"Tidak ada paksaan dalam agama, karena sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."Â (Al Baqarah 256).
Ada pembatas ekstrem yang diwakili oleh "laa nafi' lil jinsi" (pembatas total) pada lafaz "Laa ikrooha fiddiin". Artinya benar-benar 100% tidak boleh ada paksaan.
Kemudian dikuatkan lagi dengan lafaz "qod" yang bertemu dengan fi'il madhi hingga berfungsi sebagai tahqiq (bermakna benar-benar/sungguh) untuk menguatkan negasi total pada lafaz "laa ikrooha fiddin".
Dengan begitu, seharusnya sadar, bahwa adanya perbedaan agama dan firqoh adalah tanggungjawab moral pribadi masing-masing yang telah menentukan pilihannya sendiri. Bukan untuk dipertentangkan.
Legawa saat melihat kelompok Sunni yang lahir dari lingkungan dan rahim assabiqunal awwalun yang tenang. Legawa saat melihat kelompok Syiah yang lahir dari lingkungan dan keadaan politik yang anarkis legalis pada waktu itu. Legawa melihat Khawarij yang lahir dari lingkungan yang kepastian hukumnya tidak tangguh pada saat itu. Legawa melihat Mu'tazilah yang lahir dari lingkungan perkembangan ilmu kalam yang pesat.
Jika semua legawa, maka lingkungan yang menjadi roh masing masing firqoh atau kelompok, akan berjalan damai dan beriringan.Â
Toleransi yang dibangun oleh spirit rabbaniyah (ketuhanan) dengan sifat kasih sayangnya diajarkan sejak dulu era sahabat. Seperti peristiwa ketika Umar bin Khattab mengikat dan menyeret Hisyam bin Hakim karena membaca surah Al -Furqon dengan gaya dan logat kedaerahan yang agak asing di telinga Umar bin Khattab, maka Rasulullah Saw menyelesaikan dengan jawaban yang sangat menjunjung tinggi toleransi kearifan lokal yang ada:"Demikian surah itu diturunkan". Beliau melanjutkan, "Al-Qur'an itu diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh logat) karena itu mana yang mudah bagimu dari Al-Qur'an".
Kalau kita keras hati tanpa ada pendahuluan ilmu, hanya mengandalkan katanya ini dan katanya itu, bisa-bisa langsung memenggal kepala siapa saja yang berbeda dengan kita.
Itulah sebagian nilai rabbaniyah dan rahbaniyah yang diajarkan oleh Ramadan Karim. Sebagai penutup inilah sebuah puisiku tentang toleransi.
Masih kuat bergenggam, selalu tengok pijakan, dari ulur tali ini, bihablillaahi jami'ah.
Masih bisep kuat bertopang, selalu mendongak dan adakah retak cadas?
Tuk sekedar bergantung, sesama hal beri salah, selalu tengok hujjah dari laga aqidah.