[caption caption="Risky dan Ibunya saat wawancara dengan penulis. (foto Ganendra)"][/caption]
RUANGAN itu tak terlalu luas. Ada kasur lusuh yang teronggok memenuhi sepertiga ruangan. Di sudut seberangnya sebuah sofa usang robek sana sini termenung di depan sebuah televisi yang tak kalah uzur. Entah apa merek televisi hitam kusam itu. Selain itu tak ada barang berarti yang ada mengisi ruangan yang ukurannya tak sampai 3x2,5 meter itu. Ada dua buah baju seragam warna putih dengan emblem tergantung di dekat pintu menuju ruangan belakang. Dinding ruangan bercat warna putih yang sudah tak bersih lagi. Ada bercak-bercak kusam pertanda cat itu sudah mengelupas.
Dua buah minuman gelas tersaji di nampan. “Terima kasih Bu,” kataku, saat ibu yang berumur kepala empat itu menawarkan.
Ibu Riri. Beberapa keriput wajahnya terlihat mulai menua, menyiratkan banyak cerita di kehidupan keluarganya. Pakaiannya sangat sederhana. Gurat-gurat di lengannya seakan bicara, bahwa ia adalah ibu pekerja keras. Pantang menyerah menghidupi ketiga anaknya, meski sudah 4 tahun menjanda. Suaminya menikah lagi. Dan sejak itulah segala kebutuhan ketiga putra-putrinya serta dirinya sendiri menjadi tanggungannya. Pasalnya uluran tangan tanggungjawab ekonomi dari mantan suaminya tak pernah diterimanya lagi.
Di sebelahnya, seorang pemuda kurus berkacamata menemani. Pemuda tanggung siswa SMAN 6 Tangerang Selatan. Kulitnya agak hitam namun punya seraut wajah yang manis, dan ramah. Dialah M. Risky Arasyid, siswa yang sedang berbincang-bincang denganku mengenai pendidikan dan kehidupannya. Sesekali tersenyum saat bercerita menjawab pertanyaanku. Duduk di kelas terakhir, Risky hampir lulus. Sejak kelas 11, dia didapuk menjadi ketua OSIS di sekolahnya. Kelas unggulan pun menjadi tempatnya berstudi dari total 5 kelas yang ada.
“Aku sering ngadain acara bareng teman-teman OSIS, biasanya hari wiken, Om,” tuturnya.
[caption caption="Risky mau fokus belajar ditengah kondisi ekonomi yang kekurangan, demi cita-citanya. (foto Ganendra)"]
Sebagai Ketua OSIS tentu saja Risky bersama teman-teman lainnya menjadi penggerak kegiatan positif di sekolahnya. Acara pentas seni, baris berbaris dan lain-lain. Baginya kegiatan-kegiatan itu positif untuk pengembangan pribadinya, bekal di masa mendatang.
Jalan kaki ditempuhnya ke sekolah dari rumah petak sewaan di Jl. Kemuning 1, Pamulang Barat, Tangsel. Sekitar 30an menit ditempuhnya sekali jalan. Sebungkus bekal nasi dengan lauk tempe menjadi teman kesehariannya. Mengganjal perut dari jam sekolah pagi hingga sore hari. Jangan Tanya soal uang jajan, ataupun sekedar ongkos angkot. Tak ada. Tak ada uang lebih untuk sekedar jajan. Ibunya yang bekerja sehari-hari dengan ‘mburuh setrika’ di beberapa keluarga perumahan terdekat hanya menghasilkan uang pas-pasan yang tak tentu. Perolehan sekitar Rp. 500 ribu – 600 ribu / bulan prioritas untuk membayar sewa rumah petak ukuran kecil sebesar Rp. 400/ bulan. Sisanya untuk makan dan keperluan sekolah?
[caption caption="Rumah petak kecil yang dikontrak perbulan. Ditempati dengan Ibu dan 2 adiknya. (foto Ganendra)"]
Itulah salah satu sebab Risky tak terlalu banyak menuntut. Sebagai anak sulung dari kedua adiknya, ia merasa harus membantu beban keluarga. Setiap harinya pagi menjelang berangkat ke sekolah, ia sempatkan mampir ‘kulakan’ roti, untuk dijual! Modalnya?
“Terkadang pinjam kas sekolah ataupun kalau Ibu pas pegang duit Om,” katanya.
Uang sebesar Rp. 20 ribu ia belanjakan membeli roti. 30 bungkus roti, ia jual seharga Rp 1000/ roti. Untung Rp. 10 ribu. Beruntung, roti jualannya selalu habis dibeli teman-temannya. Maklum jam panjang di sekolah, butuh makanan pengganjal perut. Sementara jajan makanan berat di Kantin sekolah dirasa masih lumayan mahal bagi beberapa teman sekolahnya. Seringnya tambal sulam untuk kebutuhan lain membuat modalnya selalu habis terpakai. Namun niat dan tekad untuk selalu berjualan selalu menyala. Satu hal pendorong terkuatnya adalah “wajah ibunya.”
“Aku harus memikirkan keluarga, ga tega jadi beban Ibu. Aku pengen fokus belajar juga untuk sekolah lebih tinggi,” ujarnya.
Dulu Ibunya bekerja membantu mengurus anak, membersihkan rumah, mengepel, mencuci baju serta menyetrika. Sekarang seiring setelah jatuh sakit, tenaganya tak cukup kuat untuk mengerjakan ragam pekerjaan itu. Praktis hanya menyetrika baju yang sanggup Ibu Riri lakukan untuk mencari penghasilan. untuk sekedar makan seadanya dan mencukupi kebutuhan ketiga anaknya.
Setiap bulan uang sewa rumah petak menjadi pikiran utamanya. Beruntung Riski dan adiknya Ari Ramadhan yang masih duduk di SMP 17, tak banyak rewel soal uang. Cuman adik perempuan Risky, Anisa yang duduk di kelas 6 SD, yang membutuhkan uang setiap harinya minimal Rp. 5000,-. Maklum ke sekolah mesti menggunakan angkot soalnya lumayan jauh. Rp. 4000 pulang pergi, sisa Rp. 1000 untuk uang jajan.
“Saya juga kadang ikut catering kalau ada tawaran Om,” cerita Risky.
Ada seorang Bapak temannya yang bekerja di catering. Jika ada pesanan Risky turut membantu sebagai pelayan. Sifatnya sementara saat ada acara saja. Dan itu frekuensinya juga tak banyak. Bisa sebulan sekali atau bahkan lebih.
Risky sadar bahwa pendidikan sangat penting, begitu pula ditekankan ibunya. beruntung ada sedikit-sedikit bantuan untuk tambah-tambah uang perlengkapan meski tentu saja tidaklah cukup untuk Riski dan adiknya. Ada unit dhuafa ibu-ibu di sebuah perumahan yang tiap 3-4 bulan sekali memberikan sedekah kisaran Rp. 200-300 ribu. Sementara dari pihak sekolah, melalui guru BP, ada uang saku untuk anak tak mampu sebesar Rp. 100 ribu untuk 2-3 bulan setiap kali. Cukupkah?
Paling tidak saat ini mereka masih bisa menjalani kehidupan sehari-harinya. Ibu Riri pun menekankan keikhlasan pada anak-anaknya. “Rejeki sudah diatur, pokoknya ada aja yang membuat kita bisa jalani kehidupan sehari-hari,” tutur Bu Riri.
Lalu apa cita-cita Risky?
“Saya ingin melanjutkan kuliah sambil kerja Om, syukur dapet beasiswa biar tidak menjadi beban Ibu,” katanya.
Caranya? Menurut Risky saat ini ia ingin bisa masuk universitas melalui “jalur undangan”. jalur yang membidik anak-anak berprestasi namun kurang mampu. Beruntung nilai rapor Riski cukup bagus, rata-rata 8,5. Risky ingin meningkatkan lagi di semester ini, agar bisa menembus jalur tersebut. Cuman saat ini yang menjadi kendala adalah kebutuhan akan perangkat belajar di sekolah.
“Sekolah sudah menerapkan kurikulum 13, jadi banyak tugas dan pelajaran mesti menggunakan power poin,” katanya.
[caption caption="Risky dengan teman sekolahnya saat kegiatan sekolah. (foto dokumen Risky)"]
[caption caption="Risky (berkacamata) dan teman-teman sekolahnya dalam sebuah kegiatan sekolah. (foto dokumen Risky)"]
Otomatis kebutuhan sarana komputer atau semacamnya menjadi vital. Pasalnya hampir semua mata pelajaran menggunakan metode presentasi menggunakan infokus. Sementara ini Risky ‘nebeng’ dengan temannya. Bahkan seringkali menginap untuk mengerjakan tugas sekolah itu.
“Pengen sih punya laptop atau komputer, untuk kerjain tugas. Juga untuk nulis-nulis. Saya suka nulis diary tentang keseharian saya,” katanya.
Risky pengen nulis di blog juga. Katanya dulu pernah punya blog. Namun sekarang sudah tak update lagi. Saat ini lebih banyak nulis 'curhatnya' di buku. Salah satu kendalanya adalah fasilitas internet yang butuh biaya. Semisal ke warnet tentu butuh ongkos juga.
Itulah sekelumit kisah Risky, dengan keterbatasan kondisi masih bersemangat bersekolah. Seorang anak muda ‘penggerak’ bersama OSIS yang dikomandaninya. Dan bercita-cita membahagiakan Ibunya kelak serta saudaranya.
Semoga apa yang menjadi niat baik Risky terkabulkan. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H