Mohon tunggu...
Koalisi Pemuda Hijau Indonesia
Koalisi Pemuda Hijau Indonesia Mohon Tunggu... -

Mepersatukan generasi muda Indonesia untuk peduli dan tanggap demi terwujudnya lingkungan Indonesia yang lestari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Royalnya SOP Supermarket untuk Pemberian Kantong Plastik

7 Mei 2013   13:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:58 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita bernostalgia dan mengingat suasana kota kita sepuluh tahun yang lalu, dimana minimarket dan supermarket belum masuk ke pelosok kota kita sebagai bagian dari industri retail. Toko-toko kelontong juga kios jajanan adalah pemandangan yang lumrah kita jumpai di sekitaran trotoar atau di rumah penduduk di pinggir jalan. Seorang ibu akan duduk meluruskan kakinya di dalam kios kecil yang tak ubahnya gerobak berukuran hampir 1×1 meter, menunggu pembeli.

Berapa banyak kantung plastik yang kita dapat ketika membeli di kios dan warung semacam itu? Dan bandingkan dengan pengalaman berbelanja di supermarket 5 tahun ke belakang. Tidak bayak perbedaannya sebenarnya. Baru beberapa tahun ke belakang, nampaknya supermarket mempunyai aturan baru dalam melayani pelanggan.

Baru disadari beberapa tahun belakang ini ‘warung modern’ kita ini memberikan satu kantung plastik untuk kategori produk yang ‘harus dipisahkan’; produk toiletris, pembersih ruangan, produk yang mengandung kimia berbahaya seperti pembersih serangga, obat-obatan, makanan basah dan kering. Pertimbangan yang diberikan pihak operasional tentu saja dilakukan untuk kenyamanan masyarakat. Namun saya rasa, bukan untuk masyarakat dalam jangka panjang.

Milyaran kantung plastik didistribusikan kepada masyarakat perbulannya. Hitung saja jika kita masing-masing berbelanja keperluan satu bulan, berapa banyak kantung plastik yang akan diberikan supermarket sebagai bentuk pelayanan? Mungkin minimal 5 kantung kecil dan 1 kantung besar. Lalu kalikan dengan berapa banyak pengunjung supermarket per hari dan kalikan per bulan.

Lalu mari kita hitung kembali berapa yang kita simpan untuk digunakan kembali, atau langsung kita buang sesampainya di rumah? Dan kita bayangkan berapa banyak orang yang juga tidak menggunakan kantung tersebut kembali. Itulah jumlah kantung plastik yang terbuang dan besar diantaranya mengotori fasilitas publik.

Selangkah lebih maju, sebagian supermarket di Eropa dan Amerika Serikat telah melarang pemberian kantung plastik ‘ekstra’ bagi para pelanggan. Pernah saya alami sendiri, saya hanya diberikan satu kantung plastik besar dan jika saya membutuhkan tambahan, saya diminta membayar 1 euro atau dipersilahkan menggunakan kardus kecil bekas yang tersedia sebelum pintu keluar supermarket.

Tentu ada pro dan kontra ketika hal ini pertama kali diberlakukan. Dan karenanya telah dilakukan sosialisasi jangka panjang jauh sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, dan masih terdapat bulan kompensasi setelahnya.

Namun sebagian besar masyarakat mengerti, bahwa hal tersebut adalah untuk lingkungan. Dan dari segi psikologis, biaya tambahan kantung plastik menjadi  memiliki nilai lebih dalam masyarakat.

Mengapa hal ini masih belum terjadi di Indonesia?

1. Persaingan Produsen

Banyak artikel menyebutkan bahwa hal ini masih terganjal akibat adanya rasa persaingan antar produsen. Hal ini tidak dapat terjadi jika seluruh toserba belum mengadopsi hal yang sama. Dan terdapat ketakukan bahwa pelanggan yang tidak merasa nyaman akan beralih dengan mudah.

2. Plastik yang diberikan telah ramah lingkungan karena dapat terurai

Kita tentu masih mengingat penemuan kantung plastik yang bisa terurai dalam waktu 2 tahun, dimana kantung plastik pada umumnya membutuhkan 1000 tahun untuk terurai. Saat ini hampir seluruh toserba modern ini menggunkan jenis plastik yang telah dapat terurai. Hal ini tentu harus kita apresiasi. Namun SOP yang ada nyatanya belum menunjukan keseriusan perusahaan-perusahaan besar ini untuk bertanggung jawab atas aktifitas bisnis yang dijalankan, melainkan hanya keputusan populer semata.

3. Anggapan bahwa masyarakat belum siap

Masyarakat memang belum siap, namun bukan berarti kita akan menunggu masyarakat untuk siap. Sudah banyak organisasi dan komunitas peduli lingkungan yang akan siap membantu masyarakat untuk bergerak dan bersiap-siap. Lantas apakah kawan semua yang membaca artikel ini berani bergerak bersama untuk menjadikan kita bisa?

Pemerintah, produsen, dan perusahaan memiliki sistem gerak dan rantai peraturan yang panjang. Dan desakan serta sentilan kita adalah hal yang memacu perusahaan bergerak lebih cepat.

KOPHI dalam hal ini mengajak kita menjadi pelopor untuk berani menyadarkan perusahaan bahwa kita telah siap, atau setidaknya sebagian besar dari kita telah siap. Katakan tidak dan hentikan pemberian kantung plastik yang berlebihan.

Dalam gerakan jangka panjang, berapa banyak dari kita yang bersedia mengajukan permintaan kepada perusahaan untuk melayani kita lebih baik dengan juga melayani lingkungan dengan lebih bertanggung jawab? Perusahaan retail beroperasi dengan memperhatikan permintaan konsumen, seperti yang sering kita dengar dalam istilah kurva supply and demand. Lalu apakah masyarakat kompasiana masing-masing bersedia bergerak sebagai penentu kurva baru; meminta perusahaan lebih berhati-hati terhadap lingkungan dan ber-hati terhadap kelestarian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun