Mohon tunggu...
KOSIS
KOSIS Mohon Tunggu... Freelancer - dalam ketergesaan menulis semaunya

Merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Reading Report : seni dan estetika dalam perspektif antropologi (Lono Simatupang)

21 Maret 2020   18:18 Diperbarui: 21 Maret 2020   18:47 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Istilah seni yang sering dipersamakan dengan kata ‘art’ ternyata memiliki perbedaan nuansa atau perbedaan kualitas yang sangat halus. Seni dan art masing-masing memiliki asal usul, perubahan, dan sejarahnya sendiri. 

Kata art yang berasal dari Artem (latin) pada awalnya berarti keterampilan, kecakapan, skill. Dan pengertian seperti ini masih tetap digunakan sampe sekarang. 

Namun dalam perkembangannya art dipakai secara lebih sempit untuk merujuk pada kegiatan yang lazimnya kita kenal sebagai seni rupa (melukis, menggambar, mengukir dan membuat patung) selain art dikenal juga artist, yaitu orang yang terampil disertai kreativitas, intelektualitas, dan imajinasi. Dan ada pula istilah artisan yaitu mereka yang sekedar terampil, mirip dengan pengertian tukang.

Kata seni di Indonesia memiliki perjalanannya sendiri, kata ‘seni’ berasal dari bahasa melayu yang berarti kecil, sesuatu menjadi terlihat kecil itu diidentifikasikan sebagai suatu yang rumit, halus, yang dihasilkan berdasarkan teknik tertentu. Terbukti dan masih ditemukan sajak-sajak dengan menggunakan kata seni seperti pada larik puisi S.T Alisyahbana berjudul “sesudah dibajak” (1936) dan puisi “Kepada Murai” karya Taslim Ali (1941).

Penggunaan kata ‘seni’ seperti di puisi itu sudah jarang kita temukan. Satu-satunya yang mungkin masih kita temukan adalah penggunaan kata Air seni yang berpadanan dengan air kecil pada kalimat buang air kecil. Pada zaman sesudah kemerdekaan kata seni untuk art semakin sering digunakan dan menjadi pengertian art secara resmi sampai sekarang.

Dalam perspektif antropologi cara kerja keilmuan terwujud dalam perhatiannya kepada Bahasa dan istilah local. Dalam antropologi, nalar awam (common sense) dan praktik sehari-hari diperlakukan sebagai batu atau pondasi penyusun konsep dan teori yang dibangunnya.

Penting untuk kita ingat bahwa tidak semua Bahasa daerah di Nusantara memiliki kata sepadan dengan seni dalam artinya seperti sekarang. Namun walaupun pada Bahasa daerah tidak ditemukan padanan kata ‘seni’ hal itu tidak berarti pemilik Bahasa tersebut tidak memiliki gejala yang setara atau yang di anggap setara dengan ‘seni’.

Misalnya dapat terlihat pada kata ‘karawitan’ dalam Bahasa jawa dan ‘tortor’ dalam Bahasa Batak Toba, yang tidak bisa disamakan dengan kata ‘music’ dan ‘tari’ namun dapat disimpulkan bahwa pendukung Bahasa daerah itu tetap memiliki gejala seni dan memiliki cara sendiri untuk memberi nama, mengelompokan, serta memperlakukan gejala seni secara berbeda.

Kajian antropologi terhadap gejala yang menyerupai seni kerap kali mendapati hal semacam itu. Yang kita pandang sebagai ‘seni’ ternyata oleh pemangku budayanya sendiri ditempatkan sebagai bagian dari ritual, sihir, penyembuhan, bahkan menyatu dengan tata cara peradilan setempat.

Dari ulasan ini bisa ditarik sebuah pelajaran bahwa penggunaan kata ‘seni’ sebagai padanan kata ‘art’ sebenarnya merupakan penyamarataan atau penyederhanaan atas berbagai kemungkinan gagasan, mengenai tindakan dan hasil tindakan manusia beserta nilai yang dilekatkan padanya. Tentu saja penyamarataan itu dilakukan karena bentuk, ciri-ciri, dan sifat tindakan maupun hasil tindakan tersebut memiliki sejumlah kemiripan dengan bentuk yang lazim kita kategorikan sebagai ‘seni’ 

dan penyamarataan yang menutup mata terhadap perbedaan bisa berakibat munculnya kesalah pahaman bahkan pelecehan. Sering pula seni dibedakan dengan yang alami dengan menyatakan bahwa istilah seni hanya tepat untuk manusia tertentu, namun pembedaan itu juga masih tumpang tindih

Perihal Estetika

Seni sebagaimana yang dimengerti banyak orang hari ini sering dikaitkan dengan estetika.

