Aparat penegak hukum dapat menghentikan penerapan Pasal 2 KUHP, dengan merujuk Pasal 132 ayat (1) huruf g, menyatakan kewenangan penuntutan dinyatakan gugur, jika ada penyelesaian di luar proses pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Untuk sudah saat pemerintah membuat komplasi hukum adat untuk menentukan norma adat yang mana masih hidup, untuk mencegah sanksi adat yang double sistem peradilan bagi masyarakat hukum adat (ne bis en idem).
Selain dalam merujuk Pasal 66 ayat (1) huruf F, hal ini sangat kontrakdiktif dalam pemenuhan kewajiban adat dalam hal terkait ganti rugi. m\ekanisme sanksi sudah digunakan dalam hukum adat bagi pelanggar hukum adat, dengan denda (benda-benda adat), sehingga pihak korban apabila menolak melakukan proses peradilan negara, karena sudah melaksanakan sanksi adat, termasuk ganti rugi terhadap korban, hal ini menimbulkan masalah. Pemenuhan kewajiban adat, berupa ganti rugi dalam KUHP baru merujuk Pasal 66, Pasal 70, Pasal 94, Pasal 96, dan Pasal 120 KUHP, yang dapat dimaknai dan dapat dikenakan ganti rugi terhadap korban.
Apapun ini, mungkin hal terbaik dalam proses pembaharuan hukum adat dalam sistem  hukum nasional Indonesia. Dalam penerapan tentu akan ada masalah 3 (tiga) tahun ke depan. Demikian dalam proses yang berlaku KUHP baru ini, negara telah memberi pengakuan keberadan masyarakat hukum adat, hukum adat dengan syarat menjadi perjalanan hukum pidana kita, yang mengandung nilai-nilai keberlakuan hukum yang berlaku di masyarakat yang harus diakui sebagai Bangsa Indonesia, supaya tidak menghilangkan identitas bangsa kita.
Samarinda, 18 Januari 2023
Dr. Siti Kotijah SH., M.H, Melinda FH UNMUL (2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H