Oleh: Kosmas Mus Guntur, Aktivis PMKRI
Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu dari 224 Kabupaten yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 yang digelar di 270 daerah. Hajatan demokrasi elektoral yang kian merengsek jauh ke ruang demokrasi kapitalistik ini membuka peluang terhadap Partai Politik (Parpol) untuk menggelar "panen raya" (Mahar Politik). Aktivitas "panen raya" ini tentu akan menjadikan nilai demokrasi hanya bisa dinikmati oleh kaum-kaum pemodal (Kapitalis).
Melalui tulisan ini, penulis hendak menelisik geliat partai politik yang mengkampanyekan dukungan tanpa mahar kepada kandidat tertentu. Kemudian, bukan pula upaya menggiring opini publik. Lebih pada melihat praktek tahap penjaringan dan penjajakan pendapat agar pemilik (rakyat) demokrasi dapat menggunakan hak politiknya yang arif dan bijaksana.
Bagi penulis, kontestasi demokrasi elektoral yang kini dijerat dalam kuasa demokrasi berwatak kapitalistik telah menghilangkan nilai luhur dan hal subtansial demokrasi yakni, "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat". Kini, amanah tersebut tidak benar-benar diimplementasikan dalam panggung demokrasi. Bergesernya nilai-nilai itu tak lepas dari ulah para politikus-politikus yang tak punya konsep, nilai dan semangat perjuangan untuk kepentingan rakyat.
Benar bahwa rakyat sebagai legitimasi untuk kekuasaan penguasa, baik eksekutif maupun legislatif. Namun, kenikmatannya hanya untuk segelintir rakyat yang juga sebagai penyokong dana kampanye yakni; investor atau pemodal lebih tepatnya "kaum kapitalis".
Ketika sistem demokrasi kapitalis melanggengkan niat penguasa (Eksekutif dan Legislatif) maka bukti bahwa mereka benar-benar melayani rakyat mungkin hanya secuil saja, selebihnya pengabdian dan dedikasi mereka kepada para pemodal (kapitalis) bukan lagi untuk melayani kebutuhan rakyat.
Pilkada serentak 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015. Melalui media daring, ke-270 daerah itu rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.
Penulis tertarik untuk menilik situasi politik di Manggarai Barat ( selanjutnya disebut "Mabar") menjelang Pilkada serentak 2020. Sejumlah Calon Bupati dan Wakil Bupati, baik dari golongan tua yang mungkin masih "haus kekuasaan" dan tidak ketinggalan dari golongan muda yang berenerjik tanpa latar belakang organisasi dan bukan kader politik pun mulai mendaftar diri dibeberpa partai politik.
Praktik Buka Lapak Parpol
Melalui pemberitaan media daring, para Ketua Partai Politik ditingkat Dewan Pengurus Cabang (DPC) masing-masing partai politik merespon baik atas inisiatif dari Bacabup dan Bacawabup karena tanpa kerja keras untuk menjaring Kader.
Salah satu pola yang sering dipakai oleh Partai Politik untuk menjaring Bacabup dan Bacawabup adalah "Membuka Lapak". Pola ini hampir tidak pernah dirubah. Karena tinggal duduk manis saja.
Hemat penulis, pola lama ini adalah sebagai peluang atau pintu masuk mahar politik. Dimana setiap calon yang mendaftar nantinya akan diseleksi.
Biasanya, proses seleksi ini yang menarik, praktek jual beli, tawar menawar sudah mulai didorong oleh setiap partai politik. Siapa yang mata uang atau nominalnya besar maka dialah yang diusung oleh partai tersebut. Soal dia berkualitas itu urusan belakangan yang penting pelincin duluan.
Salah satu contoh di Kabupaten Manggarai ini misalnya, salah satu kandidat berinisial SS pernah diberi harapan palsu (PHP) oleh partai politik. Waktu tahap pendaftaran dan penjaringan, partai menegaskan untuk "mendukung tanpa mahar." Namun, pada proses penetapan di KPU semua partai balik "kanan" karena tidak ada "pelicin."
Hemat Penulis, salah satu cara untuk mengurangi praktek Jual beli partai (mahar politik) adalah mengubah pola "buka lapak". Dengan mengubah pola ini setidaknya mengurangi praktek mafia partai tidak untuk memberantas atau menghapus.
Salah satu dari sembilan poin berdirinya partai politik adalah melibatkan masyarakat untuk melakukan tahap penjaringan yang kemudian didorong oleh partai bersama masyarakat untuk bertarung pada hajat demokrasi kapitalis ini.
Tahap ini, hampir tidak pernah dipakai oleh partai politik. Mestinya pola lama ini perlu dirubah. Partai Politik harus memasang radar disetiap Kepengurusan Pimpinan Anak Cabang (PAC) sampai pada tingkat kepengurusan Ranting Partai untuk menjala atau menjaring kader yang potensial dan berintegritas serta memiliki rekam jejak dan pengalaman organisasi yang jelas dalam kancah politik. Jika melalui penjaringan itu mendapat kader, maka itulah yang kemudian didorong oleh partai politik bersama masyarakat dengan catatan tanpa embel-embel (Mahar Politik) lagi.
Rakyat dalam sistem demokrasi kapitalis ini pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai "tumbal politik". Sistem kapitalis itulah yang melanggengkan penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan.
Keadaan demikian terjadi, berawal dari sistem Pemilu dalam demokrasi kapitalis baik untuk memilih kepada daerah atau kepala pemerintahan pusat-- yang meniscayakan biaya yang sangat besar. Mereka yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh para pemodal, bisa dipastikan tidak akan bisa lolos dalam bursa pencalonan. Sehingga kolaborasi, hubungan "mutualisme" antara pengusaha atau investor, dengan calon penguasa mesti terjadi. Di sinilah visi, misi, kredibilitas, dan idealisme calon kepala pemerintahan pada akhirnya akan tersandra.
Penulis Adalah Presidium Germas PMKRI Cabang Jakarta Timur, St. Petrus Kanisius dan Alumni Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Jakrta.
Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H