Mohon tunggu...
KOSIS
KOSIS Mohon Tunggu... Freelancer - dalam ketergesaan menulis semaunya

Merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Reading Report : seni dan estetika dalam perspektif antropologi (Lono Simatupang)

21 Maret 2020   18:18 Diperbarui: 21 Maret 2020   18:47 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perihal Estetika

Seni sebagaimana yang dimengerti banyak orang hari ini sering dikaitkan dengan estetika.

Estetika menurut Bohdan Dziemidok: dalam pengertian modern paling sering dipahami sebagai sebuah disiplin filsafat yakni, apakah sebagai filsafat fenomena estetik (objek, kualitas, pengalaman dan nilai) atau filsafat seni (kreativitas, karya seni dan persepsi terhadapnya) atau filsafat kritik seni secara luas (metakritisisme) atau mencakup keseluruhan itu.

Namun seringnya Estetika diartikan secara sempit sebagai ilmu tentang keindahan. Sedangkan pengertian indah secara umum melekat pada sesuatu kualitas objek. Sifat seperti itu diungkap dalam istilah indah-jelek, baik-buruk, merdu-sumbang dan lain sebagainya. Cara pandang demikian berpotensi menimbulkan masalah, bukankah tidak semua orang dapat melihat keindahan dari sebuah lukisan abstrak misalnya, atau tarian-tarian daerah yang bersifat adiluhung.

Akar permasalahannya ada pada penyempitan arti estetika sebagai keindahan, dan peletakan keindahan seakan-akan diluar diri manusia. Salah satu cara para antropolog untuk menghindari jebakan istilah yang mengekang ini, yaitu dengan merunut asal kata (etimologi) estetika. Istilah estetika yang di pakai dalam dunia seni sebenarnya memiliki akar kata yang sama dengan istilah anastesi di kalangan medis, yang berarti persepsi indrawi atau rasa.

Estetika berhubungan dengan perihal bagaimana suatu objek meminta perhatian indra kita. Dalam kasus lukisan misalnya, yakni efek visual yang dihasilkan pada orang yang melihatnya, sudah barang tentu efek yang dihasilkan tidak terbatas pada rasa indah, tetapi dalam pengertian yang paling luas termasuk rasa sakit, muak, jijik, gairah, dan lain sebagainya. Segala macam rasa tersebut merupakan tanggapan manusia yang ia peroleh dari indra penglihatan, peraba, pencium, pencecep dan pendengarannya. 

Dengan demikian estetika pada dasarnya merupakan tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya.

Sebagai tanggapan manusia, estetika tentu saja bersifat budayawi (kultural) artinya pengalaman tadi diperoleh dari proses pembudayaan diri. Tidak salah bila seni merupakan sebuah system budaya. Artinya nilai-nilai rasa (estetis) diberikan, dilekatkan oleh masyarakat sebagai semacam pedoman bagi pribadi masyarakat.

Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai rasa (estetika) merupakan hasil interaksi antar manusia dengan gejala estetis yang dialaminya. Keduanya saling terkait secara dialogis bahkan dialektis.

Estetika memuat pengertian adanya skala penilaian, atau sebuah standar yang harus dicapai pada suatu objek agar objek tersebut dinilai sukses.

Morphy juga mengatakan bahwa estetika merupakan ukuran nilai yang dilegitimasi oleh elit, kiranya kita tidak perlu terburu-buru mengartikan elit dengan elit politik, atau elit ekonomi, atau elit kultural, karena ketiganya berpeluang untuk melegitimasi nilai-nilai estetik. Yang lebih penting dari itu bahwa penetapan standar ukuran estetika senantiasa memiliki dimensi kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun