Dengan keberadaan mereka yang tidak diganggu gugat oleh pihak lain mereka hidup bersama sebagai suami dan istri yang amat harmonis. Sesuai penuturan cerita mereka akhirnya mendapat keturunan sampai dengan penduduk saat ini. Anak pertama dari kedua pasangan ini diberi nama Sili sehingga pada saat reba ada penyebutan Sili ana wunga artinya sili anak pertama, da nuka pera gua artinya yang telah membuka jalan bagi yang lain. Kelahiran anak, entah laki-laki atau perempuan, bagi mereka adalah berkah dari leluhur.Â
Karena itu kelahiran anak selalu disyukuri dengan upacara adat yaitu; Pertama. ‘Geka Naja’, Upacara dilakukan sesaat setelah anak lahir yakni memotong tali pusar (poro puse) dan memberi nama (tame ngaza). Kedua, Tere Azi; yaitu menghormati ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik. Ari-ari tidak dikuburkan tetapi diletakkan pada suatu tempat yang tinggi (di atas pohon). Upacara ini disebut Tere Azi.Â
Ketiga adalah Lawi Azi, Lawi Ana atau Ta’u; Upacara bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak dicukur disebut Koi Ulu.
Kampung yang mereka tinggal tersebut sekarang dikenal dengan nama kampung Be’a. Seluruh rumah yang ada di kampung ini masih sangat tradisional dan masih asri, atap terbuat dari alang-alang (keri) dan berdinding kayu (kaju). Demikianlah cerita yang biasa diwariskan oleh orang tua kepada anak-anak di kampung bea tentang reba walaupun di kampung lain ada versi lain tetapi ada kemiripannya. Semua pada intinya sebagai ucapan syukur atas hasil panen yaitu uwi sebagai makanan nenek moyang pertama masyarakat etnis Bajawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H