Namun, tidak semua orang ingin melakukan jika diperintahkan untuk melakukannya. Â Mengapa demikian? Paling tidak ada 10 alasan.
- Tidak berani (salah didik dari kecil, faktor X).
- Takut salah.
- Trauma (pernah melakukannya tetapi gagal dan gagal lagi)
- Pesimis karena melihat sikon dan orangnya (SDA & SDM)
- Tidak ada tanda-tanda potensial untuk maju/berkembang
- Semakin rendahnya kualitas dari obyek
- Jenis yang mau dilemparkanÂ
- Sasaran atau tujuan yang mau dicapai. Untuk apa?Â
- Nilai: daya/harga jual kebermanfaatan/keuntungan hari ini dan ke depan rendah.
- Tempat: lokasi  yang dituju tidak menguntungkan
Dengan alasan-alasan ini, menyebabkan kebanyakan orang ketika hendak bertindak, ia akan mempertimbangkan sejumlah hal, kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi: baik-buruknya, output-input, dll.  Hal ini sangat wajar dan perlu.  Namun, dalam konteks Pengkhotbah mendorong kita untuk sesegera  mungkin bertindak "melemparkan roti ke dalam air."  Kenapa demikian?  Adanya kebutuhan yang mendesak!  Apa itu?  Perhatikan kata kedua.Â
Kedua, kata "rotimu."Â Kata Ibraninya adalah latem. Â Apa itu? Â Bulir-bulir gandum, benih atau biji gandum. Â Istilah ini diambil oleh Salomo berdasarkan pengamatannya terhadap para petani di Mesir ketika menanam gandum. Â Secara khusus para petani yang bercocok tanam di sekitar Sungai Nil. Â
Kita perlu mengetahui bahwa Mesir mengenal 3 musim: musim Akhet (banjir), musim Peret (tanam), dan musim Shemu (panen).Â
Musim banjir berlangsung dari Juni-September (4 bln), menumpuknya lanau (lumpur) yang kaya akan mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Â Setelah banjir surut, musim tanam berlangsung dari Oktober-Februari (5 bln). Â Para Petani membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan kanal. Â Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman. Dari Maret-Mei (3 bln), petani menggunakan sabit untuk memanen. Â
Pada musim banjir/hujan, sungai itu meluap dan terjadi banjir sehingga menggenangi lahan pertanian masyarakat Mesir di sekitar sungai Nil tersebut. Â Ini terjadi selama 4 bulan. Â Kemudian, ketika air mulai surut (tepat musim tanam mulai bulan Oktober), para petani mulai mengolah tanah itu dan menaburkan benih-benih atau bibit-bibit gandum. Â Ingatlah bahwa lahan pertanian tanaman gandum di Mesir tidak seperti waktu jamannya Yusuf di kala menjadi penguasa di Mesir (Kej. 41:37-57). Â Ayat 49, 57 menyatakan bahwa Mesir kelimpahan gandum bahkan ketika seluruh bumi dilanda kelaparan yang hebat termasuk Israel saat itu, mereka (termasuk keluarga Yusuf) datang ke Mesir untuk membeli gandum. Â
Dengan kata lain, pada jaman itu Mesir adalah bangsa penghasil (istilah sekarang pengekspor) gandum terbesar di dunia. Â Namun, sangat berbanding terbalik dengan zaman Salomo, oleh karena kecongkakan dan ketegaran hati Firaun, raja Mesir, maka bangsa itu dihukum oleh Tuhan dan itu berdampak kepada lahan pertanian mereka (Kel. 7-11; Yeh. 29-32). Â Bahkan sekarang, Mesir adalah bangsa pengimpor gandum terbesar pertama di dunia. Â Disusul Indonesia kedua dan ketiga Brazil.Â
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa biji gandum dan bukan biji kopi atau biji mangga atau biji rambutan atau biji durian, dsb? Pertama, karena pada umumnya masyarakat Mesir bercocok tanam Gandum sebagai makanan pokok. Â Kedua, layaknya kebanyakan petani, biji/bibit (seperti bibit padi, jagung, dll) biasanya dikhususkan, bagus dan terbaik yang akan ditanam pada musim tanam.Â
Sedikit berbeda dengan kami di Sumba.  Bibit (padi/jagung contohnya), selain untuk ditanam, juga sewaktu akan diolah menjadi makanan nasi khusus untuk tamu  istimewah.  Bahkan orang Sumba Barat Daya (SBD, khusus Wewewa) menyebut perempuan itu dengan "Winni Pare" yang menunjukkan keistimewaan dan keberhargaan diri seorang perempuan.
Jadi, dalam konteks nasihat berupa sebuah ungkapan Pengkhotbah pada ayat ini menggambarkan mengenai jenis dan kualitas yang dilemparkan itu tidak sembarang, harus biji gandum. Â Hal ini berbicara mengenai sesuatu benih yang baik dan berkualitas untuk ditaburkan.Â
Saya berpikir bahwa apa yang kita lakukan bertahun-tahun ibarat "Melemparkan roti ke dalam air." Â Kita telah melakukannya selama ini, mendidik anak dan membesarkannya hingga menyekolahkan hingga mengukuliahkan bahkan menikahkannya, mendirikan dan mengembangkan usahanya. Â Saya kurang tahu persis sudah berapa biaya yang telah dialokasikan untuk sebuah perjuangan. Â Tidak hanya biaya, juga sudah cukup banyak waktu dan tenaga yang diluangkan. Â Yang dilemparkan sebenarnya bukan sekedar "roti,"tetapi sebenarnya benih-benih/biji-biji gandum yang sudah ditaburkan.Â