Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Digital Nomad dan Perlakuan Perpajakannya

19 Januari 2021   13:32 Diperbarui: 3 Februari 2021   13:48 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : pexels.com

Namanya May, cewek asal hongkong yang kebetulan menginap di guesthouse yang sama dengan saya di Otaru, Hokkaido Jepang dua tahun lalu. Bahasa Inggrisnya cukup bagus.

Awalnya saya ngobrol dengan May karena kami sama-sama solo travelling. Tetapi ternyata orangnya seru diajak bercerita mengenai banyak hal walaupun sepertinya dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di laptop yang ada di depannya.

Berbeda dengan saya yang pergi ke Otaru dalam rangka backpacking, si May sekaligus juga sambil bekerja menyelesaikan desain yg dia buat. Bekerja sambil liburan katanya.

Teknologi memang memudahkan semua hal. Jika pekerjaan yang kalian lakukan lebih banyak di depan komputer, pekerjaaan tersebut pada prinsipnya bisa dilakukan dari mana saja, seperti May tadi.

Pandemi covid19 ini juga menunjukkan hal tersebut, karena sebagian dari kita bisa melakukan yang namanya Work From Home (WFH). Yang membatasi hanyalah aturan tempat kerja saja, ada yg membolehkan ada juga yg melarang karyawannya pergi ke luar kota.

Tetapi bagaimana dengan pekerja freelance, seperti programmer aplikasi, penulis buku, arsitek, dan sejenisnya? Mereka bisa bekerja dari mana saja, mendapatkan client dari mana saja hanya dengan bermodalkan akomodasi sementara dan sebuah gadget. Orang-orang seperti inilah yang disebut Digital Nomad.

Butuh rapat? Tinggal buka Zoom. Butuh kolaborasi dengan orang lain ada aplikasi semacam Slack. Kirim dokumen cukup lewat email dan tanda tangan digital. Menerima pembayaran, cukup ditransfer ke rekening, atau akun Paypal. Semuanya bisa dilakukan dari mana saja.

Dari mana saja artinya benar-benar bisa tanpa batas. Dalam konteks regional, dosen saya di suatu kampus Jakarta, pernah mengajar melalui Zoom saat beliau kebetulan sedang ada perjalanan bisnis ke Surabaya. Dalam konteks global, istri saya saat ini sedang mendapatkan pelatihan GMAT secara online dan pengajarnya berada di Amerika. Yang membatasi seorang melakukan pekerjaanya saat ini bukanlah jarak tetapi hanya soal jaringan internet, regulasi dan budget. 

Negara atau kota yang dipilih para digital nomad ini biasanya adalah tempat  dengan biaya hidup murah, infrastruktur internetnya memadai, dan kebijakan visa yang longgar, seperti Bangkok, Buenos Aires, Praha, dan tentu saja kalau di Indonesia ya Bali. Seperti yang baru heboh saat ini soal seorang digital nomad asal Amerika yang berada di Bali. 

Selama mematuhi regulasi, menjadi digital nomad bukanlah sesuatu yang melanggar aturan. Tetapi hal yang membingungkan orang adalah visa violation.

Jika ada orang Indonesia bekerja di perusahaan sawit di Serawak memakai fasilitas bebas visa bisa dianggap sebagai TKI ilegal. Tapi apa yang terjadi kalau ada seorang web desainer menginap selama 14 hari di Kuala Lumpur sambil menyelesaikan pekerjaan dari client-nya yang mungkin berasal dari pemilik toko batik di Pekalongan?

Aturan imigrasi mengenai digital nomad ini memang masih berada di grey area. Perpres No 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan memang hanya membatasi seseorang bisa berada di Indonesia selama 30 hari. Tetapi tidak menyebutkan untuk kegiatan apa saja.

Sedangkan Perpres No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia, hanya mengatur mengenai Perusahaan Indonesia yang mempekerjakan orang asing. Mempekerjakan disini adalah dengan perjanjian dan dalam jangka waktu tertentu.

Artinya jika kebetulan saya berada di Osaka untuk mengerjakan project dari client saya di Makassar, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Tetapi jika pekerjaan tersebut saya terima dari client di Jepang, maka hal tersebut melanggar peraturan. 

Seorang digital nomad yang masuk ke Indonesia menggunakan bebas visa yang berada di Bali tidak boleh mengambil gig job (istilah pekerjaan freelance) dari client manapun di Indonesia karena pada dasarnya bebas visa digunakan untuk wisata. Tetapi jika akhirnya melakukan pekerjaan disini, selama dia tidak mendapatkan penghasilan dari pihak manapun di Indonesia, tidak ada aturan yang dilanggar. Aneh kan? 

Untuk menambal grey area dari regulasi seperti inilah, beberapa negara sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan visa kerja khusus bagi seorang digital nomad.

Lalu bagaimana dengan peraturan perpajakannya? 

Dalam hal perpajakan, dasar yg dipakai adalah Pasal 2 UU No 36 Tahun 2008 dan PER 43/PJ/2011 tentang penentuan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Orang asing (bukan warga negara indonesia) akan menjadi subjek pajak Indonesia jika "berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan".

Jadi bagi digital nomad yang sudah lebih dari 183 hari dalam satu tahun berada di Indonesia, maka sudah menjadi subjek pajak di Indonesia. Nah, kalau sudah menjadi subjek pajak di Indonesia, jika menerima penghasilan di Indonesia maupun di luar negeri maka akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.

Karena fasilitas bebas visa hanya selama 30 hari, sangat jarang seorang digital nomad yang melebihi time test 185 hari tersebut. Jadi kalau lain kali melihat digital nomad di suatu tempat, jangan langsung beranggapan mereka harus bayar pajak penghasilan di sini. Harus dibuktikan dulu apakah mereka sudah lebih dari 183 hari berada di Indonesia. 

Bisa saja terjadi seseorang berada di Bali selama 28 hari, lalu pergi ke Malaysia 15 hari, ke Singapore selama 15 hari, lalu kembali tinggal di Bali selama 30 hari. Tetapi hati-hati karena walaupun skema tersebut memanfaatkan celah keimigrasian, tapi jika seseorang bolak-balik ke Indonesia dan terbukti lebih dari 183 hari berada di Indonesia dalam satu tahun, maka siap-siap dikejar oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Yang perlu diingat, tidak selalu menjadi subjek pajak di Indonesia itu merugikan lho. Tergantung dari negara mana mereka berasal, menjadi subjek pajak di Indonesia bisa lebih menguntungkan jika tarif pajak penghasilan di Indonesia lebih rendah.

Tetapi yang paling apes adalah, jika negara asal tidak memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia. Bisa terjadi atas penghasilan yang sama walaupun sudah dikenakan pajak di Indonesia, begitu pulang ke negaranya sana dikenakan pajak penghasilan kembali oleh negara mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun