Saya suka mendengar musik. Karena kadang ada beberapa lagu atau musisi yang memiliki perjanjian khusus dengan layanan music streaming tertentu, di smartphone saya ada tiga aplikasi musik yang terpasang.Â
Pertama adalah Langit Musik dari PT Melon Indonesia yang merupakan anak usaha PT Telkom Tbk terdaftar dan memiliki pusat operasi di Jakarta Selatan.Â
Kedua adalah Spotify milik Spotify Technology S.A yang secara legal terdaftar di Luxembourg  tetapi memiliki pusat operasi di Stockholm Swedia dan ketiga adalah Apple Music milik Apple.
Kecuali Apple Music yang memang hanya bisa dinikmati jika berlangganan, Langit Musik dan Spotify memiliki model bisnis yang hampir mirip, dimana kita cukup membayar biaya bulanan untuk bisa menikmati lagu sepuasnya tanpa diganggu iklan. Tetapi jika membandingkan harga langganannya maka akan terlihat masalah yang menarik.Â
PT Melon Indonesia karena merupakan perusahaan dalam negeri maka menjadi subyek pajak di Indonesia dan statusnya sebagai PKP membuat dia harus mengenakan PPN atas biaya langganan bulanannya seperti dibawah ini
Â
Keduanya sama-sama mendapatan pendapatan dari konsumen di negara kita tetapi yang satu "diuntungkan" untuk dapat mengenakan biaya lebih murah 10% karena tanpa tambahan PPN.
Ilustrasi di atas mungkin bisa menggambarkan kenapa pada akhirnya pemerintah mengeluarkan PERPU No 1 Tahun 2020 untuk mengenakan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dimana perusahaan seperti Spotify, JOOX, Netflix, Apple TV dan sejenisnya kini wajib mengenakan PPN atas biaya langganan yg mereka kenakan kepada pelanggan atau pengguna aktif yang berasal dari Indonesia. Asas yang ingin diterapkan sebenarnya adalah "keadilan horisontal".
Jika kita menonton "Sonic The Hedgehog" di bioskop, harga tiket sebesar Rp. 45.000 sudah termasuk Pajak Tontonan / Hiburan sebesar 10%. Gara-gara PSBB, bioskop belum diperbolehkan beroperasi dan konsumen memilih menontonnya melalui Apple TV.
Maka atas harga rental film sebesar Rp 29.000 tidak ada pajak apapun yang dibayar karena "produk" yang kita beli berasal dari luar negeri yang disajikan langsung ke gadget kita.
Hal ini menciptakan ketidakadilan tidak hanya bagi produk kompetitor yang berasal dari Indonesia tetapi juga jenis hiburan lain seperti TV Kabel dan Bioskop yang memberikan konten hiburan tetapi dengan harga sudah termasuk PPN.
Sebenarnya pengenaan pajak seperti ini tidak hanya sedang digalakkan di Indonesia tetapi juga di negara lain seperti Amerika, Canada, Uni Eropa dan populer dengan istilah Nexus Tax.
Prinsip ini melihat subyek pajak tidak perlu lagi kepada ada tidaknya suatu entitas legal (Netflix tidak memilik kantor di Indonesia) tetapi dari manfaat ekonomi yang diperoleh oleh suatu entitas tersebut (pendapatan Netflix dari pengguna Indonesia sebesar USD 38,970.000).
Maka berdasarkan manfaat ekonomi tersebut Netflix dapat dikukuhkan sebagai Wajib Pajak di Indonesia dan mengenakan PPN atas transaksinya di Indonesia.Â
Jika ada konsumen mengeluhkan hal ini sebenarnya agak aneh karena sebenarnya untuk pelanggan di beberapa negara lain Netflix juga mengenakan PPN (di luar negeri disebut VAT atau GST) seperti di halaman web help centre mereka seperti di bawah ini.
Di Amerika, karena pajaknya berupa Sales Tax dan dipungut oleh negara bagian tarifnya bisa bisa berbeda antar negara bagian. California mengenakan 8,66% sedangkan di Florida hanya 7,05%. Rincian berapa VAT atau GSTÂ atas biaya langganan ternyata bisa ditemukan di email tagihan bulanan pelanggan. Jadi praktek seperti ini adalah hal yang normal dan bahkan sudah diinformasikan di bagian FAQ pengguna Netflix.
Mereka hanya menanggung beban administrasi karena berfungsi memungut PPN dari pembeli pakaian kemudian menyetorkan PPN nya tanpa ada satu rupiah pun keluar dari kas perusahaan.
Apakah penerapannya akan selancar itu?
Netflix, dengan estimasi pendapatan dari Indonesia tahun 2019 sebesar USD 38.970.000 atau Rp 506.610.000.000 (kurs 13.000) maka terdapat potensi PPN 10% sebesar 50 milliar lebih hanya dari satu penyedia jasa streaming video.
Jika ditambah dengan iFlix, Viu, Catchplay dan layanan streaming musik maka akan meningkatkan jumlah penerimaan negara yang cukup signifikan. Tetapi benarkah sampai sebesar itu?
Walaupun terkesan canggih, model bisnis Netflix masih memiliki prinsip yang sama dengan bisnis pada umumnya. Untuk mendapatkan penghasilan dari langganan yang dibayar oleh pelanggan, mereka memerlukan biaya. Dan biaya-biaya ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Netflix.Â
Berdasarkan laporan keuangan Netflix, Gross Profit Margin mereka sekitar 40%. Artinya untuk mendapatkan penghasilan 500 milliar dari pelanggan, mereka memerlukan biaya 60% nya atau sekitar 300 milliar. Ini akan mengakibatkan potensi PPN yang masuk ke Indonesia hanya tinggal 20 milliar rupiah atau malah justru bisa lebih bayar jika Pajak Masukan di Indonesia yang dikreditkan cukup besar misalnya jika mereka memutuskan untuk membuat dan memelihara data centre di Indonesia khusus untuk konsumen disini.
Pasti akan muncul berbagai tantangan dalam penerapan Nexus Tax di Indonesia ini. Banyak lubang dalam aturan hukum yang bisa dieksploitasi baik oleh perusahaan penyedia streaming maupun oleh pelanggan itu sendiri.
Misalnya jika dasar pengenaannya disamakan dengan bioskop maka pengenaan pajak layanan streaming harusnya dikenakan Pajak Daerah. Bukan PPN. Dan Pemerintah Daerah yang harus memungutnya dengan lebih dulu membuat PERDA nya.Â
Bahkan definisi apa yang sebenarnya "diserahkan" oleh Netflix dan Spotify kepada pelanggan itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Apakah termasuk barang tidak berwujud atau jasa? Jika konten disamakan dengan software sebagai Barang Tidak Berwujud bagaimana dengan JOOX dan Spotify yang memungkinkan penggunanya mendengarkan musik secara gratis dengan diselipkan iklan? Apakah masuk ke kategori pemberian cuma-cuma?
Lalu jika langganan streaming konten seperti itu dikenakan PPN bagaimana dengan perdagangan software yang prinsipnya berupa langganan seperti Office365, Adobe Creative Cloud atau layanan penyimpanan seperti Dropbox? Bagaimana untuk pembelian item-item dalam game? Ke depan batas antara software dan konten akan menjadi semakin tipis dimana banyak perusahaan teknologi mengarah ke konsep SaaS atau Software As A Service dan definisi yang diatur dalam undang-undang dan peraturan lainnya juga harus mulai diperbarui.
Ini termasuk bagaimana sebenarnya defisini "pelanggan dari Indonesia"? Jika kita memilih regional yang berbeda saat berlangganan (misalnya memilih membuka web Spotify regional Malaysia dengan membayar dalam mata uang Ringgit melalui kartu kredit atau Paypal, hal yang sangat mudah dilakukan) apakah masih dianggap dikenakan PPN di Indonesia? Sulit mengetahui siapa sebenarnya suatu pelanggan berada jika hanya melihat dari satu sisi.
Menarik sekali untuk melihat bagaimana penerapan Perpu No 1 Tahun 2020 ini nantinya. Apakah para penyedia layanan streaming itu akan mencari cara menghindari pengenaan PPN melalui jalur "tax avoidance"Â dengan mencari-cari loophole dalam aturan kita ataukah bersikap kooperatif? Dan bagaimana dengan sikap konsumen asal Indonesia sendiri?Â
Yang jelas, penerapan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) ini adalah langkah tepat karena di negara manapun juga sedang menggalakkan Nexus Tax. Kondisi ekonomi yang belum pulih dan mengenai semua sektor akibat Covid-19 tidak memungkinkan untuk meningkatkan penerimaan pajak dari sektor lain di dalam negeri.Â
Satu-satunya jalan saat ini yang masih bisa dilakukan adalah mengenakan pajak dari sektor yang justru "diuntungkan" dengan adanya pandemi yaitu eCommerce, streaming konten dan layanan semacam Zoom. Jangan sampai menjadi orang yang hanya teriak-teriak karena pemerintah berhutang tetapi diminta kontribusinya untuk membayar pajak juga nggak mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H