Dunia bisnis adalah dunia yang dinamis. Salah strategi sedikit saja, kadang efeknya tidak dapat dikendalikan, bahkan jika menyadari kesalahan dan akhirnya banting setir sekalipun, bisa-bisa semuanya sudah terlambat. Sama seperti yang terjadi pada Kodak, dimana mereka sebenarnya adalah perusahaan pertama yang menciptakan kamera digital, atau Nokia yang saat itu merupakan penguasa pasar smartphone. Keduanya tidak mampu bertahan karena salah strategi dan tidak mampu membaca arah tren pasar.
Ini ada hubungannya dengan berita salah satu department store terkenal yang menutup dua outletnya. Sebenarnya, tenant yang menutup outlet yang merugi adalah hal biasa. Masalahnya adalah, dalam dunia bisnis mal ada istilah yang disebut "anchor tenant". Mereka ini adalah pemancing agar sebuah mal kelihatan ramai dan bergairah. Jika mal tidak kelihatan ramai, pengunjung malas datang. Jika pengunjungnya sedikit maka tenant-tenant kecil yang lain pun akan tutup dengan sendirinya.
Di Indonesia, yang biasanya mendapat posisi sebagai "anchor tenant" ini kalau bukan department store (matahari, ramayana, lotus, centro, dll), supermarket (hypermart, carrefour, giant, dll) atau bioskop (21, XXI, Blitz, Cinemaxx, dll). Jika sebuah "anchor tenant" pergi, bisa dipastikan ini adalah awal efek domino dari tutupnya tenant-tenant kecil lainnya, dan pada akhirnya sebuah mal berpotensi tutup atau bangkrut.
Lalu apa sebabnya?
Pertama, hal ini jangan dikaitkan dengan sepinya pusat perbelanjaan seperti Mangga Dua atau Glodok karena ini adalah dua hal yang berbeda. Posisi Mangga Dua atau Glodok adalah pusat perbelanjaan yang segmennya terspesialisasi untuk jenis barang tertentu. Sedangkan mal adalah tempat dimana tenant-tenant yang ada disana bisa beraneka macam barang dan jasa yang diperjualbelikan.
Pada dasarnya mal adalah evolusi dari pasar. Masyarakat Indonesia tidak paham apa itu mal, sampai akhirnya Presiden Soekarno mendirikan Sarinah pada tahun 1962 yang merupakan pusat perbelanjaan pertama di Indonesia yang sekaligus menjadi pencakar langit pertama di Jakarta. Sebelum itu, kalau butuh barang mereka akan pergi ke pasar membeli sembako, atau ke toko-toko yang menjual barang yang spesifik.
Evolusi Mal
Sejak saat itu mal berkembang. Sayangnya... Manajemen mereka tidak. Beberapa diantaranya masih berpikir mal adalah mal yang sama seperti 55 tahun yang lalu. Lihat saja. Mal yang sepi saat ini adalah mal yang mengusung konsep yang sama yang diterapkan sejak era 60an. Beberapa menyadari adanya perubahan, yang akhirnya mengarah ke segmentasi mal. Tahun 2000an mulai muncul mal berkonsep anak muda seperti "Citos" atau Cilandak Town Square, atau FX Sudirman dan EX Plaza. Lalu ada juga Community Mal seperti Bintaro Plaza dan Pondok Indah Mal. Dan ada juga High End Mal seperti Grand Indonesia, Pacific Place dan sejenisnya. Â
Segmentasi mal menyebar ke kota lain. Solo, memiliki Solo Grand Mal sebagai mal kelas menengah dan menengah kebawah. Lalu ada Paragon Mal yang menyasar segmen yang lebih premium. Di Surabaya, segmen premium ini diisi oleh Tunjungan Plaza.
Segmentasi ini juga dalam hal barang yang dijual. Misalnya mal khusus peralatan elektronik ada di Glodok dan mal khusus pakaian ada di ITC Cempaka Mas.
Evolusi Selanjutnya
Perubahan selanjutnya pun datang. Era smartphone dan internet mengubah peta permainan. Hal ini diiringi dengan adanya generasi millenial yang memiliki karakter berbeda dalam membelanjakan barangnya. Sekarang coba kita berpikir. Saat ini siapa sih yang lebih banyak datang ke Mal? Jika anda di sekitar umur 30 ke atas dan sudah bekerja, maka kesibukan sehari-hari sudah banyak menyita waktu. Jika hari libur ke Mal pun biasanya dengan keluarga. Mal, saat ini didominasi pengunjung anak-anak sekolah, mahasiswa dan orang-orang berumur dibawah 30 tahun. Orang tua tidak ada waktu ke mal kecuali hari libur atau untuk keperluan bisnis seperti ketemu klien maupun ngobrol santai dengan relasi. Mal telah berkembang menjadi pusat rekreasi.Â
Saat ini jika saya dan keluarga harus ke mal, alasan utamanya adalah untuk makan. Jikapun berbelanja, dengan adanya internet, maka bisa diketahui tenant mana sedang menggelar promo yang menarik, baru kemudian memutuskan kesana. Itupun dengan terlebih dulu mengecek apakah di salah satu online store memberikan tawaran harga yang lebih ramah di dompet.
Untuk soal terakhir itu, beberapa tenant sudah mulai bergeser ke arah membuka toko online seperti
- Matahari memiliki mataharistore.com / mataharimall.com
- MAP Group (sport station, crocs, dll) memiliki mapemall.com
- Ramayana saat ini numpang di Tokopedia.com
- Ace Hardware / Informa memiliki ruparupa.com
bahkan Toko Buku Gramedia pun memiliki Gramedia.com
semuanya adalah tenant-tenant besar yang mulai membuka toko online mereka sendiri.
Pergeseran Sifat Konsumen
Efek lain dengan adanya toko online adalah, konsumen dengan mudah dapat membandingkan harga. Misalnya, saya ingin membeli sebuah sepatu olahraga merk Nike yang jika membeli di outletnya langsung dan tidak ada diskon, maka harganya mencapai Rp. 1.500.000. Berbekal googling, ternyata ada sebuah online store yang menawarkan barang yang sama dengan harga hanya Rp. 1.200.000. Dengan selisih tersebut rasanya saya cukup pergi ke mal untuk mencoba sepatu sejenis, lalu mencari ukuran yang pas, dan pada akhirnya membeli secara online. Dengan cara seperti ini saya tidak akan salah ukuran membeli sepatu.
Internet membuka pintu lebar-lebar bagi semua jenis informasi, termasuk harga barang. Hal ini sama seperti persaingan antara ojek pangkalan dan online. Ojek pangkalan bisa seenaknya saja memasang harga, tetapi sejak adanya ojek online penghitungan tarif menjadi lebih transparan.Â
Agar Mal Dapat Bertahan
Mal favorit saya saat ini adalah mal yang sekaligus menjadi tempat rekreasi. Jika anda pernah mengunjungi mal seperti ini, biasanya selalu ramai. Yang menarik adalah, mereka mendesain mal mereka tidak hanya menjadi tempat jual beli. Porsi untuk tenant restoran ditata sedemikan menarik, tidak seperti mal-mal model lama yang hanya berupa foodcourt. selain itu ada hiburan air mancur, kolam ikan, dan sejenisnya dimana anak-anak atau keluarga bisa puas bermain.
Dengan menambah nilai lebih seperti inilah Mal bisa tetap ramai pengunjung. Pengelola mal tidak bisa lagi berharap bahwa tenant-tenantnya lah yang menjadi tempat hiburan, tetapi mal itu sendiri harus bertransformasi menjadi pusat hiburan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H