Ketika saya membuka tutup botol yang masih 'plastik' dan kemudian meneguknya tanpa 'gelas plastik' di saat rehat pendakian--itulah rasa surga dunia.
Kesegaran airnya begitu membasah dahaga yang mengering.Â
Tanpa basa-basi untuk berpikir panjang lagi tentang dari mana air itu didapat, diproduksi, serta seberapa panjang jejak karbon yang dihasilkan dari rantai produksinya?
Atau tanpa perlu berpanjang lebar untuk menyelidiki seberapa berhasil daur ulangnya. Ya, saya berpikir positif saja.
Cukuplah mata ini memandangi simbol "recycle" di botol yang sahih digaransi oleh RPET (Recycle-Polietilena tereftala).Â
Semoga saja jejak karbonnya tak terlalu panjang di level daur ulangnya.Â
Entah itu apa namanya, 'pellet plastik', yang makin mahal harganya di pasaran.
Sepertinya itu menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan untuk mengurangi sampah plastik.Â
Namun, di sisi lain juga menghasilkan jejak karbon dari rantai produksi daur ulang pirolis plastik dan destilasinya. Lingkaran setan yang tiada habis.
Terus bagaimana lagi tentang tempat air plastik yang saya genggam ini? Apa mau beralih tempat air dari tembikar ala pendekar mabuk itu?Â