Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Lainnya - Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pahami Macam-Macam Nafs dalam Diri Manusia

28 Januari 2022   00:31 Diperbarui: 28 Januari 2022   00:39 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ketika manusia lahir di dunia, maka secara naluriah Ia memiliki potensi yang sudah Tuhan berikan kepadanya. potensi tersebut bisa berupa hal naluriah maupun batiniah. Hal tersebut menjadi alat komunikasi manusia untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta, apabila manusia kehilangan atau tidak menyadari potensi tersebut tentu Ia akan kehilangan arah dan tujuan hidupnya di dunia. oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, izinkan penulis menyampaikan secercah pengetahuan tentang potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hal ini guna memberikan pengetahuan kepada para pembaca khususnya penulis sendiri untuk menjalani kehidupan dan dinamikanya dengan berbagai dimensinya yang begitu rumit dan hanya sebagian kecil dari manusia mengetahui hal tersebut. pada tulisan kali ini, penulis menyuguhkan tentang macam-macam Nafs yang ada di dalam diri manusia. berikut penjelasannya, semoga bermanfaat.

  • Common Sense (Pengertian Nafs)

 Dalam Buku Psikologi Sufi, Robert Friger mengatakan, "One of the most common terms in Sufi psychology is the nafs, or the self. This is sometimes translated as "ego" or "soul". Other meanings of nafs include "essence" and "breath". However, in Arabic, nafs is most commonly used asa "self": for example, in everyday words like myself and yourself. When most Sufi authors use the term nafs, they refer to our negative traits and tendencies. At its lowest level, the nafs is that which leads us astray. We all struggle to do those things we clearly know we should do. We often struggle even harder to avoid those actions we know are wrong or harmful."

Salah satu istilah paling umum digunakan oleh psikologi Sufi ialah nafs, atau dalam bahasa indonesia diartikan diri.  Istilah ini kerap diterjemahkan sebagai "Ego" atau "jiwa". Makna lain nafs adalah "intisari" dan "napas". Tetapi, di dalam bahasa Arab, nafs ini umum dipakai sebagai "diri", dalam artian lain atau jika meminjam bahasa sehari-hari: "Seperti diriku dan dirimu".

Pada tingkatan yang terendah, nafs ialah yang membawa kita pada kesesatan, dan pada hal tersebut kita dituntut untuk berjuang melakukan hal-hala yang jelas kita ketahui dan baik untuk kita. Kemudian kita dituntut untuk berjuang menghindari hal-hal yang kita ketahui buruk dan dapat merusak. Dalam hal ini, mengapa kita dituntut untuk berjuang? Sebab, ketika pikiran kita satu, dalam artian satu tujuan dengan insting/nurani kita maka tentu tidak akan ada sitilah berjuang. Akan tetapi, faktanya pola pikir kita terkadang terbagi pada beberapa hal. Bahkan, pada saat kita meyakini terhadap suatu hal yang menurut salah satu pikiran kita benar, tentu akan ada sebahagian dari diri kita berupa dorongan yang secara tidak sadar menyuruh untuk melakukan tindakan sebaliknya. Bagian tersebut ialah diri rendah (hawa nafsu), terkhusus padsa tingkatan terendah nafs kita yakni nafs tirani.

Lebih lanjut, nafs merupakan bagian dari proses yang dihasilkan antara ruh dan jasad, meskipun pada dasarnya bukanlah struktur psikologis yang bersifat statis. Tapi, tidak menutup kemungkinan proses gesekan/gejolak yang timbul dari jasad dan ruh tersebut dapat saja menyimpang . hal ini  dikarenakan pada saat ruh bertransformasi ke dalam jasad, maka secara alamiah akan terbuang dari asalnya yang bersifat immateri, kemudian nafs tersebut mulai membuntuk pembaharuan baru di dalam jasad. Dengan demikian, ruh pun menjadi terpenjara di dalam benda bersifat immateri itu tadi dan memulai menyerap aspek-aspeknya.

Kemudian, dikarenakan nafs berakara di dalam jasad dan ruh, dan mencakup kecenderungan material juga spiritual. Pada mulanya, aspek material ini pun lebih dominan, sehingga nafs ini pun tertarik kepada kesenangan yang bersifat duniawi. Segala hal yang bertsifat materi secara ilmiah memiliki kecenderungan kepada dunia materi. Ketika nafs bertransformasi, ia menjadi lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertarik dengan hal yang bersifat keduniawian.

Banyak penulis Sufi yang telah menulis tentang tujuh tingkatan perkembangan nafs berdasarkan Al-Qur'an, salah satunya ialah Robert Frager, seorang Sufi sekaligus penulis. Menurut Robert Frager, nafs ini terdiri dari tujuh macam diantaranya yakni: Nafs Tirani, Nafs Penuh Penyesalan, Nafs yang Terilhami, Nafs yang Tentram, Nafs yang Rida, Nafs yang Diridai Tuhan, dan Nafs yang Suci. Ada pun penjabaran dari macam-macam nafs tersebut sebagai berikut.

  • The Tyrannical Nafs (Nafs Tirani)

This stage, the nafs ammara, has also been translated as the "commanding nafs", the "domineering nafs", or the "nafs that incities to evil." The term ammara literally means "to habitually or repeatedly command," so this stage might even be called the "nagging nafs", the tyrannical self attempts to dominate us and to control our thought and actions. Unfortunately, it is often seuccessful. When speaking of the nafs in general, many Sufi authors refer only to this lowest station of the nafs. The Koran describes it thus: "The tyrannical self cernatainly impels to evil, unless my Lord bestows Mercy upon me." (12:53)

Nafs tirani atau bisa dikatakan dengan tingakatan nafs ammarah ini juga diartikan sebagai "Nafs yang memerintah", "Nafs yang mendominasi", atau "Nafs yang membujuk pada hal kejahatan." Istilah ammarah secara literal berarti "perintah atau kebiasaan yang berulang-ulang." Pada tingkatan ini dapat dikatakan juga sebagai "nafs yang mengganggu." Nafs tirani ini berusaha mendominasi dan mengambil alih pikiran serta tindakan kita. Buruknya, nafs ini seringkali berhasil mendominasi dan mengendalikan diri kita. Bahkan, kita seringkali tidak sadar bahwa kita sedang dikendalikan oleh nafs tersebut. Mayoritas para penulis sufi merujuk hanya pada stasiun terendah dari nafs ini. Al-Qur'an pun menggambarkannya sebagai berikut. "...Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Di dalam Al_Qur'an, kata kerja ammarah, yakni "memerintah" seringkali dipakai. Ia secara umum merujuk pada perintah-perintah Tuhan. Salah satu contoh, "Tuhan memerintahkan kaum beriman untuk bermurah hati dalam bersedekah." Bentuk intensif pada kata ammarah digunakan hanya satu kali, yakni pada ayat Al-Qur'an di atas. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk berbuta sebaliknya, di bawah pengaruh diri tirani ini, perintah-perintah diri yang rendah ini lebih kuat dari perintah-perintah Tuhan.

Kemudian, pada sebahagian orang yang didominasi oleh nafs tirani ini kemungkinan bisa melakukan amalan-amalan keagamaan, namun hanya berupa eksistensi belaka yang dirancang dengan sedemikian rupa demi mencapai penghargaan dari orang lain atau dari teman-teman dan manager di perusahaannya.

Menurut salah seorang Syekh mengatakan bahwa nafs itu merupakan sifat yang menjadi tenang jika hanya dalam ketidak jujuran, dan menjadi tenang pada sesuatu yang tidak melibatkan Tuhan (Allah). Sebab, nafs itu tidak akan tunduk pada jalan Allah. Pada tingkatan pertama ini kita diperintahkan oleh kecerdasan di dalam diri kita. ini merupakan kecerdasan yang tanpa disertai keimanan terhadap suatu di luar diri kita baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Ia berbakti pada hal yang bersifat penggudangan/penumpukan harta benda dan kekayaaan, serta kepuasan ego tanpa memperdulikan dampak dari akibat yang akan terjadi ke depannya. Beberapa contoh yang bisa dijadikan sudut pandang yakni: pada para koruptor yang memakai berbagai cara dan upaya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan dampak yang akan didapatny serta masyarakat yang mempercayainya.

  • Kecanduan Terhadap Tuntutan Nafs Tirani

Kebanyakan dari kita yang berada pada tingkatan ini adalah budak-budak kesenangan pribadi. Sebagai contoh yang sering kita temukan di kehidupan sehari-hari (prostitusi, psikopat, koruptor, dan sebagainya. Kemudian, pada tingkatan ini kita merupakan pecandu yang kerap kali menyangkal. Dalam artian didominasi oleh ketergantungan yang tidak bisa kita kontrol. Terkecuali kita memang menyadari bahwa kita sedang didominasi oleh nafs tirani kita. kemungkinan kita bisa saja mengendalikannya dengan berbagai upaya.

Lebih lanjut, nafs menginginkan setiap orang untuk selalu memandang kita dan menganggap kita baik bahkan yang terbaik dari yang lainnya. Para guru Sufi sekelas Al-Ghozali menggambarkan sebagai berikut.

Salah satu sifat buruk yang tersembunyi dan penyakit rahasia nafs adalah senang dipuji. Barang siapa yanf meneguk air darinya maka akan menggerakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi dalam sekejap mata. Tanda penyakit ini tidak lain ialah pujian, yakni ia akan jatuh ke dalam lembah hayalan dan kelalaian.

  • Gambaran Nafs Tirani

Beberapa sufi menggambarkan kedinamisan tingkatan diri ini sebagai berikut.

Pada tahap awal jalan spiritual, selama seseorang masih berada di bawah pengaruh dan perintah nafs, maka hal tersebut dikenal sebagai nafs yang memerintah. Lebih lanjut, pada situasi ini yakni ketika nafs masih mengakar kuat di dalam alam materi, ia tidak pernah berhenti berusaha menarik rohani dan hati untuk menguasainya agar dapat menurunkanny ke tingkat yang lebih rendah. Tentunya ialah ke tingkat di mana nafs tersebut terbentuk. Secara terus menerus terus menyuguhkan dirinya sebagai objek pujian yang menarik, sehingga tanpa disadari membawa rohani yang agung dan suci menuju kehinaan dan mencemarkan hati nurani dengan berbagai tipu daya muslihat.

Pada kebanyakan situasi, aspek luar nafs berbeda dengan aspek dalamnya. Ia bertindak berbeda ketika sedang berhadapan dengan orang lain, secara tidak sadar kita akan berpura-pura jujur di hadapan mereka, sementara ketika mereka tidak ada, maka wajah aslinya pun akan nampak dan melakukan berbagai keburukan. Hal ini perlu kita waspadai dalam kehidupan sehari-hari, adapun cara pengendaliaanya yaitu dengan ketulusan dari diri kita.

Nafs, tidak pernah bersifat konstan. Secara terus-menerus, ia tunduk terhadap prasangka-prasangka dan dorongan hati, hanya menginginkan untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan segera. Geraknya berubah-ubah dan tidak dapat dipercaya: ia tergesa-gesa untuk memenuhi hasratnya, bertindak secara terburu-buru. Beberapa orang suci memberinya persamaan dengan sebuah bola yang menggelinding sembarangan menuruni lereng, dan terus-menerus berputar. Sifat ini hanya dapat dihilangkan dari nafs melalui kesabaran.

Perlu diingat juga bahwa poin-poin di atas merujuk pada tingkatan nafs yang terendah. Sebagian orang terjebak di tingkat ini. Sedangkan sebahagian yang lain mampu menjalani kehidupan yang relatif etis dan normal, dan hanya sekali terjebak oleh pengaruh nafs tirani ini.

  • Menangani Ego Negatif

Tidaklah mudah untuk mengendalikan ego negatif yang tak pernah puas, yang terdapat pada tingkat nafs tirani. Latihan meditasi semata tidak akan berhasil. Bahkan, ia kerap memunculkan kesombongan yang melambung. Sufi Bayazid berkata, "Tabir yang paling tebal antara manusia dan Tuhan adalah kearifan kaum arif, ibadah para ahli ibadah, dan ketaatan para hamba yang saleh."

Suatu malam Syekh Muzaffer pergi makan malam bersama sekelompok orang di sebuah restoran mewah di Istanbul. Sang pelayan menghampiri meja mereka dengan membawa botol anggur dan minuman keras lainnya. Salah seorang dari kelompok tersebut dengan marah menegur sang pelayan, "Tidakkah kamu mengenal beliau adalah seorang guru agama terkenal? Sungguh berani kamu membawa minuman keras ke meja kami?"

Syekh Muzaffer pun segera menukas, "Jangan marah. Pelayan ini hanyalah melaksanakan pekerjaannya. Restoran ini mendapat keuntungan terbesarnya dari minum-minuman ini. Kita tidak boleh melenyapkan mata pencaharian pelayan kita ini. Pelayan, letakkanlah botol-botol ii di atas meja." Mereka pun menghabiskan makan malam dengan botol-botol tersebut tetap berada di atas meja, tanpa disentuh.

Pendekatan Malamatiyyah adalah asketisisme psikologis yang canggih, ilmu mengenai mengorbankan hasrat akan pujian maupun penerimaan orang lain. Dalam upayanya untuk menghilangkan ketidaktulusan, orang-orang Malami menghilangkan seluruh ego negatif yang menyuburkannya, khususnya hasrat untuk dikenal dan dihargai.

Rumi Menceritakan sebuah kisah tentang pemburu naga yang mendaki gunung untuk menangkap sang naga. Ia akhirnya menemukan tubuh naga besat yang membeku, berada di dalam sebuah gua, di atas puncak gunung yang tinggi. Ia membawa tubuh tersebut ke Baghdad dan memamerkannya di tepian sungai. Ratusan orang datang untuk melihatnya, ketika matahari secara perlahan menghangatkan tubuh naga tersebut, ia pun mulai terbangun dari tidur musim saljunya. Orang-orang menjerit dan saling berdesak-desakan, banyak di antara mereka yang terbunuh. Sang pemburu naga dilumpuhkan oleh rasa takutnya, lalu sang naga pun melahapnya dalam sekali telan.

Kebuasan seperti itu amatlah mudah bagi sang tiran.

Nafs adalah bagaikan seekor naga: bagaimana mungkin ia mati? Ia hanyalah membeku karena tiadanya keburukan.

Biarkan sang naga dalam dirimu tertidur.

Jika dibangunkan, maka ia akan melahapmu.

  • Kota Nafs Tirani

Ada sebuah manuskrip mengenai diri yang ditulis dengan indah oleh Syekh Naqsabandiyah pada kurun waktu 150 tahun yang lalu. Sang Syekh memerintahkan untuk tidak menerbitkannya sampai ia meninggal dunia. Ia pun menggambarkan setiap stasiun diri sebagai kota, satu sama lainnya saling menempati. Syekh Safer berkomentar bahwa manuskrip tersebut adalah salah satu karya tasawuf yang paling berguna dan penting, dan seluruh darwis Jerrahi harus membacanya.

Mengendalikan Nafs Tirani

Syekh Nurbakhs, yang juga seorang psikiater, mengemukakan sebuah pokok penting bahwa nafs tirani ini seharusnya tidak pernah dihancurkan, melainkan ditransformasikan menjadi sifat-sifat dan perilaku yang baik. Menghancurkan diri tirani kita sama saja dengan menghancurkan diri kita sendiri.

Kemudian, bagaimana kita dapat belajar mengendalikan diri kita dan meninggalkan tingkatan nafs tirani ini? Lantas bagaimana kita dapat mengubah sifat buruk kita menjadi sifat baik dan positif? Tentu saja mungkin untuk mengubah hal tersebut dalam satu waktu. Salah satu contoh yang bisa kita terapkan adalah kita mengubah kekikiran menjadi kedermawanan meskipun pada fase awal akan terasa memeberatkan, kemudian kemarahan menjadi pengertian, dan keserakahan menjadi ketidakterikatan. Selain itu, kita juga diharuskan untuk menyucikan dan membuka mata hati kita agar memiliki pandangan luas tentang alam semesta dan kebesaran Allah Swt. Karena salah satu cara yang paling efektif ialah menyucikan hati kita melalui praktik melepaskan/menanggalkan pakaian duniawi dan mengingat Tuhan. Karena hanya Tuhanlah yang dapat memancarkan cahaya hati dan membuat kita peka terhadap kinerja nafs, Syekh Nurbakhs menulis, "Perhatian yang terus-menerus terhadap Tuhan melahirkan ingatanterhdap-Nya, yang memunculkan kepekaan akan hal-hal lain dari alam sadar seseorang yang menyebabkan hasrat nafs secara perlahan terlupakan. Perhatian terhadap Tuhan secara terus-menerus menyebabkan perubahan perlahan dari sifat murid nafs menjadi sifat Tuhan."

Diagram Nafs Tirani

Ada sebuah diagram jiwa yang sangat mendekati model transformasi sugi. Diagram tersebut dikembangkan oelh Robert Assagioli, salah seorang psikiater yang mempelajari teori Freud dan Jung. Saya telah mengadaptasi diagram tersebut agar cocok dengan model tujuh tingkatan nafs, pada diagram dasar ini, bagian ketiga tertinggi dari lingkaran, yakni alam tak sadar atas, mewakili bagian jiwa spiritual, transendental, atau transpersonal.

Alam-bawah-sadar tengah mencakup wilayah kepekaan, atau bagian kesadaran saat ini dari jiwa. Wilayah di luar lingkaran menyimpan memori-memori yang telah dilupakan, tapi mudah untuk kembali; contoh yang bisa kita pelajari ialah pada posisi "Aku" ditempatkan di pusat alam bawah sadar (alam bawah sadar tengah). Ia pusat kesadaran kita, pemahaman yang terbatas mengenai jati diri kita. pada kata "Aku" ini terdapat kemampuan untuk mempengaruhi pengalaman kita dengan melalui sentuhan kepekaan kita, yang kemudian mengembangkan atau menyusutkannya.

Kemudian, alam bawah sadar atas adalaha wilayah pengalaman manusia secara dramatis ditemui dalam pengalaman mistik atau keagamaan yang mendalam. Pada masa-masa tersebut, kita dapat merasakan bahwa tabir antara kita dengan Tuhan secara tiba-tiba terangkat. Lalu kita kita merasakan kehadiran Tuhan jauh lebih mendalam dari sebelumnya, dan itu seringkali berupa sifat-sifat Tuhan yang mendalam seperti cinta, kasih sayang, keindahan, dan sebagainya.

The regretful Nafs (Nafs Penuh Penyesalan)

Under the reign tyrannical nafs, we are basically unawere and unconscious. We cannot see the state we are in, and we do not realize the harm we do to ourselves and other. Even though it is week and faint at first, as the light of faith and inner understanding grows, we begin to see ourselves clearly, perhaps for the firs time.

In the Koran, the original reference to the regretful self, the nafs lawwama, is, "I call to witness the regretful self." (75:2)

Di bawah kendali kekuasaan nafs tirani, pada dasarnya kita tidak peka bahkan lalai dan tidak sadar. Bahwasannya kita tidak dapat melihat wilayah atau ranah posisi keberadaan kita, dan tidak meyadari bahwa bahaya yang kita peruntukkan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Meskipun demikian, ia bersifat lemah pada mulanya, namun begitu cahaya iman dan pemahaman batiniah tumbuh, kita mulai melihat diri kita secara jernih, dan hal itu mungkin kali pertamanya.

Di dalam Al_Qur'an, terdapat ayat yang menyebutkan nafs yang penuh penyesalan ini sebagai Nafs lawwamah. Mereka yang berada pada tingkatan ini bagaikan para pecandu yang kemudian akhirnya menyadari dampak kecanduan tersebut. Mereka telah membahayakan diri mereka dan juga orang-orang di sekitarnya. Namun sayangnya, betapapun jelas dan sakitnya, kesadaran tersebut tidaklah cukup untuk menghilangkan kecanduan mereka. Dalam hal ini membutuhkan obat yang jauh lebih kuat

  • Kota Nafs Yang Penuh Penyesalan

Seseorang yang melalui tingkatan ini memohon kepada Tuhan untuk memperbaiki kesalahannya dan memulai kembali dengan laku kebaikan. salah satu kecenderungan negatif tingkatan nafs ini adalah kemunafikan. Karena kita memiliki pengetahuan mengenai jelan hidup yang benar, tetapi justru kita cenderung mengabaikan bahkan berupaya mencari cela dengan berbagai dalih demi membenarkan perbuatan atau tindakan yang jelas-jelas merugikan diri kita dan juga orang lain. Bertentangan dengan nafs tirani yang tidak memiliki malu, manusia pada tingkat ini terbawa oleh apa yang dianggapnya baik, meskipun ia tidak mampu mendapatkannya.

Diagram Nafs Yang Penuh Penyesalan

Pada model ini kita bisa buat dengan bentuk oval dari gambaran jiwa. Adapaun hal-hal yang termuat di dalamnya yang bisa kita ketahui ialah, keangkuhan, ego, terlepas dari kepakaan batiniah kita yang sedang tumbuh.

  • The Inspired Nafs (Nafs Yang Terilhami)

At this third stage, we begin to take genuine pleasure in prayer, meditation, and other spiritual activities. We begin to experience for our selves the religious and spiritual truths we have only heard or read about up until now. We  begin to feel genuine love for God and for others. This is also the beginning of the real practice of Sufism. Prior to this, the best we can accomplish is superficial understanding and mechanical worship. The ruler of this stage is wisdom and the prime minister is love. The traits of this stage include generosity, satisfaction with small things, surrender to God, humility, and repentance.

Pada tingkatan ini, kita mulai merasakan kesenangan sejati di dalam berdoa. Meditasi, dan kegiatan psiritual lainnya. Kita mulai menemukan sendiri kebenaran sejati yang selama ini tertutup dari pandangan kasat mata kita dan tidak terbaca oleh alam sadar kita. karena pada dasarnya kita seringkali mengalami kegagalan demi kegegalan dalam mengubah kebiasaan buruk sehari-hari. Kemudian, secara tiba-tiba kebiasaan-kebiasaan lama ini kehilangan kendali atas diri kita. apa yang semula menarik kemudian secara spontan berubah derastis menjadi hal yang tidak menarik lagi. Inilah dampak bagi orang yang sudah berada pada tingkatan nafs yang terilhami. Lebih lanjut, terdapat kota Nafs yang terilhami yang bisa kita ketahui untuk dipelajari. Kota cinta dan Ilham adalah sebuah wilayah yang kompleks, dengan wilayah positif dan negatif, egoisme dan kemunafikan tentu tidak tertinggal di dalamnya. Namun, yang perlu kita ketahui dari hal ini ialah, kita bisa menemukan kebenaran dari segi spirtual pada jiwa kita, sebab Allah Swt. yang langsung memberikan cahaya-Nya kepada hati kita.

Akan tetapi, perlu kita ketahui, nafs yang terilhami ini juga kerap kali terdapat bahaya yang senantiasa mengintai. Sebab, tingkatan ini adalah titik tolak yang kritis. Keburukan-keburukan nafs tirani dan perjuangan tak berujunga dari nafs yang penuh penyesalan yang telah dilalui belumlah berada pada puncak aman. Dalam artian, nafs yang terilhami ini masih mudah rentan dari gangguan-gangguan nafs tirani dan nafs penyesalan.

  • The Serene Nafs (Nafs Yang Tentram)

The ruler of this stage is also wisdom and the prime minister is love. The characteristics of the serene nafs include trust in God, good actions, spiritual pleasure, worship, gratitude, and contentment. According to Sheikh Safer, we are safe from the major distortions of the negative ego only when we have raeched this stage, and even at this and at later stages, the negative ego can still affect us, if only momentarily. God directly addresses this level of nafs in the following passage from the Koran: "O nafs at peace (serene nafs)/return to you Lord,/Well pleased/and well pleasing to God." (89:27-30).

Penguasa pada tingkatan ini adalah kearifan dan perdana menterinya ialah cinta. Sifat-sifat nafs yang tentram ini mencakup keyakinan terhadap Tuhan, perilaku baik, kenikmatan spiritual, pemujaan, rasa syukur, dan kepuasan hati. Menurut Syekh Safer, kita aman dari pengrusakan besar ego negatif hanya setelah kita sampai pada tingkatan ini, bahkan pada tingkatan ini dan tingaktan selanjutnya, ego negatif masih dapat memengaruhi kita, meskipun hanya sementara. Tuhan secara langsung menyebut tingkatan nafs ini dalam ayat Al-Qur'an berikut. "Hai Jiwa yang tentram kembalilah kepada Tuhanmu, dengan ridha dan diridhai (Tuhan)." Salah satu hal paling dasar pada tingkatan ini ialah pembukaan hati. Sebab dengan terbukanya hati, secara tidak sadar alam bawah sadar akan mudah menerima berbagai hal dan cahaya kebenaran dari Allah Swt. kemudian cahaya hati menetralkan kecenderungan-kecenderungan negatif dan angan-angan tingkat nafs yang lebih rendah.

Adapun wilayah-wilayah yang bisa dijamah oleh nafs yang tentram ini ialah : Pusat Jiwa, Ruh/jiwa, alam bawah sadar-atas, alam bawah sadar tengah, wilayah kepekaan, dan alam bawah sadar bawah.

  • The Plased Nafs (Nafs Yang Rida)

At the stage we are not only content with our lot, we are pleased even with the difficulties and trials of life, which also come from God. The state of the pleased nafs is very different from the way we usually experience the world. We realize that we are continually surrounded by God's mercy and compassion.

Pada tingkatan ini, kita tidak hanya merasa puas terhadap takdir yang kita jalani, tapi kita juga merasa puas terhadap segala kesulitan dan ujian kehidupan, yang juga berasal dari Tuhan. Kondisi nafs ini sangatlah berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan di dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Kita menyadari bahwa kita secara kontinu dikelilingi oleh rahmat dan belas kasih Tuhan. Lebih lanjut, wilayah nafs yang rida ini bisa dijumpai pada diagram nafs rida dengan bentuk oval, yang diantaranya terdapat wilayah: Tuhan, Jiwa/ruh, Pusat Jiwa "Aku", alam bawah sadar atas, alam bawah sadar tengah, "Aku", wilayah kepekaan, dan alam bawah sadar bawah.

  • The Nafs Pleasing to God (Nafs Yang Diridai Tuhan)

Ibn Arabi points our that this is the level of inner marriage of self and spirit. In Arabic, the self is feminine and the spirit is masculine. He writes that this inner marriage produces a child, which is located in the heart. The psirit inspires the self to uplift itself and then the heart follows. The inner strugless and sense of multiplicity are gone. One Sheikh illustrated this state of inner unity as follow, "I choose whichever states God choose for me and keeps me in. If God keeps me rich, I will not be forgetful, and if God wishes me to be poor, I will not be greedy and rebellious."

Ibn' Arabi mengemukakan bahwa pada tingkatan ini merupakan tingakat pernikahan batiniah antara diri dan ruh. Di dalam bahasa Arab, diri dikenal sebagai feminim dan ruh adalah maskulinnya. Ia menuslikan bahwa pernikahan batiniah antara diri dan ruh ini menghasilkan anak, yang berada dalam hati. Ruh memberi ilham kepada diri untuk mengangkat dirinya sendiri, yang kemudian diikuti oleh hati. Seorang Syekh menggambarkan kesatuan batiniah ini begai berikut.

"Aku memilih kondisi apa pun yang Tuhan pilihkan untuk diriku, dan menempatkanku di dalamnya. Jika Tuhan membuatku kaya, aku tidak lupa, dan jika Tuhan menghendakiku miskin, aku tidak akan tamak dan mgningkarinya."

Pada tingakatan ini, kita menyadari betul bahwasannya seluruh daya upaya untuk bertindak sepenuhnya datang dari Tuhan, kita tidak melakukan suatu apapun, melainkan Tuhan sendirilah yang menggerakkan diri kita melalui cahaya yang ditiupkan pada ruh kita. adapun wilayah nafs yang diridai Tuhan ini meliputi : Tuhan, Nafs, dan Kesatuan ruh.

The Pure Nafs (Nafs Yang Suci)

Those few who have attained this level transcended the self entirely. There is no ego or self left, only onion with God. This is the state called, "to die before dying". Rumi describes God as the one who dissolves our separateness.

Dissolver of sugar, dissolves me,

If this is the time.

Do it gently with a toch of hand, or a look.

Every morning I wait at dawn. That's when it's happened before.

Or do it suddly like an execution. How else can I get ready for death?

You breathe without a body like a spark.

You grieve, and I begin to feel lighter.

You keep me away with your arm,

But the keeping away is pulling me in.

Sebagian orang yang mencapai tingkatan ini telah melampaui diri secara utuh dalam artian manusia paripurna. Tidak ada lagi ego ataupun diri, semuanya melebur, yang ada hanyalah kemanunggalan dengan Tuhan. Inilah kondisi di mana seseorang dikatakn "mati sebelum mati", sebab ia sudah melalui dan merasakan kematian dan kehidupan sejati karena mangunggal (menyatu dengan Tuhan). Dalam hal ini, Rumi menggambarkan Tuhan secara gamblang dalam puisinya sebagai yang melarutkan keterpisahan kita ke dalam kesatuan atau kemanunggalan.

"Pelarut Gula, melarutkan diriku,

Jika kini waktunya

Lakukanlah lembut dengan sentuhan tangan, ataupun pandangan.

Setiap pagi aku menuggu fajar, ketika ia muncul sebelumnya.

Atau lakukan segera bagaikan hukuman mati. Bagaimana lagiaku dapat menyiapkan diri untuk sebuah kematian?

Kau bernapas tanpa raga bagaikan hembusan.

Kau meratap, dan aku mulai merasa ringan.

Kau menghalau diriku dengan tanganmu,

Namun halauan tersebut menarikku ke dalam."

Dari untaian puisi Rumi di atas, kita bisa menagkap sarat makan disetiap baitnya, di mana Rumi menggambarkan Tuhan sebagai pelarut yang melarutkan diri kita dalam dekapan-Nya jika kita bisa melepaskan ego dalam diri kita. Namun, ketika ego masih melekat pada diri kita, Tuhan tidak akan bisa menyentuh dan masuk ke dalam diri kita, "setiap kali hamba meniada, maka Allah mengada, baginya. Sebaliknya, setiap kali hamba 'mengada' maka Allah 'meniada'". Dalam artian ini seolah-olah diantara ke hadirat penguasa yang Maha Arif dan Maha kuat pilihan paling terbaik adalah menyerahkan diri sepenuhnya secara total kepada sang penguasa dan mengabdikan dirimu sepenuhnya kepada Sang Khalik. Lebih lanjut, pada diagram nafs yang suci ini di dalamnya tidak ada lagi perasaan terpisah atau identitas terpisah. Tidak ada batas atau hijab antara diri dan Tuhan, karena sudah manunggal (menyatu) yang ada hanyalah posisi Tuhan.

 Itulah serangkaian potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia, harapan penulis para pembaca yang budiman khususnya penulis sendiri mudah-mudahan senantiasa terjaga dari segala keburukan yang datang dari nafs di dalam diri kita, sehingga kita selaku manusia sekalligus makhluk Tuhan senantiasa dekat dengan Pencipta kita agar dalam menjalani kehidupan lebih bermakna.

WaAllahu'alam bishoab...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun