindakan amok masa itu dapat dimaklumi, malah kadang dibenarkan.

Kemarahan - yang mungkin tidak sepenuhnya rasional untuk dilihat sebagai sebuah kemarahan - yang disampaikan dengan tradisi braokan lantas diterima begitu saja, dan tidak jarang diakomodasi oleh pihak-pihak terkait untuk dijadikan kebenaran.

Dengan begitu, tradisi braokan - sekali lagi - menghadirkan sebuah budaya penindasan, pendeskreditan dan bahkan seringkali pengkambinghitaman pada pihak-pihak yang karena kecil suara dan kekuatannya tak mampu menandingi volume suara mayoritas. Malah, tradisi braokan ini nampaknya juga yang selalu membuat orang menganggap lazim penggunaan dikotomi mayoritas minoritas. Seolah-olah dalam sebuah situasi tertentu mayoritas adalah kekuatan pemaksa, dan minoritas adalah kelompok yang perlu dilindungi dari paksaan amarah dengan cara disingkirkan. 

Sebelum aku masuk lebih dalam pada refleksi historis tentang pembunuhan masal, bertahan lamanya otoritarianisme, kegagalan agama-agama menghadirkan perdamaian dan keadilan, .... dan sebagainya ... aku diingatkan lagi pada pesan para tetua, orang-orang bijak jaman dahulu. Bahkan penjual penjaja keliling kampung dahulu melengkapi penyampaian pesannya dengan bunyi-bunyian khas yang memberi kekayaan makna, ... aku teringat kata sederhana simbah: "Le ojo braokan!!!"

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun