[caption caption="kioson"][/caption]Saya sering sekali belanja online. Mungkin juga anda. Jika ditanya alasannya, pertama adalah kelengkapan barang. Misalnya saat saya ingin membeli laptop merk xx dengan tipe LP-1022 warna hijau. Dengan mudah barang yang saya inginkan secara spesifik tersebut mungkin tersedia di salah satu toko online di Indonesia. Tetapi jika anda tinggal di kota kecil macam Pacitan misalnya, mungkin toko komputer lokal tidak memiliki tipe tersebut, apalagi yang berwarna hijau.
Dengan adanya belanja online, segala macam jenis barang  hampir bisa dicari untuk dibeli. Jikapun tidak ada di Indonesia, salah satu toko online bahkan sudah bermitra dengen ecommerce asal china dan amerika untuk bersedia mengirimkan barang secara satuan ke Indonesia walaupun jangka waktunya memang agak sedikit lama.
Kedua adalah kemudahan. Dengan kondisi perkotaan yang semakin macet, serta waktu bekerja yang semakin banyak (lembur, dll), setiap waktunya adalah berharga. Rasanya sayang menghabiskan waktu, bensin dan uang untuk mengantarkan saya pergi, membeli dan membawa pulang sebuah barang jika seandainya barang tersebut bisa datang sendiri ke depan rumah saya.
Tetapi anehnya masih ada lho beberapa teman yang saya kenal, bahkan yang terhitung masuk ke kelompok generasi muda, yang takut berbelanja online. Pertama alasannya adalah keamanan. Berbelanja online mengharuskan kita mengeluarkan uang terlebih dahulu baru kemudian mendapatkan barang. Apalagi penipuan belanja online masih sering terjadi.
Kedua, masalah budaya. Membeli barang jika tidak melihat barangnya itu tidak "sreg", tidak "manteb", atau masih ada ketidaknyamanan dan ketidakpercayaan kalau-kalau. Maksudnya misalnya barang tidak sesuai spesifikasi, rusak saat diterima, ukurannya tidak pas, atau bahkan barang tidak segera sampai. Masih banyak konsumen yang menuntut ada penanggung jawab yg bisa dihubungin atau dituju jika sesuatu tidak sesuai dng yg diinginkan.
Menggabungkan MLM, Amazon dan Gojek.Â
Hal tersebut pernah terlintas di pikiran saya. Bagaimana jika ada suatu "model bisnis" dimana siapapun yang mendaftar (memiliki toko, handphone / tablet dan sedikit modal) untuk menjadi "affiliate" dari semua ecommerce yang ada di Indonesia. Seorang affiliate diharuskan memiliki toko apapun secara fisik (kios di mal, ruko, warung, atau rumah biasa) yang mampu menjadi perantara antara toko online dan konsumen. Skemanya mungkin seperti ini:
Pemilik Barang --> website ecommerce --> affiliate --> konsumen.
Konsepnya sederhana. Jika dipikirkan, membeli barang secara online ini hampir mirip dengan membeli barang dari oriflame, herbalife atau sophie paris. Sama-sama hanya disuguhkan gambar. Tetapi kenapa orang lebih percaya skema MLM dibandingkan ecommerce? Karena dalam MLM ada "seseorang" yang bisa menjadi perwujudan fisik dari barang tersebut.
Affiliate adalah orang yg mengambil peran seperti seorang downline dalam MLM.
Dalam skema di atas, pemilik barang adalah penjual sebenanya. Mari kita contohkan barangnya adalah sebuah kaos unik yg dibuat handmade seperti lukisan dengan penjual yg berlokasi di Bali.
Website ecommerce adalah tempat dimana si pemilik barang memajang barang jualannya secara online, misalnya tokopedia atau bukalapak.
Affiliate adalah orang, tempat atau toko yang menjadi wujud fisik dari tempat barang tersebut tersedia.Â
Sedangkan konsumen akhir adalah orang sebenarnya yg menginginkan untuk memakai kaos tersebut, yang mungkin berada di kota lain.
Affiliate, saya bayangkan adalah sebuah startup sendiri semacam gojek. JIka gojek modalnya adalah motor dan smartphone, maka afilliate bermodal smartphone / tablet dan warung / toko / kios /konter. Tujuannya adalah mengatasi kendala kenapa orang tidak mau berbelanja online tadi yaitu keamanan dan penanggung jawab. Konsumen bisa membayar setelah barang tersebut sampai ke tangan affiliate, dan bisa melakukan klaim balik jika ternyata barang yg dikirim rusak atau tidak sesuai.
KIOSON, si potensial
Saat ini sih si Kioson yg beralamat di website kioson.com adalah model bisnis yg paling mendekati contoh di atas. Walaupun jumlah mitra yg bergabung menjadi "retailer", (istilah mereka untuk affiliate) masih sangat sedikit dan baru menjual beberapa barang saja yaitu gadget (Smartphone dan Tablet), peralatan rumah tangga serta produk kesehatan dan kecantikan, pulsa, token listrik dan air, serta tiket, jika dikelola dengan benar, maka sungguh sangat potensial startup ini di masa depan.Â
Ada banyak sekali ecommerce di Indonesia (lazada, bhinneka, blibli, dinomarket, elevenia, blanja, kaskus, tokopedia, bukalapak, zalora) jika ditambah dengan amazon dan aliexpress, maka sebenarnya hampir semua barang bisa kita dapatkan. Yang menjadi masalah hanyalah akses internet dan kepemilikan gadget, cara pembayaran, keamanan dan kepercayaan.Â
Konsumen di Indonesia masih lebih memilih toko fisik dengan pembayaran tunai.
Jika kioson mampu menjadi sebuah startup yang mampu menjadi jembatan antara ecommerce dan konsumen, maka bukan tidak mungkin di masa depan startup ini akan tumbuh menjadi luar biasa.
Saya membayangkan suatu saat pembersih muka saya dengan merk L'Occitane habis, cukup melakukan pemesanan, melalui affiliate (atau retailer kioson terdekat, yg mungkin hanyalah sebuah toko gas dan rokok di depan komplek), menunggu barang tersebut sampai esok harinya kemudian membayar secara tunai ke toko gas tersebut, sebuah pembersih muka dengan merk L'Occitane.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H