Setiap kita mungkin pernah  melakukan suatu tindakan yang kelihatannya sia-sia atau tidak berarti tetapi sebenarnya sangat berarti dan tidak sia-sia.
Mendengar pernyataan ini mungkin tidak semua kita setuju dan tidak mengalaminya. Â Tetapi, coba mengingat-ingat tindakan apa yang kita pernah lakukan dimana tindakan itu kelihatannya tidak berarti dan sepertinya sia-sia tetapi pada akhirnya ketika kita melihat hasilnya, baru kita berkata ternyata tindakanku dulu itu berarti dan tidak sia-sia. Â
Masalahnya, tidak semua kita tahu dan mengerti betul bahwa itu akan menjadi tindakan yang berarti dan tidak sia-sia bahkan akan membawa keberhasilan/keuntungan yang besar. Â
Tidak heran kita kadangkala menyesal, dan berkata:... seandainya saya tahu gitu..saya akan mempersiapkannya dengan lebih baik, saya akan melakukannya dengan lebih tenang dan sungguh-sungguh lagi.  Dengan sikap seperti ini, menjadi  benar apa kata orang pintar: Penyesalan itu selalu datang belakangan.  Kalau di depan, itu namanya pendaftaran.  Wkwkwkwk.Â
Rupanya, kenyataan hidup seperti ini, juga diungkapkan di dalam Alkitab. Â Satu ayat yang mungkin kebanyakan kita jarang mendengarnya atau jarang juga disampaikan oleh pengkhotbah. Â Saya rindu agar setelah kita mendengar Firman Tuhan ini, kita akan lebih didorong untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu dengan lebih baik dan sungguh-sungguh lagi.Â
Pengkhotbah 11:1
"Lemparkanlah rotimu ke dalam air, maka engkau akan mendapatkannya kembali lama setelah itu."
Membaca sepintas ayat ini, maka dalam hemat pikiran saya, dan mungkin Anda bahwa ayat ini sama sekali tidak masuk akal. Â Mengapa? Â Orang diperintahkan untuk melemparkan roti ke dalam air dan beberapa waktu kemudian akan mendapatkannya kembali? Yang ada pastinya roti itu udah hancur bukan? Â Kalau rumput laut itu masih masuk akal atau batu aki, dll. Â Namun apa sebenarnya yang dimaksudkan dalam ayat ini? Â Dan bagaimana kita dapat menerapkan dalam konteks hidup dan pelayanan? Â Mari kita pelajari lebih dalam beberapa bagian dari ayat ini.
Pertama, kata "Lemparkanlah"
Ini kata kerja perintah atau permintaan (Imperatif) dan bukan undangan.Â
- Perintah: bersifat mengikat, mengandung otoritas, berkonsekuensi, punya hubungan sebab-akibat, lebih kepada atasan dengan bawahan. Â Sedangkan Undangan: tidak mengikat, menuntut kerelaan, mengandung harapan, tidak berkonsekuensi (hukuman), lebih kepada hubungan pertemanan/keluarga.
- Dilakukan dengan sadar dan sengaja
- Bukan tindakan nekad, tetapi tekat dan komitmen yang tinggi
- Keberanian yang berasalan dan bukan tindakan bodoh & asal saja.Â
- Menuntut reaksi untuk memutuskan dan bertindak
Namun, tidak semua orang ingin melakukan jika diperintahkan untuk melakukannya. Â Mengapa demikian? Paling tidak ada 10 alasan.
- Tidak berani (salah didik dari kecil, faktor X).
- Takut salah.
- Trauma (pernah melakukannya tetapi gagal dan gagal lagi)
- Pesimis karena melihat sikon dan orangnya (SDA & SDM)
- Tidak ada tanda-tanda potensial untuk maju/berkembang
- Semakin rendahnya kualitas dari obyek
- Jenis yang mau dilemparkanÂ
- Sasaran atau tujuan yang mau dicapai. Untuk apa?Â
- Nilai: daya/harga jual kebermanfaatan/keuntungan hari ini dan ke depan rendah.
- Tempat: lokasi  yang dituju tidak menguntungkan
Dengan alasan-alasan ini, menyebabkan kebanyakan orang ketika hendak bertindak, ia akan mempertimbangkan sejumlah hal, kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi: baik-buruknya, output-input, dll.  Hal ini sangat wajar dan perlu.  Namun, dalam konteks Pengkhotbah mendorong kita untuk sesegera  mungkin bertindak "melemparkan roti ke dalam air."  Kenapa demikian?  Adanya kebutuhan yang mendesak!  Apa itu?  Perhatikan kata kedua.Â
Kedua, kata "rotimu."Â Kata Ibraninya adalah latem. Â Apa itu? Â Bulir-bulir gandum, benih atau biji gandum. Â Istilah ini diambil oleh Salomo berdasarkan pengamatannya terhadap para petani di Mesir ketika menanam gandum. Â Secara khusus para petani yang bercocok tanam di sekitar Sungai Nil. Â
Kita perlu mengetahui bahwa Mesir mengenal 3 musim: musim Akhet (banjir), musim Peret (tanam), dan musim Shemu (panen).Â
Musim banjir berlangsung dari Juni-September (4 bln), menumpuknya lanau (lumpur) yang kaya akan mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Â Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober-Februari (5 bln). Â Para Petani membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Â Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman. Dari Maret-Mei (3 bln), petani menggunakan sabit untuk memanen. Â
Pada musim banjir/hujan, sungai itu meluap dan terjadi banjir sehingga menggenangi lahan pertanian masyarakat Mesir di sekitar sungai Nil tersebut. Â Ini terjadi selama 4 bulan. Â Kemudian, ketika air mulai surut (tepat musim tanam mulai bulan Oktober), para petani mulai mengolah tanah itu dan menaburkan benih-benih atau bibit-bibit gandum. Â Ingatlah bahwa lahan pertanian tanaman gandum di Mesir tidak seperti waktu jamannya Yusuf di kala menjadi penguasa di Mesir (Kej. 41:37-57). Â Ayat 49, 57 menyatakan bahwa Mesir kelimpahan gandum bahkan ketika seluruh bumi dilanda kelaparan yang hebat termasuk Israel saat itu, mereka (termasuk keluarga Yusuf) datang ke Mesir untuk membeli gandum. Â
Dengan kata lain, pada jaman itu Mesir adalah bangsa penghasil (istilah sekarang pengekspor) gandum terbesar di dunia. Â Namun, sangat berbanding terbalik dengan zaman Salomo, oleh karena kecongkakan dan ketegaran hati Firaun, raja Mesir, maka bangsa itu dihukum oleh Tuhan dan itu berdampak kepada lahan pertanian mereka (Kel. 7-11; Yeh. 29-32). Â Bahkan sekarang, Mesir adalah bangsa pengimpor gandum terbesar pertama di dunia. Â Disusul Indonesia kedua dan ketiga Brazil.Â
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa biji gandum dan bukan biji kopi atau biji mangga atau biji rambutan atau biji durian, dsb? Pertama, karena pada umumnya masyarakat Mesir bercocok tanam Gandum sebagai makanan pokok. Â Kedua, layaknya kebanyakan petani, biji/bibit (seperti bibit padi, jagung, dll) biasanya dikhususkan, bagus dan terbaik yang akan ditanam pada musim tanam.Â
Sedikit berbeda dengan kami di Sumba.  Bibit (padi/jagung contohnya), selain untuk ditanam, juga sewaktu akan diolah menjadi makanan nasi khusus untuk tamu  istimewah.  Bahkan orang Sumba Barat Daya (SBD, khusus Wewewa) menyebut perempuan itu dengan "Winni Pare" yang menunjukkan keistimewaan dan keberhargaan diri seorang perempuan.
Jadi, dalam konteks nasihat berupa sebuah ungkapan Pengkhotbah pada ayat ini menggambarkan mengenai jenis dan kualitas yang dilemparkan itu tidak sembarang, harus biji gandum. Â Hal ini berbicara mengenai sesuatu benih yang baik dan berkualitas untuk ditaburkan.Â
Saya berpikir bahwa apa yang kita lakukan bertahun-tahun ibarat "Melemparkan roti ke dalam air." Â Kita telah melakukannya selama ini, mendidik anak dan membesarkannya hingga menyekolahkan hingga mengukuliahkan bahkan menikahkannya, mendirikan dan mengembangkan usahanya. Â Saya kurang tahu persis sudah berapa biaya yang telah dialokasikan untuk sebuah perjuangan. Â Tidak hanya biaya, juga sudah cukup banyak waktu dan tenaga yang diluangkan. Â Yang dilemparkan sebenarnya bukan sekedar "roti,"tetapi sebenarnya benih-benih/biji-biji gandum yang sudah ditaburkan.Â
Kita bisa bayangkan, ketika mau menabur. Apa hanya kita sendiri nanti yang menikmatinya? Tentu tidak, bukan. Â Demikian juga jika kita menabung, orientasinya bukan hanya diri sendiri, tetapi orang lain, paling tidak bagi keluarga seperti suami, istri, anak, atau orang lain. Â Dan itu bersifat ke depan. Â Tabungan atau usaha kita, jika kita sudah meninggal, pasti anak yang akan melanjutkan, dst.Â
Jadi, saya mau berkata bahwa jangan ragu-ragu untuk berinvestasi bagi sebuah kekekalan. Â Dalam konteks kehidupan kita, teruslah melemparkan rotimu. Â Jika itu sungguh "benih," maka "benih itu pada dasarnya baik dan jika dikelola dengan baik pasti akan menghasilkan." Â
Ketiga, "maka engkau mendapatnya kembali." Â Mari kita perhatikan ayat 1b, "maka engkau akan mendapatnya kembali lama sesudahnya."New English Translation (NET): "for after many days you will get a return." Â Dalam tata bahasa Inggris, "will" punya 2 arti: 1.) akan (nanti), 2.) pasti.Â
Menarik bahwa kata "mendapatnya" memakai kata Ibrani barabi khusus kata "mendapatkan bara. Â Kata ini berarti "menciptakan/menghasilkan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Â Kata ini juga yang dipakai dalam Kejadian 1:1 ketika Allah menciptakan alam semesta dan manusia. Â
Kata bara tidak selamanya berarti sama sekali tidak ada "sesuatu" bahan atau materi tetapi juga bermakna "belum terbentuk/tertata, tersusun/terpola dengan baik. Â Kemudian dalam versi Young Literal Translation (YLT) menerjemahkannya dengan "multitude" yang berarti banyak, bertumpuk-tumpuk, berlipatganda." Â
Jadi jika ayat 1b ini diterjemahkan akan berbunyi demikian "maka engkau akan (pasti) menghasilkan sesuatu yang selama ini belum terbentuk, belum tertata, belum tersusun, belum terpola menjadi terbentuk, tertata, tersusun, terpola dengan bertumpuk-tumpuk/berlipatganda."Â
Ini juga berlaku bagi keluarga dan anak-anak kita. Â Jangan pernah takut atau menyesal untuk "melemparkan rotimu" bagi anak-anakmu. Â Karena nantinya, kita akan menghasilkan berlipatkali ganda. Â Ketika anakmu berhasil, siapa yang bangga? Â Ini sangat tepat dengan defenisi biji gandum di atas. Â Tidak ada satu biji tanaman yang ditanam kemudian hanya menghasilkan satu buah juga. Â Pasti hasilnya ketika berbuah menjadi banyak, berlipatkali ganda, bukan?
Keempat & terakhir, "lama sesudahnya."
Kita perlu sadari bahwa idak semua orang berpikiran yang sama. Â Mengapa? karena waktunya terlalu lama dan tidak sabar menunggu hasilnya: pokoknya sekarang. Â Perhatikan frase ini "lama sesudahnya." Â
Dalam konteks petani di Mesir, mereka baru akan memanen setelah 5 bulan biji gandum ditanam (Oktober-Februari).  Mereka panen pada bulan2 Maret, April atau Mei.  Frase ini jelas berbicara mengenai sebuah proses waktu yang cukup lama untuk menantikan hasil dari apa yang pernah ditaburkan. Tidak hanya proses waktu, juga melibatkan tenaga untuk mengolah tanah, mencabut rumput-rumput, menyemprot jika ada hama, menjaga jika ada burung yang hendak memakannya, dll. Â
Kalau dalam konteks sekarang, juga melibatkan biaya yang cukup untuk apa? Â Membeli bibit yang bagus, membeli obat, menyewa orang untuk membantu mengerjakannya, dll. Â Juga melibatkan proses berpikir. Â Seorang petani tentu akan memikirkan bagaimana agar lahannya serta bibitnya produktif. Â
Jadi, seseorang harus belajar, bertanya kepada orang lain, mengikuti pelatihan-pelatihan, seminar, dll. Â Ini semua adalah proses. Â Tidak heran ketika orang tidak melihat hasil apa-apa, atau tidak seperti yang diharapkan, kecewa, putus asa, mulai malas, pesimis, takut, dll. Â
Tetapi, saya kembali mau berkata bahwa benih yang ditabur oleh petani yang handal, mengolah tanahnya dengan baik dan dengan pola-pola bercocok tanam yang baik itu pasti akan menghasilkan dengan maksimal dan memuaskan.
Teruslah untuk "melemparkan rotimu" dan jangan pernah kendor berapa pun itu nilainya. Â Jika sudah mulai kendor, cek lagi, evaluasi, benahi dan mulai lagi untuk "melemparkan roti." Â Â
Menaburkan benih-benih yang baik itu adalah investasi bagi kekekalan.
Galatia 6:9 "9 Â Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H