Estetika menurut Bohdan Dziemidok: dalam pengertian modern paling sering dipahami sebagai sebuah disiplin filsafat yakni, apakah sebagai filsafat fenomena estetik (objek, kualitas, pengalaman dan nilai) atau filsafat seni (kreativitas, karya seni dan persepsi terhadapnya) atau filsafat kritik seni secara luas (metakritisisme) atau mencakup keseluruhan itu.

Namun seringnya Estetika diartikan secara sempit sebagai ilmu tentang keindahan. Sedangkan pengertian indah secara umum melekat pada sesuatu kualitas objek. Sifat seperti itu diungkap dalam istilah indah-jelek, baik-buruk, merdu-sumbang dan lain sebagainya. Cara pandang demikian berpotensi menimbulkan masalah, bukankah tidak semua orang dapat melihat keindahan dari sebuah lukisan abstrak misalnya, atau tarian-tarian daerah yang bersifat adiluhung.

Akar permasalahannya ada pada penyempitan arti estetika sebagai keindahan, dan peletakan keindahan seakan-akan diluar diri manusia. Salah satu cara para antropolog untuk menghindari jebakan istilah yang mengekang ini, yaitu dengan merunut asal kata (etimologi) estetika. Istilah estetika yang di pakai dalam dunia seni sebenarnya memiliki akar kata yang sama dengan istilah anastesi di kalangan medis, yang berarti persepsi indrawi atau rasa.

Estetika berhubungan dengan perihal bagaimana suatu objek meminta perhatian indra kita. Dalam kasus lukisan misalnya, yakni efek visual yang dihasilkan pada orang yang melihatnya, sudah barang tentu efek yang dihasilkan tidak terbatas pada rasa indah, tetapi dalam pengertian yang paling luas termasuk rasa sakit, muak, jijik, gairah, dan lain sebagainya. Segala macam rasa tersebut merupakan tanggapan manusia yang ia peroleh dari indra penglihatan, peraba, pencium, pencecep dan pendengarannya. 

Dengan demikian estetika pada dasarnya merupakan tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya.

Sebagai tanggapan manusia, estetika tentu saja bersifat budayawi (kultural) artinya pengalaman tadi diperoleh dari proses pembudayaan diri. Tidak salah bila seni merupakan sebuah system budaya. Artinya nilai-nilai rasa (estetis) diberikan, dilekatkan oleh masyarakat sebagai semacam pedoman bagi pribadi masyarakat.

Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai rasa (estetika) merupakan hasil interaksi antar manusia dengan gejala estetis yang dialaminya. Keduanya saling terkait secara dialogis bahkan dialektis.

Estetika memuat pengertian adanya skala penilaian, atau sebuah standar yang harus dicapai pada suatu objek agar objek tersebut dinilai sukses.

Morphy juga mengatakan bahwa estetika merupakan ukuran nilai yang dilegitimasi oleh elit, kiranya kita tidak perlu terburu-buru mengartikan elit dengan elit politik, atau elit ekonomi, atau elit kultural, karena ketiganya berpeluang untuk melegitimasi nilai-nilai estetik. Yang lebih penting dari itu bahwa penetapan standar ukuran estetika senantiasa memiliki dimensi kekuasaan.

Svasek menjangkau pembahasan tentang pemberian nilai pada objek dan gejala indrawi dengan dua konsep  utama yaitu transit dan transition. Yaitu transit adalah perpindahan gejala terindra (objek) satu ke yang lain. Seiring dengan perpindahan tersebut terjadi pula pergeseran nilai yang dilekatkan orang pada objek tersebut, proses inilah yang disebut transition.

 

Melalui kedua konsep tersebut Svasek membicarakan dinamika estetika yang berlangsung ketika objek ritual diberi nilai estetis, objek sehari-hari dijadikan karya seni termasuk didalamnya tentang penyematan nilai ekonomis pada komoditas.

Pertanyaan besar dari ulasan ini adalah: Apakah istilah Estetika bisa dirumuskan dalam pengertian Estetika Nusantara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun