Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyambut Era Pajak Karbon, Sebenarnya Seperti Apa Sih Konsepnya?

3 Oktober 2023   21:42 Diperbarui: 4 Oktober 2023   01:58 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pajak karbon adalah upaya pemerintah mengendalikan perubahan iklim yang kian masif, di mana pajak karbon di Indonesia menggunakan skema cap and tax. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Bayangkan ada sebuah cafe dan toko tanaman menempati lantai satu dan dua pada bangunan yang sama seperti pada gambar di bawah. Cafe tersebut lebih dulu berdiri dan sekitar setengah tahun kemudian, lantai dua bangunan tersebut ternyata disewa oleh seorang pengusaha tanaman. Pemilik cafe menyadari, bahwa sejak lantai atas ditempati, biaya operasional cafe tersebut menjadi menurun dan penjualannya meningkat. 

Setelah diidentifikasi, ternyata biaya listrik menjadi lebih hemat dan pengunjung juga meningkat. Karena biaya operasional berkurang maka pemilik cafe berani menurunkan harga latte dari awalnya Rp 25.000 menjadi Rp 20.000. 

Beberapa pengunjung suka membuat konten disini karena udaranya segar dan cocok untuk dipamerkan di media sosial. Cafe pesaing yang terletak tidak jauh dari cafe ini pada akhirnya sepi dan bangkrut, karena tidak memungkinkan baginya untuk bersaing dari sisi harga dan tidak mendapatkan promosi gratis seperti ini.

Dengan adanya toko tanaman di lantai dua, maka keseluruhan bangunan menjadi lebih sejuk, udaranya lebih segar dan dari sisi penampilan juga menjadi lebih instagramable. Tetapi dari sudut pandang pemilik cafe, "keberadaan toko tanaman" tidak pernah diperhitungkan. 

Laporan keuangan atau struktur biaya cafe tidak akan mencantumkan keterangan apapun. Jika saya diajak menanamkan modal oleh pemilik cafe dan hanya membaca laporan keuangannya, maka hanya terlihat usaha yang sehat dan menguntungkan. 

Ternyata dua tahun berikutnya, toko tanaman di atas pindah lokasi karena kekurangan biaya operasional Rp10.000.000 per tahun sementara penyewa penggantinya adalah seorang pengacara yang karena ingin terlihat profesional, desain lantai atas diubah menjadi lebih "kaku" dan "formal". 

Karena tidak ada lagi tanaman, ruangan lantai bawah menjadi kembali ke suhu normal, dan biaya operasional kembali meningkat sementara harga latte tidak mungkin dinaikkan karena pelanggan tidak menyukai kenaikan harga. Pengunjung juga berkurang karena penampilan gedung cafe tidak lagi menarik untuk menjadi tempat membuat konten tiktok. 

Konsep seperti cerita di atas disebut dengan externalities, yaitu adanya faktor di luar ruang lingkup satu pihak yang ternyata mempengaruhi pihak lain, tetapi tidak tercermin dari struktur biaya atau keuangan perusahaan yang dipengaruhi.

Externalities bisa berdampak positif seperti cerita cafe-toko tanaman diatas, tetapi dapat berdampak negatif seperti misalnya penyewa lantai dua sejak awal merupakan toko furniture yang berisik dan debu kayunya terbang kemana-mana.

Jika si pemilik cafe sadar dengan konsep externalities ini sejak awal, maka dia bisa menghitung bahwa jika dia sendiri yang harus menanggung biaya tanaman dan mendekor lantai dua maka dia harus merogoh kocek Rp 15.000.000. 

Jika si pemilik toko tanaman mau dibayar Rp 12.000.000 setahun tentu saja ini merupakan win-win solution. Toko tanaman mendapatkan tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan biaya operasional dan tetap bisa menempati lantai dua sedangkan pemilik cafe bisa menghemat biaya ketimbang harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mendekor lantai atas.

Konsep externalities ini terlihat sederhana, tetapi ternyata baru diakui pada tahun 1991 dan bahkan pencetus ide ini yang bernama Ronald H. Coase mendapatkan Nobel Prize di bidang ekonomi dan menjadi pondasi bagi adanya konsep perdagangan karbon dan juga pajak karbon.

Latte pada cerita diatas dapat dijual dengan harga murah karena biaya operasional cafe tidak memperhitungkan biaya terkait adanya toko tanaman di lantai atas, sama seperti pembangkit batu bara yang memang pilihan paling murah untuk memproduksi listrik, tetapi mengeluarkan emisi CO2. 

Akumulasi CO2 di udara akan mengakibatkan pemanasan global. Contoh yang paling sederhana, jika memang tinggi air laut meningkat karena global warming, pemerintah harus membangun tanggul di kota-kota besar pesisir pantai atau mungkin merelokasi masyarakat yang terdampak dengan biaya yang sangat besar. 

Pembangkit batu bara bisa murah karena tidak mempertimbangkan faktor externalities biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menangani kerusakan lingkungan akibat pemanasan global.

Sebenarnya konsep pajak karbon seperti ini bukan hal baru karena Pajak Rokok yang ditetapkan dengan PMK Nomor 128/PMK.07/2018 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan juga memiliki konsep yang sama. Harga rokok bisa murah karena tidak memperhitungkan faktor externalities biaya pengobatan yang timbul. 

Ada juga Pajak Kendaraan Bermotor, dimana berat kendaraan yang melewati jalan umum akan mengakibatkan penurunan kualitas jalan. Penggunaan kendaraan bermotor tidak memperhitungkan faktor externalities biaya kerusakan jalan akibat berat kendaraan yang melewatinya.

Seperti apa pajak karbon di Indonesia?

Sampai dengan tulisan ini dibuat, PMK dan Perdirjen terkait Pajak Karbon belum diterbitkan sehingga memang belum bisa dipastikan seperti apa mekanismenya tetapi dengan dibukanya Bursa Perdagangan Karbon (IDXCarbon) menunjukkan bahwa mekanisme yang digunakan adalah Cap and Tax yang merupakan gabungan dari skema Cap and Trade dengan Carbon Tax.

Seperti contoh cafe di atas, jika memang ada faktor externalities, maka biaya yang diperhitungkan harus memperhitungkan faktor tersebut. Cafe harus membayar Rp 12.000.000 ke pemilik toko tanaman untuk mendapatkan win-win solution. 

Dalam hal emisi karbon, pembayaran ini bisa dalam bentuk pembelian kuota seperti dalam skema Cap and Trade, atau membayar pajak karbon. Ada negara yang tidak mau mengenakan pajak karbon karena "secara politis" mengenakan pajak tambahan tidak terlalu populer di mata masyarakat.

Dalam skema Cap and Trade, semua jenis usaha yang mengeluarkan emisi CO2 harus memasang alat pengukur emisi pada cerobong asap yang dimiliki. Pemerintah akan menetapkan batasan jumlah emisi yang boleh dikeluarkan selama setahun (misal 12.000 metric ton). 

Data emisi yang muncul biasanya akan terkirim secara otomatis ke server milik regulator. Kuota emisi ini akan dibagikan kepada masing-masing anggota bursa carbon. 

Jika PT A ternyata mengeluarkan emisi 15.000 metric ton, maka dia harus membeli kuota dari PT B yang hanya mengeluarkan 8.000 metric ton. PT B bisa menekan emisi sampai sebesar ini karena memasang alat penyaring atau pengolah emisi CO2. 

Sisa kuota 4.000 metric yang dimiliki PT B ini bernilai ekonomis karena diperdagangkan di bursa karbon dengan harga sesuai tawar menawar mirip dengan transaksi jual beli saham di bursa efek. 

Beberapa negara ada yang menerapkan harga batas atas untuk perdagangan karbon ini. Karena kuota bernilai ekonomis, maka ada insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi karbonnya seperti dengan memasang filter atau investasi ke renewable energy.

Pada skema Cap and Tax ada dua kemungkinan penerapan yang dapat digunakan. Pertama adalah, bagi perusahaan yang telah melebihi kuota maka diberi pilihan untuk membeli kuota karbon pada bursa karbon atau membayar pajak karbon dengan tarif yang sudah ditetapkan. Kedua adalah dengan menerapkan batasan kedua. 

Misalkan untuk kelebihan kuota sampai dengan 10.000 metric ton dapat membeli kuota pada bursa, tetapi jika sudah melebihi batas kuota tambahan tersebut (misal, total emisi yang dikeluarkan ternyata 30.000 metric ton > 22.000 metric ton yang dimiliki) maka diwajibkan membayar pajak karbon atas kelebihan 8.000 metric ton emisi yang dihasilkan.

Pada saat tulisan ini dibuat, Indonesia sedang mengalami puncak musim kemarau dimana suhu di Jakarta pada siang hari mencapai 35 derajat celcius. Sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa memang suhu rata-rata per tahun pada suatu daerah selalu mengalami kenaikan. 

Pembatasan emisi CO2 memang sudah seharusnya dilakukan untuk mengurangi dampak global warming. Jangan sampai di masa anak cucu kita nanti, mereka hanya akan marah kepada generasi kita kenapa hanya menyisakan alam yang rusak, udara yang buruk, serta suhu yang ekstrim untuk mereka tinggali nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun