Mohon tunggu...
Kornelis Siprianus Kaju
Kornelis Siprianus Kaju Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMA SWASTA KATOLIK THOMAS AQUINO-GOLEWA

Hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TERU dan TENA, WIJO dan WAJO (Peletak Dasar Tradisi Reba dalam Etnis Bajawa)

20 Januari 2023   11:05 Diperbarui: 25 Juli 2023   07:57 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita di bawah ini berasal dari daerah Ngada-NTT, khususnya dari kampung Be’a, sebuah kampung adat yang letaknya sekitar 10 km dari kota Bajawa ibukota kabupaten Ngada. Ceritanya mengenai asal muasal upacara reba yang telah mendarah daging bagi masyarakat etnis Bajawa pada umumnya. 

Di Ngada terdapat acara tahunan yang merupakan acara tahun baru bagi suku etnis Ngada yang disebut Reba. Acara ini melibatkan berbagai desa tradisional dan tak dipungkiri lagi, acaranya begitu semarak dan penuh keceriaan tradisi Ngada. 

Di hari kedua Reba, yang disebut Sedo Uwi, masyarakat akan mengenakan baju tradisional terbaik mereka dan melakukan ritual yang mengagumkan. Banyak versi yang menyebutkan tentang asal usul tradisi reba. Bagi masyarakat kampung bea dan sekitarnya mempunyai versi tersendiri tentang acara reba.

Dikisahkan bawa pada suatu hari dua kakak beradik semuanya laki-laki yaitu Teru dan Tena dari kampung Langa sedang melakukan para witu atau berburu babi hutan. Ini menjadi pekerjaan harian mereka tatkala mereka selesai bercocok tanan atau menunggu musim panen tiba. 

Keduanya berburu di hutan yang luas di sekitar kaki gunung Inerie dengan ditemani anjing kesayangan mereka yang sangat lincah dan berani dalam berburu. Teru dan Tena adalah dua bersaudara yang sangat akrab dan amat mUmpuni dalam berburu. 

Ada saja beragam buruan yang berhasil di tangkap. Namun pada hari itu mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka terus mencari buruan dan tanpa disadari mereka telah sampai di sebuah kampung yang belum mereka ketahui sebelumnya. 

Teru dan Tena berhenti sejenak karena kampung itu sangat sepi dan hanya terdengar tangisan entah dari rumah yang mana. Teru dan Tena segera menyusuri seluruh kampung dan mereka amat terkejut karena mereka menemukan banyak mayat di setiap rumah. Mereka pun segera mencari asal suara tangisan tersebut.

Ternyata suara tangisan itu berasal dari dua orang gadis yang sedang meratapi kematian keluarganya. Seluruh penduduk yang ada di kampung itu tewas karena keracunan dan yang tersisa hanyalah dua orang gadis. Segera teru menanyakan ngaza (nama) dari kedua gadis itu. Keduanya bernama Wijo dan Wajo. Nama ini yang biasa disebut pada saat reba, biasa dalam bentuk pantun. Teru ne'e Tena da mua gha Wijo nee Wajo da ana halo (Teru dan Tena telah mendapatkan Wijo dan Wajo yang yatim piatu). 

Teru dan Tena segera membatalkan niat mereka untuk memburu dan mereka mengalihkan perhatian untuk menguburkan seluruh mayat yang ada di kampung tersebut. Cukup lama Teru dan Tena berada di kampung tersebut sehingga mereka lupa jalan untuk kembali ke kampung Langa, kampung tanah kelahiran mereka.

Teru dan Tena akhirnya memutuskan untuk menetap di kampung itu bersama Wijo dan Wajo. Mereka bercocok tanam dan beternak karena mereka memandang bertani dan beternak sebagai suatu keharusan dan sumber kehidupan yang pertama dan utama. Ini terungkap dalam bahasa adat: “Bugu kungu, uri logo” (jari tangan harus meraba tanah) dan “uri logo” (belakang harus dibakar matahari). 

“Tuza mula, wesi peni” (harus menanam dan beternak). Jikalau hasilnya baik mereka membuat syukuran. Inilah yang menjadi inti acara reba sebagai ucapan syukur atas hasil panen dilakukan dengan pesta adat yang disebut Reba dan rasa gembira dinyatakan dengan tarian ’O Uwi’ (memuja ubi, makanan nenek moyang suku Bajawa). Seiring berjalannya waktu Teru dan Tena akhirnya jatuh hati pada Wijo dan Wajo (Teru ne’e Tena ra'a bere Wijo ne’e Wajo). 

Dengan keberadaan mereka yang tidak diganggu gugat oleh pihak lain mereka hidup bersama sebagai suami dan istri yang amat harmonis. Sesuai penuturan cerita mereka akhirnya mendapat keturunan sampai dengan penduduk saat ini. Anak pertama dari kedua pasangan ini diberi nama Sili sehingga pada saat reba ada penyebutan Sili ana wunga artinya sili anak pertama, da nuka pera gua artinya yang telah membuka jalan bagi yang lain. Kelahiran anak, entah laki-laki atau perempuan, bagi mereka adalah berkah dari leluhur. 

Karena itu kelahiran anak selalu disyukuri dengan upacara adat yaitu; Pertama. ‘Geka Naja’, Upacara dilakukan sesaat setelah anak lahir yakni memotong tali pusar (poro puse) dan memberi nama (tame ngaza). Kedua, Tere Azi; yaitu menghormati ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik. Ari-ari tidak dikuburkan tetapi diletakkan pada suatu tempat yang tinggi (di atas pohon). Upacara ini disebut Tere Azi. 

Ketiga adalah Lawi Azi, Lawi Ana atau Ta’u; Upacara bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak dicukur disebut Koi Ulu.

Kampung yang mereka tinggal tersebut sekarang dikenal dengan nama kampung Be’a. Seluruh rumah yang ada di kampung ini masih sangat tradisional dan masih asri, atap terbuat dari alang-alang (keri) dan berdinding kayu (kaju). Demikianlah cerita yang biasa diwariskan oleh orang tua kepada anak-anak di kampung bea tentang reba walaupun di kampung lain ada versi lain tetapi ada kemiripannya. Semua pada intinya sebagai ucapan syukur atas hasil panen yaitu uwi sebagai makanan nenek moyang pertama masyarakat etnis Bajawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun