Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Arunika Bergelung Ekopuisi

20 Oktober 2021   00:45 Diperbarui: 20 Oktober 2021   00:55 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin saja saya tidak perlu membaca puisi untuk membayangkan seperti apa perubahan iklim. Bisa jadi saya cukup hanya menelan warta jagat raya yang disiarkan itu.

Namun, saya tak bisa pungkiri bahwa membaca puisi tentang buana yang sudah memanas ini, membuatnya terasa lebih nyata sekali di depan pelupuk mata.

Saya seperti merasakan pantat panci hangat dari lamanya pisah dengan api. Rasa hangat itu terbawa tidur, mengalahkan segala mimpi asmaraloka.

Penyair terkadang mendahului silogisme kaku ilmuwan dengan kecepatan perasaan halusnya yang bak bulu perawan itu.

Kadang juga penyair menjura sesenggukan membayangkan seperti apa buana tua ini memanas terpanggang gas rumah kaca yang sudah melesat ambang batasnya.

Pilunya sungguh menampar segala spekulasi hitungan matematis, menyentuh hingga pangkal perasaan adiwarna batin.

Hingga lahirlah penyair-penyair ekopuisi yang berusaha membujuk kesadaran manusia untuk berlingkungan hidup dengan baik melalui ekspresi sastranya.

Tak cukup sekedar mengetahui informasi ini dan itu dalam sebuah warta lingkungan. Namun yang dibutuhkan adalah mencercapnya kuat-kuat.

Dari hanya sekedar tahu hingga dapat merasakan eleginya, itulah tugas ekopuisi dalam andilnya untuk jejak karbon.

Itu juga yang diminta oleh para aktivis gerakan lingkungan untuk para penyair: bantu kami untuk dirasakan, bantu kami untuk dibayangkan, bantu kami untuk direnungkan dengan kekuatan ekopuisi kalian.

Sepertinya jejak karbon tidak saja cukup digembala dengan perbaikan fisik, tetapi juga penyadaran jiwa berlingkungan. Bahkan hal ini seharusnya sudah tertanam sejak usia dini.

Gagasan ekopuisi menggambarkan tradisi ekologi romantis yang mengakar di tahun 1980-an untuk merespon masalah lingkungan yang mulai kompleks di tahun 2000-an.

Narasi dan ekspresi jiwa menyayat atmosfer itu hanya bisa lahir ketika penyair sudah merasakan terlebih dahulu. Menempatkan badan-badan mereka di depan sebagai bantalan resistansi untuk mengawal alam raya.

Mereka tak lekang nenggoreskan rima-rima euonia tentang mati surinya bunga bakung di tepi sungai yang airnya sudah mabuk polutan. 

Mereka juga tak akan berhenti merumpang kata tentang tanah yang terusik masa bercintanya dengan akar pohon yang setia memeluknya itu.

Semua kepedihan ekologis penyair itu adalah konsekuensi yang logis. Hingga akhirnya keras membatu menjadi sebuah ideologi. Saya pun juga rasakan itu. Terutama ketika isu lingkungan mencuat. Siap sediakan untuk bersilat rima.

Sama halnya dengan munculnya berbagai ideologi politik, ideologi ekonomi di dunia, ekopuisi juga mampu memasuki wilayah ideologi kesastraan. Menggilasnya berarti puputan.

Ekopuisi menyapa manusia tentang persepsi dan konsep alam yang berimbang dalam teks sastra. Ia adalah bagian dari ekokritik yang tidak saja monoton dipenuhi esai-esai kaku keras melawan.

Karakter ekopuisi dengan konten-konten ekologis kuat itu akhirnya menjadi pusat wacana puitis kontemporer. Hingga akhirnya banyak antologi ekopuisi yang bermunculan.

Seperti: Wild Reckoning (2004), The Thunder Mutters: 101 Poems for the Planet(2005), Redstart: An Ecological Poetics(2012), dan  Earth Shattering: Ecopoems(2007).

Tak kalah juga di dalam negeri, kemunculannya mengimbangi duka-duka ekologis anak negeri.

Semisal karya ekopuisi bertema Meratus yang ditulis oleh Micky Hidayat, penyair Kalimantan Selatan yang berjudul "Suara dari Meratus" dan "Amuk Meratus".

Baginya, Meratus adalah representasi alam yang menjerit yang perlu diselamatkan dari kepunahan. Meratus adalah penangkap jejak karbon raksasa di dunia yang kini sedang menjerit terjepit.

Anak Banua tentunya yang pertama merasakan pilu ekologis Meratus itu. Jauh lebih cemerlang mendahului psikologis percintaan apapun.

Hutan adalah tempat mainnya, tempat mendulang kata-kata indah. Mereka yakin bahwa ekopuisi itu seperti kata partikel "pun", yang tidak memiliki arti leksikal namun memiliki arti gramatikal.

Arti gramatikalnya bisa menyayat atmosfer kalbu. Oleh karenanya, saya pun optimis menulis tentang itu seperti pada karya saya, The Air We Breathe dan Sardula Javan Leopard sebagai dukungan kepedulian duka ekologis seperti tema net zero emissions.

Menulis sentakan-sentakan jiwa dari pengalaman sehari-hari, tentang apa yang berubah di lingkungan sekitar adalah sebuah andil juga.

Pengalaman dapat membantu memahami dunia dari sudut pandang tersendiri, seperti halnya penyair ekopuisi yang dapat ciptakan pengalaman lebihnya pada sajak-sajaknya.

Salah satu karakteristik utama ekopuisi yang khas seperti yang didefinisikan oleh James Engelhardt:  bahwa ia terhubung dengan dunia dengan cara yang menyiratkan tanggung jawab. Ekopuisi dikelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang etika.

Kabarkan kepada gas-gas rumah kaca yang dulunya cukup menghangatkan buana bak pantat panci, kini telah mendidih jerang.

Kabarkan kepada nitrogen dioksida, karbon dioksida, metana dan freon yang dulu menghangatkan, kini telah mengambang batas.

Wahai yang memanas, kami ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun