Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyambut Era Pajak Karbon, Sebenarnya Seperti Apa Sih Konsepnya?

3 Oktober 2023   21:42 Diperbarui: 4 Oktober 2023   01:58 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika si pemilik toko tanaman mau dibayar Rp 12.000.000 setahun tentu saja ini merupakan win-win solution. Toko tanaman mendapatkan tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan biaya operasional dan tetap bisa menempati lantai dua sedangkan pemilik cafe bisa menghemat biaya ketimbang harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mendekor lantai atas.

Konsep externalities ini terlihat sederhana, tetapi ternyata baru diakui pada tahun 1991 dan bahkan pencetus ide ini yang bernama Ronald H. Coase mendapatkan Nobel Prize di bidang ekonomi dan menjadi pondasi bagi adanya konsep perdagangan karbon dan juga pajak karbon.

Latte pada cerita diatas dapat dijual dengan harga murah karena biaya operasional cafe tidak memperhitungkan biaya terkait adanya toko tanaman di lantai atas, sama seperti pembangkit batu bara yang memang pilihan paling murah untuk memproduksi listrik, tetapi mengeluarkan emisi CO2. 

Akumulasi CO2 di udara akan mengakibatkan pemanasan global. Contoh yang paling sederhana, jika memang tinggi air laut meningkat karena global warming, pemerintah harus membangun tanggul di kota-kota besar pesisir pantai atau mungkin merelokasi masyarakat yang terdampak dengan biaya yang sangat besar. 

Pembangkit batu bara bisa murah karena tidak mempertimbangkan faktor externalities biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menangani kerusakan lingkungan akibat pemanasan global.

Sebenarnya konsep pajak karbon seperti ini bukan hal baru karena Pajak Rokok yang ditetapkan dengan PMK Nomor 128/PMK.07/2018 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan juga memiliki konsep yang sama. Harga rokok bisa murah karena tidak memperhitungkan faktor externalities biaya pengobatan yang timbul. 

Ada juga Pajak Kendaraan Bermotor, dimana berat kendaraan yang melewati jalan umum akan mengakibatkan penurunan kualitas jalan. Penggunaan kendaraan bermotor tidak memperhitungkan faktor externalities biaya kerusakan jalan akibat berat kendaraan yang melewatinya.

Seperti apa pajak karbon di Indonesia?

Sampai dengan tulisan ini dibuat, PMK dan Perdirjen terkait Pajak Karbon belum diterbitkan sehingga memang belum bisa dipastikan seperti apa mekanismenya tetapi dengan dibukanya Bursa Perdagangan Karbon (IDXCarbon) menunjukkan bahwa mekanisme yang digunakan adalah Cap and Tax yang merupakan gabungan dari skema Cap and Trade dengan Carbon Tax.

Seperti contoh cafe di atas, jika memang ada faktor externalities, maka biaya yang diperhitungkan harus memperhitungkan faktor tersebut. Cafe harus membayar Rp 12.000.000 ke pemilik toko tanaman untuk mendapatkan win-win solution. 

Dalam hal emisi karbon, pembayaran ini bisa dalam bentuk pembelian kuota seperti dalam skema Cap and Trade, atau membayar pajak karbon. Ada negara yang tidak mau mengenakan pajak karbon karena "secara politis" mengenakan pajak tambahan tidak terlalu populer di mata masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun