Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Roh Ekoteologis dan Ekokritis Santri

28 Oktober 2021   01:40 Diperbarui: 28 Oktober 2021   01:55 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pendaki menemui kibaran panji NU di puncak Pawitra Gunung Penanggungan itu bukan kebetulan semata. 

Kegagahan kibaran panji NU bersama kibaran Sang Saka Merah Putih di puncak tersebut erat kaitannya dengan peran aktif para santri di LPBI (Lembaga Penanggulanan Bencana Dan Perubahan Iklim) NU Mojokerto, dalam hal menjaga kelestarian dan konservasi alam di wilayah gunung yang berketinggian 1.653 meter dari permukaan laut tersebut.

Napas konservasi alam itu tidak hanya dimonopoli oleh para pecinta alam ataupun kelompok dan organisasi lingkungan hidup saja.

Nyatanya, para santri LPBI NU Mojokerto, dengan basis warna bendera hijaunya sudah mampu memberikan teladan peran santri dalam mewujudkan ekologi lingkungan hijau di samping peran lainnya sebagai rescuer tanggap darurat kebencanaan. 

Mereka juga adalah para pejuang fiqih al bi’ah yang terus berusaha menempatkan wacana lingkungan hidup beserta ekosistemnya sebagai sebuah ushul dan bukan lagi sebagai furu’. 

Memupuk ekologi menjadi ekoteologi maksudnya adalah usaha keras yang berakar dari permasalahan tentang lingkungan hidup beserta perlindungannya yang nyatanya tidak akan bisa atau sulit diselesaikan hanya dengan mengandalkan pengetahuan dan teknologi saja. 

Perlu tambahan solusi taktis seperti merubah secara arif, bijaksana, mendasar dan bertahap cara pandang dan perilaku manusia bertuhan terhadap alam lingkungannya.

Sasarannya bukan lagi hanya orang perorang, namun harus menjadi budaya dan kebiasaan masyarakat secara luas.

Bidikan pertama dari para santri LPBI NU Mojokerto, adalah mereka para pendaki gunung yang secara psikologis sangat dekat dengan alam.

Komunitas pecinta alam dan pendaki gunung tidak bisa diremehkan begitu saja pengaruhnya dalam mewujudkan ekoteologi yang berbasis ekokritisme.

Mereka adalah variabel dengan jumlah yang cukup besar dalam eksponen para pelaku pelestarian alam. 

Melihat peluang variabel tersebut, maka dengan sigap dijadikanlah hal tersebut sebagai bidikan pertama oleh LPBI NU Mojokerto, dalam hal mendukung tugas mulia mereka, yaitu mengawal fiqh al bi’ah di area Gunung Penanggungan.

Sudah saatnya mereka terus bergotong-royong memberi perhatian yang lebih serius terhadap dampak kerusakan ekologi beserta ekositemnya. 

Janganlah lagi hal ini dipandang sebelah mata serta hanya sebatas wacana saja. Jika tidak bergerak serempak tunggu saja kehancuran lingkungan hidup ini.

Para santri di LPBI NU Mojokerto, juga siap menghadapi trending topic lonjakan jumlah pendakian Gunung Penanggungan belakangan ini. 

Animo masyarakat tersebut menempati rating tinggi unggahan media sosial dengan kecenderungan terprovokasi oleh nafsu swafoto ala instagrammable.

Hal ini memicuh makin luasnya paparan informasi tentang keindahan puncak Pawitra Gunung Penanggungan. 

Tentunya pula ia akan berdampak buruk juga terhadap kelestarian alam gunung Penanggungan dengan naiknya intensitas pendakian yang tidak bertanggungjawab. 

Belum lagi para pelangggar intruduksi kawasan konservasi makin memperburuk kerusakan hutan. 

Di sinilah diperlukan roh-roh santri yang sabar, telaten serta ulet dalam wujud kiprah santri di tubuh LPBI NU Mojokerto.

Mereka siap berperan dalam hal menanggulangi tindakan yang mengarah ke extraordinary crime berupa perusakan lingkungan atau pelanggaran wilayah konservasi lainnya. 

Kegiatan reboisasi tanaman endemik vegetasi Gunung Penanggungan juga sudah digalakkan. 

Para santri di LPBU NU Mojokerto, juga turut aktif dalam operasi pemadaman kebakaran hutan di Gunung Penanggungan serta gunung-gunung disekitarnya, seperti Gunung Arjuno dan Welirang.

Hal signifikan lainnya yang terlihat dari dampak pendakian massal adalah peran potensi SAR dari para santri rescuer LPBI NU Mojokerto, yang siap memberikan pertolongan terhadap korban-korban pendakian yang frekuensinya makin meningkat di Gunung Penanggungan. 

Para rescuer siaga 24 jam di pos loket masuk pendakaian gunung Penanggungan pintu Tamiajeng, Trawas, Mojokerto. 

Kesiagaan ini termasuk barang langka, sebab sepengetahuan penulis bahwa di pintu-pintu masuk pendakian gunung-gunung lainnya tim SAR lokal hanya datang jika diperlukan. 

Beda dengan para rescuer LPBI NU Mojokerto, yang selaau standby di pos lapor pintu masuk pendakian.

Dengan amanah khulliyat al khoms serta kecerdasan ekologi, para santri di LPBI NU Mojokerto, percaya diri untuk terus berjuang di medan jihad pelestarian alam.

Mereka tak sebatas teoritis yang muluk-muluk membahas ekologi, namun langsung praktek di lapangan untuk memberi contoh teladan yang terbaik. 

Ruh konservasi alam skala ringan dalam fiqh al bi’ah sebenarnya sudah sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Khususnya yang langsung terkait dengan ibadah dan masalah fiqih jinayah seperti dilarangnya buang air kecil atau kencing di lubang serta pada air yang tergenang ataupun menebang pohon sembarangan di wilayah Haram.

Namun untuk skala besar harus melibatkan sebuah lembaga dan kekuatan terpadu dalam menjalankan amanah fiqih al bi’ah lainnya seperti usaha reboisasi dan pencegahan pembalakan liar, illegal logging.

Sejak 2014 lalu LPBI NU Mojokerto, sudah mampu mendistribusikan air di Desa Kunjorowesi, sebuah wilayah terjal nan sulit ditembus. 

Perlu keuletan dan spirit perjuangan khas santri untuk menembusnya. 

Desa Kunjorowesi merupakan desa tertinggi di lereng Penanggungan. 

Kerusakan lingkungan di Desa Kunjorowesi sebagian disebabkan oleh aktifitas penebangan pohon dan pengambilan pasir, batu tanah untuk kepentingan korporasi yang membuat desa-desa lereng Gunung Penanggungan sering mengalami kekeringan. 

Bukan hanya sektor lereng, area puncak tinggi seperti puncak Pawitra juga mendapat perhatian LPBI NU Mojokerto, khususnya menjamin tetap terpasangnya bendera NU di puncak gunung legendaris tersebut bersama Kibaran Sang Saka Merah Putih. 

Termasuk upacara penaikan Sang Saka Merah Putih yang rutin digelar setiap tanggal 17 Agustus. 

Selain pengecekan bendera hal tak kalah penting lainnya adalah pengawasan atas kewajibkan para pendaki untuk membawa turun sampahnya dengan cara persuasif seperti disediakan kantong-kantong plastik jumbo secara gratis untuk tempat sampah serta pemberian stiker gratis bagi yang membawa turun sampahnya. 

Pemasangan baliho dan spanduk pro lingkungan juga dilakukan untuk memberikan semangat pelestarian lingkungan. 

Cara ini layak mendapat apresiasi dan harus dikampanyekan ke semua pintu-pintu masuk pendakian gunung-gunung di Indonesia yang sepengetahuan penulis tidak ada yang seperti itu. Bravo santri LPBI NU !

Tidak hanya berhenti disitu, sampah-sampah yang terkumpul dikelolah oleh LPBI NU Mojokerto, dalam bentuk program BSN (Bank Sampah Nasional).

Data statistik menunjukkan bahwa BSN Mojokerto, yang digagas oleh LPBI NU Mojokerto, sudah memiliki lebih dari banyak nasabah sampah.

Terobosan ini juga merupakan salah satu bukti bahwa para santri di LPBI NU Mojokerto, telah berperan aktif dalam isu lingkungan dan perubahan iklim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun