[caption caption="Lari di malam hari. Dokumen Pribadi"][/caption]Di indonesia ini olahraga itu seperti buah-buahan: ada saja musimnya. Mendekati event macam Thomas Uber Cup atau Indonesia Open, komunitas warga atau kantor biasanya akan mulai lagi memainkan raketnya yang sudah terlalu berdebu karena hanya digantungkan berbulan-bulan di tembok.
Lain lagi jika mendekati piala dunia. Sepak bola maupun futsal menjadi semakin terlihat dimana mana. Hiking maupun trekking ke gunung, bahkan belakangan menjadi tenar karena sebuah novel yang difilmkan dan acara jalan-jalan yang diputar di televisi yang kaosnya mungkin anda miliki satu di lemari. hehe.
Soal tren olahraga, lari juga sedang mengalami peningkatan saat ini. Tren nya dimulai sejak mulai diadakannya "Car Free Day" di berbagai kota serta munculnya perumahan-perumahan sekelas "kota mini" yang saking besarnya bisa memiliki jalan raya nya sendiri yang nyaman digunakan untuk berolahraga di akhir pekan. Bisa dibilang tren nya meningkat mulai tahun 2012 sampai dengan saat ini.
Sekarang bahkan hampir setiap bulan terdapat lomba lari yang diselenggarakan di berbagai kota. Komunitas lari juga tumbuh pesat. Hal ini tidak hanya di Indonesia lho. Di berbagai negara eropa dan bahkan amerika pun memiliki tren serupa. Mungkin anda yg sedang membaca tulisan saya ini pun termasuk yg sedang keranjingan olahraga lari?
Jika iya, pernahkan anda mengalami cedera yang dikarenakan olahraga lari?Â
Dari buku berjudul "Born To Run" karya Chris McDougall, ternyata lebih dari 80% pelari (baik atlit maupun pehobi) pasti pernah mengalami cedera. Beberapa termasuk parah karena harus dioperasi atau merelakan tidak bisa berlari lagi untuk selamanya. Aneh ya?Â
Bukankah sejak seorang balita bisa berjalan, hal yg berikutnya kita pelajari adalah berlari?Â
Chris merupakan mantan seorang atlit marathon yang menemukan jawabannya dengan melihat, mempelajari dan berada di kelompok suku Indian bernama Tarahumara di Mexico. Kesimpulannya salah satunya adalah, cedera lari justru diakibatkan karena kita terlalu dimanjakan dengan sepatu. Dikarenakan saking terbiasanya beraktifitas menggunakan sepatu baik bekerja, maupun berolahraga, mekanika alami tubuh kita untuk berlari menjadi sedikit berubah. Otot-otot yang seharusnya terlatih "seandainya" kita berlari secara alami menjadi loyo. Akibatnya saat kita mulai olahraga lari, cara lari kita menjadi tidak sesuai dengan pola anatomi tubuh manusia yang seharusnya.
Saya pun tertarik membaca "Born To Run" setelah 1 minggu tersiksa naik tangga hanya karena berlari sejauh 3km dan lutut terasa sangat sakit. Mendaki satu anak tangga rasanya sangat menyiksa saat itu. Tetapi justru karena itulah rasa penasaran menjadi muncul.
Jika anda masing sering cedera atau mengalami sakit saat atau setelah berlari, maka ada kemungkinan berikut ini:
1. Sepatu yang Tidak Sesuai dengan Kaki
Manusia tidak ada yang memiliki anatomi tubuh yg sama persis. Masing-masing orang adalah unik. Jadi sepatu yg paling sempurna tentu saja yg dibuat khusus untuk kaki kita. Sayangnya hanya atlit yg mendapat keistimewaan seperti itu. Jadi jika anda membeli sepatu lari ada baiknya ditemani dengan orang yg mengerti tentang olahraga lari, mencoba sebanyak mungkin jenis sepatu, dan tidak usah sungkan untuk mencoba berlari-lari kecil di toko tersebut supaya bisa dirasakan enak atau tidak saat dipakai.
2. Cara Berlari yang Salah
Jika ingin melihat seperti apa cara berlari yg benar, lihat saja bagaimana seorang anak kecil berlari. Mekanika tubuh mereka masih alami sehingga hanya mengandalkan "insting". Sedangkan kita orang dewasa memiliki mekanika tubuh yg mulai berubah. Seseorang bisa mengalami cedera saat lari bisa juga karena cara lari nya yg salah.
3. Terlalu Terburu-buru
Jika anda tiba-tiba bergabung dengan komunitas lari, dan menemui orang yg sanggup berlari marathon disana, jangan terlalu bersemangat untuk bisa melakukan hal yang sama. Butuh latihan bertahun-tahun untuk bisa mencapai hal tersebut. Mulai lah dengan jarak 5km, kemudian tingkatkan menjadi 10, 12, 15, 18 kemudian half marathon. Hampir semua pelari mulai dari 5km. Jangan sampai terjadi over training. Bukannya sehat, malah bisa-bisa harus masuk rumah sakit.
Jika masih cedera juga, mungkin perlu mempertimbangkan beralih ke sepatu bertipe minimalis atau bahkan barefoot running supaya bisa mengembalikan anatomi tubuh kita seperti saat sebelum mengenal sepatu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H