Kebebasan Berpendapat yang Diatur oleh Undang-Undang
Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok bebas menyampaikan pendapat sebagaimana perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dalam Pasal 1 ditegaskan, “kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertangghung jawab sesuai dengan ketentuan perundang-undangan berlaku”.
Kemudian, dalam Pasal 2 dan 3 dijelas secara terperinci terkait kebebasan berpendapat dimuka umum. “Dimuka umum adalah didepan orang banyak, atau orang lain termasuk juga ditempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang”. Ayat 3, “unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegitan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif dimuka umum.
Penulis ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menelisik, apakah benar bahwa Presiden Jokowi sangat terbuka terhadap kritikan? Atau malah sebaliknya? Anti kritik? Sebagaimana terpentas dalam tindakan aparat atau pembantunya di lapangan.
Bagi penulis, pernyataan yang disampiakan oleh Jokowi melalui media daring, bahwa dirinya terbuka terhadap kritikan, tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Misalnya, pihak Kepolisian dan TNI dengan sewenang-wenang melakukan penangkapan Aktivis dan Mahasiswa dengan alasan “keamanan”. Apakah term “keamanan” tersebut hanya dijadikan sebuah instrument untuk membungkam suara kritis para mahasiswa dan aktivis? Ataukah pihak Kepolisian dan TNI yang tidak mampu menerjemahkan statemen (penegasan) yang disampaikan oleh Presiden Jokowi? Bahwa mesti terbuka terhadap kritikan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) melalui media Tempo.co, Minggu, 27 Oktober 2019, telah merilis data sekitar 44 orang tewas misterius akibat menyampaikan pendapat dimuka umum. Ke-44 orang yang meninggal dunia tersebut tanpa diketahui penyebabnya. YLBHI merilis data sepanjang 2019.
Rinciannya, 37 orang meninggal di Papua dalam aksi demonstarsi “anti rasisme” Wamena dan Jayapura. Kemudian, 5 orang meninggal dunia dalam aksi demonstarsi “reformasi dikorupsi” di Kendari dan Jakarta. Selanjutnya, 9 orang meniggal dunia dalam aksi medio 22-24 Mei 2019, di Jakarta.
Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, “dari 51 korban yang meninggal dunia tersebut, diketahui sebanyak enam orang meninggal akibat luka tembak dan satu orang meninggl karena kehabisan nafas akibat gas air mata. Sisanya, 44 orang tidak ada informasi resmi.” Selain itu, kasus penangkapan Surya Anta Ginting dan beberapa aktivis Papua lainnya yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu.
Ombudsman menilai, proses penangkapan tersebut telah melanggar aturan. Ketua Ombudsman DKI Jakarta Teguh Nugroho, pihaknya akan mengkaji lebih lanjut penangkapan para aktivis Papua usai laporan dari kuasa hukum Surya Anta Ginting. “Setelah kami menerima laporan ini, melihat ada dugaan maladministrasi dalam proses penanganan para tersangka makar ini,” tandasnya seperti yang dilansir CNN Indonesia, Kamis, 11 September 2019.