Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Nature

Berbagi Emisi via Pasar Karbon?

9 Oktober 2021   02:20 Diperbarui: 9 Oktober 2021   02:21 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika makan siang tiba, saat perut menerima haknya dengan riang gembira, tak terasa kita telah meninggalkan jejak-jejak karbon.

Proses hadirnya sepiring nasi berisi rendang daging yang lezat dan berminyak gurih beserta sayurannya itu menghasilkan jejak karbon yang cukup besar.

Rantai proses produksi sepiring nasi berlauk dan bersayur hingga siap saji di atas meja serta pengolahan limbah organiknya, tak terasa berdampak besar terhadap lingkungan.

Itu sebagian kecil kisah jejak karbon yang selalu mememani perjalanan hidup manusia dan peradabannya.

Sebijak-bijaknya manusia dalam menempatkan diri dan berperilaku di alam pasti menghasilkan karbon sebagai residu logis sebuah gerak dan napas kehidupan.

Jejak karbon yang dihasilkan pada sistem rantai makanan diperkirakan telah menyumbang emisi gas rumah kaca hingga 30% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Besar, kan?

Jumlah tersebut setara dengan melepaskan gas karbon dioksida sebanyak 9,800 – 16,900 Megaton di udara.

Nah, di sinilah kemampuan manusia diuji untuk mengurangi residu logis dari jejak karbon yang susah dihindari sepenuhnya tersebut.

Kebijakan pembangunan rendah karbon pun mulai diterapkan di berbagai sektor-sektor besar hingga lini kehidupan yang terkecil sekalipun.

Mulai dari reduksi intensitas energi, pengembangan energi baru rendah emisi karbon, efisiensi kerja hingga upaya pengembangan kendaraan bermotor non-bahan bakar fosil.

Usaha tersebut beragam sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi dan tingkat wawasan dan kesadaran berlingkungan.. 

Semua berupaya, dari cara yang tegas konvensional hingga yang halus bervisi pasar.

Yang terakhir menarik, bervisi pasar, berupa kreativitas berbagi jejak karbon dengan menerbitkan carbon credit dalam sebuah visi pasar yang disebut pasar karbon (carbon trading).

Perdagangan karbon muncul sebagai salah satu bentuk disrupsi cara tegas konvensional dalam mengurangi jejak karbon selama ini.

Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat jejak karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon).

Sederhana, ini merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli adalah pihak yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang ditetapkan. 

Mekanisme carbon trading telah menjadi solusi alternatif dan inklusif di beberapa negara dalam mengurangi emisi karbon.

Dan tentunya yang akan mendapatkan kompensasi ini adalah negara yang mempunyai cakupan hutan besar sebagai paru-paru dunia. Termasuk Indonesia.

Kredit karbon (carbon credit) ini merupakan bentuk representasi positif dari sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca produksinya.

Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2). Cukup besar, bukan?

Perdagangan karbon bisa membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030. 

Ini sejalan dengan targetnya untuk mencapai Net-Zero Emissions (NZE) selambat-lambatnya tahun 2060. 

Bagaimana saya berperan dalam model pengurangan emisi karbon yang unik ini?

Oleh karena saya tak punya perusahaan yang siap membeli kredit karbon tersebut, maka perannya pada tataran tertentu saja.

Seperti dengan cara memperkenalkan cara unik ini kepada khalayak. 

Atau upaya lainnya untuk tetap bisa berperan, seperti mengikuti dan bergabung dengan program-program turunan dari pasar karbon mereka yang sudah kredibel.

Seperti Proyek Katingan Mentaya yang sudah bergelut dengan kredit karbon di lahan gambut, hutan kayu dan konservasi orangutan di Kalimantan.

Program terbesarnya, mereka sudah mampu menghasilkan rata-rata 7,5 juta kredit karbon bersertifikat; setara dengan mengambil jejak karbon 2.000.000 mobil dari jalanan setiap tahunnya! 

Salah satu program sederhana turunannya yang pernah saya ikuti seperti donasi pohon untuk daerah yang terancam konversi menjadi perkebunan akasia industri. 

Lahan-lahan tersebut terancam. Jika terjadi akan mengakibatkan pelepasan jejak karbon besar-besaran melalui pembakaran hutan, pengeringan dan pembakaran gambut di bawahnya.

Dalam kemitraan dengan masyarakat lokal, mereka memanfaatkan pendapatan karbon untuk dapat memastikan terjaganya restorasi dan perlindungan hutan alam.

Menurut saya, ini adalahi cara inklusif yang bijak sekali dalam menopang perekonomian setempat.

Hal ini sejalan dengan tujuan, Net Zero Emission, yaitu memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi melalui peningkatan income per kapita dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal.

Jika Anda tertarik, dengan sukarela lakukan sesuai kemampuan untuk berbagi emisi karbon lewat program-program yang mendukung pasar karbon di Indonesia. 

Mulai dari membeli kredit karbon, donasi tanaman, sosialisasi program pasar karbon, hingga apapun tanpa paksaan yang bisa kita sumbangkan sukarela untuk mereduksi jejak karbon bumi kita yang tercinta ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun