Semisal karya ekopuisi bertema Meratus yang ditulis oleh Micky Hidayat, penyair Kalimantan Selatan yang berjudul "Suara dari Meratus" dan "Amuk Meratus".
Baginya, Meratus adalah representasi alam yang menjerit yang perlu diselamatkan dari kepunahan. Meratus adalah penangkap jejak karbon raksasa di dunia yang kini sedang menjerit terjepit.
Anak Banua tentunya yang pertama merasakan pilu ekologis Meratus itu. Jauh lebih cemerlang mendahului psikologis percintaan apapun.
Hutan adalah tempat mainnya, tempat mendulang kata-kata indah. Mereka yakin bahwa ekopuisi itu seperti kata partikel "pun", yang tidak memiliki arti leksikal namun memiliki arti gramatikal.
Arti gramatikalnya bisa menyayat atmosfer kalbu. Oleh karenanya, saya pun optimis menulis tentang itu seperti pada karya saya, The Air We Breathe dan Sardula Javan Leopard sebagai dukungan kepedulian duka ekologis seperti tema net zero emissions.
Menulis sentakan-sentakan jiwa dari pengalaman sehari-hari, tentang apa yang berubah di lingkungan sekitar adalah sebuah andil juga.
Pengalaman dapat membantu memahami dunia dari sudut pandang tersendiri, seperti halnya penyair ekopuisi yang dapat ciptakan pengalaman lebihnya pada sajak-sajaknya.
Salah satu karakteristik utama ekopuisi yang khas seperti yang didefinisikan oleh James Engelhardt: Â bahwa ia terhubung dengan dunia dengan cara yang menyiratkan tanggung jawab. Ekopuisi dikelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang etika.
Kabarkan kepada gas-gas rumah kaca yang dulunya cukup menghangatkan buana bak pantat panci, kini telah mendidih jerang.
Kabarkan kepada nitrogen dioksida, karbon dioksida, metana dan freon yang dulu menghangatkan, kini telah mengambang batas.
Wahai yang memanas, kami ada.