Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi dalam Transisi

26 September 2015   02:09 Diperbarui: 26 September 2015   11:41 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jelas tidak relevan lagi berbicara pemisahan antara tradisional dan modern untuk memulai pembahasan tentang karya cipta lokal yang kandungan makna dan nilainya terbukti telah menciptakan peradaban komunal masyarakat. Tradisi juga bukan sekedar kebiasaan, sesuatu yang diwariskan turun temurun, dan dipraktekan sebagai alat memori. Yang ditengarai sebagai tradisi itu nyatanya sebuah karya cipta kreatif dan inovatif - yang tentu tak terelakkan dari perubahan dinamika jaman - yang dipercaya, dijalani, dan dikhabarkan entah sebagai pewartaan nilai-nilai keluhuran, entah sekedar sebagai sarana mencipta bahagia secara komunal.

Tradisi yang mana?

Sebuah peristiwa besar sekalipun, jika dikaitkan menjadi sebuah tradisi, maka konotasinya akan bermuara pada usaha melanjutkan yang sudah berjalan baik atau menjaganya agar terus berjalan sesuai dengan yang dikehendakinya semula. Dalam konteks sebuah peristiwa yang dihayati komunal sebagai bagian dari daur kehidupan masyarakat, apa yang disebut tradisi itu sesungguhnya adalah sebuah peristiwa merayakan apa yang terbaik yang dimiliki oleh masyarakat.

Banyak hasil karya cipta terbaik yang bisa diapresiasi dalam sebuah dinamika hidup bermasyarakat. Ada ekspresi seni lengkap dengan tingkat pemaknaannya. Ada yang secara material diwujudkan dalam bentuk-bentuk khas yang langsung bisa dikonsumsi yang ditawarkan dalam kemasan kuliner, barang hiasan sovenir pernak-pernik penanda, hingga jasa hiburan yang memuaskan dahaga manusia akan bentuk-bentuk kebahagiaan.

Karya terbaik yang dievaluasi, dihayati dan dirayakan bersama dalam segala ragam bentuknya itulah yang layak untuk menjadi arti baru dengan apa yang selama ini kita sebut sebagai tradisi. Karena begitulah perjalanan hidup manusia. Begitulah karya cipta terus memberi makna. Begitulah, agar hadirnya, tiap saat itu dibutuhkan, memperkuat kembali artinya menjadi sebuah kelompok masyarakat, menjadi manusia itu sendiri.

Maka dimanapun, kapanpun, dalam bentuk apapun karya cipta komunal itu dirayakan bersama dia adalah bentuk tradisi. Tak peduli semodern apapun, seklasik apapun, seunik apapun. Begitulah tiap kelompok masyarakat berhak merayakan-menjalani-menikmati dengan merdeka tanpa campur tangan kepentingan apapun karya cipta tradisinya.

Kepentingan kekuasaan politik adalah yang paling gencar memiliki kepentingan untuk memanfaatkan sebuah tradisi komunal. Dengan memberikan pemaknaan dengan penekanan terhadap idiologi tertentu, kekuasaan politis seringkali nampak paling agresif mengintervensi tradisi komunal sebagai alat untuk mempengaruhi cara pikir dan cara bertindak masyarakat.

Agama, terutama yang tidak tumbuh natural dan cultural dalam pergumulan kontekstual dinamika sejarah hidup komunitas adalah kepentingan kedua yang paling rajin memanfaatkan dan atau mendiskreditkan tradisi karya cipta lokal. Realitas transformatif tradisi seringkali dinisbikan saat berjumpa dengan agama. Seolah agama memiliki netralitas kepentingan. Nyatanya agresifitas agama dalam memperdaya tradisi sebagai alat kebenaran dan dosa, semakin disadari banyak orang menjadi kemunafikan - kalau tidak mau disebut sebagai kealpaan - agama itu sendiri pada hakikat terdalamnya.

Yang ketiga dan yang paling krusial adalah kepentingan ekonomis. Di satu sisi, karya cipta terbaik lokal dalam tradisi tak bisa dipungkiri menawarkan penghasilan profit besar yang menjanjikan kemakmuran komunitas, namun disisi yang lain pelaksanaannya, prakteknya, dan bahkan konsekuensi marerial yang ditimbulkannya juga menghabiskan energi yang tidak sedikit. 

Kombinasi kreatif antara ketiga kepentingan inilah yang memaksa tiap praktek tradisi harus berpikir panjang, bersiap diri ekstra hati-hati, dan merencanakan dampak yang hendak dipengaruhi sebijak mungkin. Demikianlah tiap tradisi menemukan dilema transisionalnya. Demikianlah tiap tradisi harus selalu bernegosiasi untuk tidak sekedar akomodatif terhadap kepentingan itu namun juga bersifat transformatif.

Transisi sebagai ruang transformasi

Masa paling penting sekaligus paling rawan dalam sebuah peristiwa tradisi adalah masa transisinya. Sebuah ruang waktu saat tradisi itu menjumpai fungsi-fungsi yang berkembang dengan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Ruang waktu seperti ini tidak terhindarkan, pilihannya hanya menghadapinya atau melampauinya.

Ruang waktu transisi itu misalnya terjadi saat salah satu kepentingan di atas intervensinya tak terelakkan dan atau berupa kombinasi tarikan kebutuhan internal komunitas pelaku tradisi itu sendiri untuk mampu survive dan berkembang lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun