Sumber Foto: ANTARA News
https://cdn.antaranews.com/cache/800x533/2021/09/15/Masyarakat-Adat-Saga-Ende-NTT-FOTO_-AMAN.jpg
Hukum adat secara natural itu bagian dari masyarakat dan kebiasaan Bangsa Indonesia sejak kita sebelum merdeka, bahkan Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan hukum adat demi kepentingannya yang dikenal dengan adat recht.
KUHP baru yang ditetapkan dalam UU No.1 Tahun 2023, cara pandang ini, tidak bisa lepas dari pembentukan KUHP warisan Pemerintah Hindia Belanda. Pembentukan hukum berdasarkan atas hukum nasional, hukum islam dan hukum adat (hukum yang berlaku bagi masyarakat setempat). Pembentukan KUHP ini, secara fungsi hukum pidana menurut Sudarto ada  berupa fungsi umum yaitu mengatur hidup masyarakat atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat dan fungsi khusus yaitu hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum, mana yang dilindungi, tidak hanya kepentingan individu, juga masyarakat dan negara.
Pasal 1 KUHP jelas ada pengakuan asas legalitas sebagai pedoman dalam menentukan suatu perbuatan itu melanggar hukum atau tidak. Dalam Pasal 2 KUHP menyatakan:
Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.
Ayat (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 KUHP ayat (1)
Yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, adalah hukum adat yag menentukan bahwa, seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut di pidana. Hakim yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peraturan daerah mengatur mengenai tindak pidana undang-undang adat tersebut.
Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang kental dengan peraturan adat yang ada pada setiap daerah atau bahkan kelompok masyarakat, dapat memberlakukan pemidanaan walaupun hal tersebut tidak diatur secara tertulis di dalam KUHP.
Penjelasan Pasal 2 KUHP ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan berlaku dalam tempat hukum itu hidup, adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 2 KUHP ayat (3)
Peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam peraturan daerah.
Pasal 2 KUHP, frase berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, ada pengakuan hukum yang tidak tertulis (hukum adat) yang berlaku di masyarakat, sehingga menyimpang dari asas legalitas. Hukum yang ada masyarakat tetap berlaku, walaupun tidak diatur dalam KUHP. Ini menjadi kontraduktif terhadap eksistensi KUHP yang menganut asas legalitas di Pasal 1 KUHP.
Keberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat, sejatinya merujuk Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 3 UUPA. Pada Pasal 10 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajkan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilnya. Asas legalitas itu, dapat disampingkan, apabila hukum menghendaki, dengan pembentukan hukum baru berupa yurisprudensi hakim. Hal ini, termasuk dalam menggali hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Wakil rakyat melihat, dan merasakan hukum yang berlaku masyarakat adat, itu wajib diakui. Pasal 2 KUHP itu mengakomendasi itu, untuk menghargai keberadaan hukum adat yang berlaku di masyarakat. Dua norma yang berbeda, namun harus diakomendasi, jadi tafsir memberi ketidakjelasan. Pengakuan dengan syarat, diakui harus dipenuhi kualifikasi syaratnya. Pada tataran penerapan, akan menjadi celah hukum dalam dan secara norma menimbulkan ketidakpastian hukum, dan diskriminatif.
Hukum itu text yang ada di undang-undang sebagai hukum positif. Hukum adat itu bisa tertulis dan bisa tidak tertulis, mamahami ini, pokok masalah dalam penerapan. Maka harus jelas kualifikasi, dan list hukum adat mana, masyarakat hukum adat yang sudah pengakuan di peraturan daerah yang sudah mengatur hukum adat, seperti disyaratkan Permendagri No.52 Tahun 2014. Hal ini penting, sudah jeals makna tafsir itu ambigu, akan dipergunakan oleh oknum aparat penegak hukum sesuai kepentingan. Hal-hal seperti ini, harus jelas dan perjelas dalam norma. Pasal 2 masih memberi syarat, pilihan, yang sama dengan permasalahan yang muncul bertahun-tahun tanpa ada solusi yang jelas, rigid, dan konkrit.
KUHP Pasal 2, pengakuan dengan syarat, dan syarat masih bersifat abstract, maka supaya tidak terjadi pro dan kontrak/kriminalisasi dalam tafsir hukum. Pada saat ini, segera dibuat paremeter ukuran pancasilan UUD NRI Tahun 1945 yang living law (hukum adat) yang dapat diberlakukan dan diperjelas kualifikasi yang sudah diakui itu bagaimana.
Pentingnya hukum adat merupakan bentuk pengakuan atas hukum yang ada, ditaati oleh masyarakat hukum adat pada suatu daerah tertentu. Aparat penegak hukum yang ditugaskan di daerah yang masih berlaku hukum adat, ada hal-hal yang wajib ditaati. Pada tataran ini penerapan ada pembedanya dalam proses menyelesaikan masalah di masyarakat hukum adat, yang taat hukum adat.
 Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) memahami, dan menggali hukum adat yang yang masih berlaku hukum adat. Pada kontek ini, hukum secara kepastian hukum dipertanyakan, menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum. Banyak kasus seserorang yang diproses di lembaga ada (peradilan adat), dan juga di proses hukum negara. Proses selama ini dengan MOU, dan diskresi Polri, MA, kejaksaan dalam proses hukum adat dan hukum negara untuk mencari proses penyelesaian hukum dengan win-win solution.
Namun praktek tidak semua aparat penegak hukum menjalankan, paham. Pada akhir kita menemukan konflik sosial, demostrasi, dan yurisprudensi hakim berdasarkan hukum adat, dan hakim tetap mengacu pada hukum positif (lihat putusan hak ulayat, hutan desa, tanah adat, kebiasaan adat). Analisa-analisa dari putusan hakim berbeda-beda, tergantung itu pokok permasalahan selama ini dari apabila Pasal 2 KUHP diberlakukan.
Kita memahami dengan diberlakukan Pasal 2 KUHP, ada dua hal yakni hukum negara dan hukum adat tidak saling berhadapan (berkonflik penerapan), tetapi saling bersinergi dalam membangun tertib dan tatanan sosial. KUHP Pasal 2 ayat (2) Â diatur lebih lanjut, tentu akan tumpang tindih aturan yang sudah ada. Pasal 2 KUHP, dalam keberlakuan tafsirnya bersifat temporiery, dalam kondisi tertentu dan tempat hukum adat yang hidup masih ada dalam masyarakat.
Sejatinya membaca norma dalam Pasal 2 KUHP, akan berkolarasi dengan frase yang ada dalam Pasal 601 yang menyebutkan
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana di maksud dalam  Pasal 66 ayat (1) huruf  F.
Pasal 66 ayat (1) huruf F KUHP
Pasal 2 KUHP, membacanya harus satu satu kesatuan dengan penjelasanya pasal. Jadi memahami jangan sepotong-potong, maka makna dan tafsrinya akan berbeda. Hal ini yang rawan penyalagunaan hukum demi kepentingan oknum. Penafsiran UU sebagai tafsir resmi sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011, yang dirubah UU No. 15 Tahun 2019 yang dirubah UU No.13 Tahun 2022. Tentang Perubahan Kedua UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Living law (hukum adat) yang diatur Pasal 2 KUHP, ini bentuk pengakuan masyarakat hukum adat, yang masih hidup dan taat pada hukum adat, bukan dalam kontek menghidupkan peradilan adat yang sudah dihapus. Ini untuk memperjelas, bahwa keberadan peradilan adat sudah dihapus oleh undang-undang, supaya tidak disalahtafsirkan. Peradilan adat hanya diakui di Papau, diatur dalam UU Otonomi khusus Papua, dan Aceh. Di daerah lain, yang memperlakukan peradilan adat, dalam kontek peradilan umum, hasil dari peradilan adat, hanya sebagai bukti (salah satu alat bukti). Hal ini harus jelas, rigid, dan ambigu memaknai.
Pengakuan hukum adat itu dibunyikan secara text, seharusnya secepat dibuat  aturan pelaksana terkait pengakuan hukum adat yang mana yang masih ada, dan diakui dengan perda, sehingga aparat penegak hukum mudah dalam penerapan hukum.
Selain itu harus diperhatikan apabila secara hukum adat dapat diselesaikan dengan hukum adat, tetapi apabila salah satu pihak menghendaki penyelesaian secara adat, namun pihak lain menginginkan penyelesaian secara hukum nasional sesuai dengan Pasal 454 sampai Pasal 455 KUHP, akan memberi penafsiran ketidakpastian hukum dan konflik dalam masyarakat. Ini juga akan menjadi problematikan dalam penerapan hukum KUHP ini.
Aparat penegak hukum dapat menghentikan penerapan Pasal 2 KUHP, dengan merujuk Pasal 132 ayat (1) huruf g, menyatakan kewenangan penuntutan dinyatakan gugur, jika ada penyelesaian di luar proses pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Untuk sudah saat pemerintah membuat komplasi hukum adat untuk menentukan norma adat yang mana masih hidup, untuk mencegah sanksi adat yang double sistem peradilan bagi masyarakat hukum adat (ne bis en idem).
Selain dalam merujuk Pasal 66 ayat (1) huruf F, hal ini sangat kontrakdiktif dalam pemenuhan kewajiban adat dalam hal terkait ganti rugi. m\ekanisme sanksi sudah digunakan dalam hukum adat bagi pelanggar hukum adat, dengan denda (benda-benda adat), sehingga pihak korban apabila menolak melakukan proses peradilan negara, karena sudah melaksanakan sanksi adat, termasuk ganti rugi terhadap korban, hal ini menimbulkan masalah. Pemenuhan kewajiban adat, berupa ganti rugi dalam KUHP baru merujuk Pasal 66, Pasal 70, Pasal 94, Pasal 96, dan Pasal 120 KUHP, yang dapat dimaknai dan dapat dikenakan ganti rugi terhadap korban.
Apapun ini, mungkin hal terbaik dalam proses pembaharuan hukum adat dalam sistem  hukum nasional Indonesia. Dalam penerapan tentu akan ada masalah 3 (tiga) tahun ke depan. Demikian dalam proses yang berlaku KUHP baru ini, negara telah memberi pengakuan keberadan masyarakat hukum adat, hukum adat dengan syarat menjadi perjalanan hukum pidana kita, yang mengandung nilai-nilai keberlakuan hukum yang berlaku di masyarakat yang harus diakui sebagai Bangsa Indonesia, supaya tidak menghilangkan identitas bangsa kita.
Samarinda, 18 Januari 2023
Dr. Siti Kotijah SH., M.H, Melinda FH UNMUL (2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H