Secara etimologis, ijtihad berarti bersungguh-sungguh. Maksudnya yakni mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk dapat mencapai sesuatu.Adapun secara terminologi, ijtihad bermakna sebagai usaha mengembangkan segala bentuk pemikiran dan tenaga untuk dapat menetapkan suatu istinbat (kesimpulan),atau menetapkan suatu hukum baru yang didasarkan atas Al-quran dan hadits dengan tujuan agar menjadi suatu pedoman hidup bagi setiap mukallaf agar sesuai dengan kondisi perubahan zaman serta tempatnya.Â
    Menjadi seorang mujtahid,tidak seperti mengangkat seorang menteri parlemen,dalam pelaksanaannya terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi terlebih dahulu, antara lain:Â
1. Memiliki pengetahuan dan paham Al-quran dan haditsÂ
2. Paham atas ilmu dasar ushul fiqih serta tujuan-tujuan syariat agama
3. Menguasai ilmu bahasa,terutama bahasa ArabÂ
4. A'dalah,yakni menjauhi maksiat,dan bersikap adil
5. Dapat berdiskusi dengan para pakar ulamaÂ
Tingkatan Mujtahid dibagi atas 3 bagian:Â
1. Mujtahid mutlaq,yakni memiliki kemampuan dalam memberikan fatwa  dan pendapat nya tidak terikat dengan 4 madzhab yang telah Ada.Â
2. Mujtahid muntasib,yakni mujtahid yang memiliki syarat berijtihad,namun terikat dengan madzhab lain,dan dalam hal ini dibagi lagi yaitu:
A. Ijtihad takhtij ,yakni hasil ijtihad nyaÂ
terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam madzhab nya.Â
B. Ijtihad fatwa, yakni ijtihad dalam bent
uk menguasai seluk pendapat hukum
imam madzhab dan ulama madzhab yang dianutnya,yang kemudian di fatwakan kepada masyarakat serta tidak sama sekali menghasilkan istinbat hukum dan tidak pula memilah pendapat yg ada didalam nya.Â
C. Ijtihad tarjih,yakni ijtihad yg dilaksanakan untuk memilah pendapat yg dipandang lebih kuat dan akurat diantara pendapat-pendapat imam madzhab ,serta tidak melakukan istinbat hukum syara'.Â
Jenis ijtihad ada 3 antara lain:Â
a. Ijtihad bayani,yaitu membahas tentang hukum syariah dan nash syar'i.Â
b. Ijtihad qiyasi, yaitu menetapkan hukum-hukum syariat dengan memakai qiyas (analogj).Â
c. Ijtihad ishtishlahi,yaitu menetapkan hukum-hukum syariat dengan memakai akal (ra'yu),serta berdasarkan ishtishlahi (devinisi).Â
    Salah satu permasalahan ijtihad yg terjadi di kehidupan sehari-hati yakni Masalah pelaksanaan puasa, sebagaimana yg tercantum dalam surah (Al-baqarah : 184)yang artinya: Dan orang-orang yang terpaksa menjalankan ibadah puasa dengan berbagai alasan yang mendesak wajib membayar fidyah. Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sanya orang yg lanjut usia, seseorang yg lemah fisik karena sakit,dan orang mukmin yg sehat sedang dalam keadaan bermukim dan mendapatkan kesusahan sehingga tidak bisa menjalankan puasa Allah kemudian memberikan rukshoh atas mereka untuk tidak berpuasa pada bln romadhon serta dari hasil ijtihad ulama itulah para mujtahid kemudian menambahi hukum tersebut bhwa mereka yang memiliki keterbatasan dalam berpuasa tidak pula diwajibkan atas mereka mengganti puasa tersebut di lain hari akan tetapi menggangtinya dengan membayar fidyah(memberi makan fakir miskin dan anak yatim piatu.Â
     Ittiba',secara bahasa berarti mengikuti.Â
Adapun arti lainnya yakni iqtifa' yaitu menelusuri jejak,qudwah yakni suri tauladan,dan uswah yakni panutan. Secara istilah ittiba'berarti mengikuti pendapat seorang ulama,fuqoha dan lainnya. Dengan tujuan agar dapat mengetahui dan memahamiÂ
dalil/ hujjah dari suatu perkara yang ada.Â
Tujuan khusus dari seorang ittiba'yaitu untukÂ
dapat meraih keyakian terhadap dirinya sendiri mengenai  ajaran agama yang diikuti,agar tidak timbul rasa kegelisahan sehingga menumbuhkan sikap rasa ikhlas dalam dirinya sendiri. Ittiba'dibagi menjadi 2 bagian:Â
1. Ittiba' kepada Allah dan RasulNya,yakni
Sebagaimana firman Allah dalam surah (Al-ahzab:21)Â
2. Ittiba' kepada selain Allah dan RasulNya yang tertuang dalam surah (Al-a'raf:7).Â
Contoh permasalahan dari ittiba'ini yakni terlihat pada kisah Ibrahim kepada ayahnyaÂ
dalam surah (Maryam: 43)yang menunjukkan bahwa orang yg tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam suatu perkara yg sebelumnya tidak mereka ketahui.  Â
Juga tentang kisah Musa didalam surah (Al-kahfi:65-66) yg dengan kukuhnya sangat ingin mengikuti nabi khidir demi berguru dan mempelajari ilmu yg Allah ajarkan ke beliau. Dan hal tersebut menunjukkan sebagai bukti bahwasanya dengan mengikuti orang yg lebih mengetahui dalam permasalahan bukanlah termasuk hal yg tercela,dan juga tidak ada hukum musyrik atau lainnya. Mengenai ittiba'kepada para ulama dan mujtahid (bkn selain Allah dan RasulNya) imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa beliau membolehkan ittiba' hanya kepada rasul.Â
   Ulama lain berpendapat ittiba' diperbolehkan  kepada ulama yang masuk kategori  sebagai waratsssatul anbiya sebagaimana yg dijelaskan di surah
(An-nahl:43) yg artinya:maka bertanya lahh.  Kamu kepada orang-orang yang berilmuÂ
jika kamu tidak mengetahui.Â
Iftitahatul Fauzah ((T20185038)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H