Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membedah Soal "Pajak Netflix" yang Mulai Berlaku Hari Ini

1 Juli 2020   19:28 Diperbarui: 9 Juli 2020   21:04 1846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ditambah dengan iFlix, Viu, Catchplay dan layanan streaming musik maka akan meningkatkan jumlah penerimaan negara yang cukup signifikan. Tetapi benarkah sampai sebesar itu?

Walaupun terkesan canggih, model bisnis Netflix masih memiliki prinsip yang sama dengan bisnis pada umumnya. Untuk mendapatkan penghasilan dari langganan yang dibayar oleh pelanggan, mereka memerlukan biaya. Dan biaya-biaya ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Netflix. 

Berdasarkan laporan keuangan Netflix, Gross Profit Margin mereka sekitar 40%. Artinya untuk mendapatkan penghasilan 500 milliar dari pelanggan, mereka memerlukan biaya 60% nya atau sekitar 300 milliar. Ini akan mengakibatkan potensi PPN yang masuk ke Indonesia hanya tinggal 20 milliar rupiah atau malah justru bisa lebih bayar jika Pajak Masukan di Indonesia yang dikreditkan cukup besar misalnya jika mereka memutuskan untuk membuat dan memelihara data centre di Indonesia khusus untuk konsumen disini.

Pasti akan muncul berbagai tantangan dalam penerapan Nexus Tax di Indonesia ini. Banyak lubang dalam aturan hukum yang bisa dieksploitasi baik oleh perusahaan penyedia streaming maupun oleh pelanggan itu sendiri.

Misalnya jika dasar pengenaannya disamakan dengan bioskop maka pengenaan pajak layanan streaming harusnya dikenakan Pajak Daerah. Bukan PPN. Dan Pemerintah Daerah yang harus memungutnya dengan lebih dulu membuat PERDA nya. 

Bahkan definisi apa yang sebenarnya "diserahkan" oleh Netflix dan Spotify kepada pelanggan itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Apakah termasuk barang tidak berwujud atau jasa? Jika konten disamakan dengan software sebagai Barang Tidak Berwujud bagaimana dengan JOOX dan Spotify yang memungkinkan penggunanya mendengarkan musik secara gratis dengan diselipkan iklan? Apakah masuk ke kategori pemberian cuma-cuma?

Lalu jika langganan streaming konten seperti itu dikenakan PPN bagaimana dengan perdagangan software yang prinsipnya berupa langganan seperti Office365, Adobe Creative Cloud atau layanan penyimpanan seperti Dropbox? Bagaimana untuk pembelian item-item dalam game? Ke depan batas antara software dan konten akan menjadi semakin tipis dimana banyak perusahaan teknologi mengarah ke konsep SaaS atau Software As A Service dan definisi yang diatur dalam undang-undang dan peraturan lainnya juga harus mulai diperbarui.

Ini termasuk bagaimana sebenarnya defisini "pelanggan dari Indonesia"? Jika kita memilih regional yang berbeda saat berlangganan (misalnya memilih membuka web Spotify regional Malaysia dengan membayar dalam mata uang Ringgit melalui kartu kredit atau Paypal, hal yang sangat mudah dilakukan) apakah masih dianggap dikenakan PPN di Indonesia? Sulit mengetahui siapa sebenarnya suatu pelanggan berada jika hanya melihat dari satu sisi.

Menarik sekali untuk melihat bagaimana penerapan Perpu No 1 Tahun 2020 ini nantinya. Apakah para penyedia layanan streaming itu akan mencari cara menghindari pengenaan PPN melalui jalur "tax avoidance" dengan mencari-cari loophole dalam aturan kita ataukah bersikap kooperatif? Dan bagaimana dengan sikap konsumen asal Indonesia sendiri? 

Yang jelas, penerapan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) ini adalah langkah tepat karena di negara manapun juga sedang menggalakkan Nexus Tax. Kondisi ekonomi yang belum pulih dan mengenai semua sektor akibat Covid-19 tidak memungkinkan untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor lain di dalam negeri. 

Satu-satunya jalan saat ini yang masih bisa dilakukan adalah mengenakan pajak dari sektor yang justru "diuntungkan" dengan adanya pandemi yaitu eCommerce, streaming konten dan layanan semacam Zoom. Jangan sampai menjadi orang yang hanya teriak-teriak karena pemerintah berhutang tetapi diminta kontribusinya untuk membayar pajak juga nggak mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun