Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tradisi Braokan

26 Oktober 2015   23:22 Diperbarui: 27 Oktober 2015   00:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika ketiga hal di atas dimaklumi, menjadi semacam kebiasaan yang diterima secara umum, maka dampak luar biasa terjadi pada psikologi sosial bagaimana birokrasi, sistem politik, relasi antar manusia, dan dinamika hidup keagamaan. Tak jarang kita melihat, dan soalah bahkan media masa memaklumi, ketika terjadi amuk masa yang mengancam kelompok minoritas, dan apalagi jika amok masa itu menggunakan tradisi braokan dengan tujuan mendeskreditkan sasarannya, sistem kesadaran keamanan yang dilakukan justru meminta pada kelompok minoritas untuk menyingkir. Setelah itu, para aparat, baik keamanan, hukum, dan birokrasi lantas sibuk berpolemik soal - seringnya - bagaimana memperlihatkan bahwa tindakan amok masa itu dapat dimaklumi, malah kadang dibenarkan.

Kemarahan - yang mungkin tidak sepenuhnya rasional untuk dilihat sebagai sebuah kemarahan - yang disampaikan dengan tradisi braokan lantas diterima begitu saja, dan tidak jarang diakomodasi oleh pihak-pihak terkait untuk dijadikan kebenaran.

Dengan begitu, tradisi braokan - sekali lagi - menghadirkan sebuah budaya penindasan, pendeskreditan dan bahkan seringkali pengkambinghitaman pada pihak-pihak yang karena kecil suara dan kekuatannya tak mampu menandingi volume suara mayoritas. Malah, tradisi braokan ini nampaknya juga yang selalu membuat orang menganggap lazim penggunaan dikotomi mayoritas minoritas. Seolah-olah dalam sebuah situasi tertentu mayoritas adalah kekuatan pemaksa, dan minoritas adalah kelompok yang perlu dilindungi dari paksaan amarah dengan cara disingkirkan. 

Sebelum aku masuk lebih dalam pada refleksi historis tentang pembunuhan masal, bertahan lamanya otoritarianisme, kegagalan agama-agama menghadirkan perdamaian dan keadilan, .... dan sebagainya ... aku diingatkan lagi pada pesan para tetua, orang-orang bijak jaman dahulu. Bahkan penjual penjaja keliling kampung dahulu melengkapi penyampaian pesannya dengan bunyi-bunyian khas yang memberi kekayaan makna, ... aku teringat kata sederhana simbah: "Le ojo braokan!!!"

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun