Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Waspadai Tanda Perang Asimetris

18 April 2020   18:44 Diperbarui: 18 April 2020   18:48 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ancaman kestabilan keamanan negara tidak hanya didominasi oleh kekuatan militer lain, tapi bisa juga dipantik oleh kekuatan non-state actors. Kekuatan ini tidak hanya menyerang instansi militer melainkan juga mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa.

Dalam pengertian tradisional dalam studi Hubungan Internasional, negara adalah aktor utama memainkan peran sentral dalam mempengaruhi dinamika politik nasional dan internasional.

Namun, dengan adanya tambahan eksponen yang berupa peran aktor non-negara (non-state actors) seperti perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah (LSM), masyarakat sipil, dan individu, maka semakin menunjukkan signifikansi dan level ancaman dan gangguan.

Interaksi antara aktor-aktor non-negara (non-state actors) itu kemudian dikenal sebagai hubungan transnasional dalam sebuah trans-nasionalisme yang dapat mempengaruhi konstelasi politik global.

Aktor-aktor ini memberikan acaman dalam negeri yang bisa saja berupa dukungan global terhadap regulasi atau undang-undang yang lebih menguntungkan dan mengikuti kemauan internasional. Di mana regulasi dan undang-undang itu tidak lagi mendukung akomodasi dan kebutuhan bangsa dan negara.

Akhirnya untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah lewat TNI membentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus). Peristiwa ini menandai naiknya tingkat kewaspadaan pemerintah terhadap terhadap aktivitas non-state actors yang melancarkan perang asimetris.

Atas dasar pertimbangan ancaman dan perlunya meningkatkan kewaspadaan tersebut, maka pada 3 Juli 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Ini adalah payung hukum yang mendukung Koopssus untuk menghadapi aktivitas non-state actors.

Komposisi Koopssus TNI ini berasal dari matra darat, laut, dan udara. Koopssus terdiri atas pasukan elite yang dibentuk untuk tugas penanggulangan khusus dari ketiga matra yang memiliki kualifikasi melakukan berbagai jenis operasi taksis tingkat tinggi. Pasukan Koopssus beranggotakan inti satu kompi, sedangkan dengan seluruh pendukung, termasuk intelijen berjumlah 400 orang.

Apakah itu perang asimetris? Sehingga diperlukan sebuah Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI untuk menghadapi aktivitas non-state actors ini?

Sebelumnya TNI pernah memiliki model serupa untuk menghadapai ganguan terorisme dengan nama Koopssusgab TNI yang dibentuk oleh Moeldoko selaku Panglima TNI pada 2015. Tim ini merupakan gabungan pasukan elite dari tiga matra TNI, yakni Sat-81 milik TNI AD, Denjaka milik TNI AL, dan Satbravo-90 dari TNI AU.

Kemudian ditingkatkan menjadi Koopssus yang merupakan jenis komando operasi berkecepatan tinggi dan mempunyai nilai keberhasilan tinggi guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam maupun di luar wilayah NKRI.

Terrmasuk pla dalam perang asimetris yang salah satunya dilancarkan oleh oleh kelompok non-state actors yang bisa berupa terorisme atau bentuk lainnya.

Kontra-terorisme sudah masuk kategori operasi militer non-perang. Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Pertahanan dan Keamanan pernah mengadakan loka karya berjudul, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (asymmetric Warfare), di Jakarta pada 2008 lalu.

Menurut Dewan riset nasional (DRN), perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).

Dinamika ancaman asimetris yang terus berkembang, khususnya terorisme global, menuntut kesiapan TNI untuk dapat mengatasinya dengan presisi yang tinggi.

Ancaman non-state actors saat ini tampil dalam berbagai bentuk, seperti terorisme, gerakan separatis bersenjata (insurgency), dan ancaman melalui dunia maya (cyber-crime). Bentuk-bentuk ancaman non-konvensional inilah yang disebut dengan asymmetric warfare atau perang asimetris.

Aktivitas non-state actors selain terorisme dan perang melalui dunia maya, juga termasuk dalam ancaman jenis ini adalah perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), penyelundupan, pencurian kekayaan laut, imigran gelap. Jenis ancaman seperti ini juga dapat mengganggu kestabilan keamanan dan kedaulatan nasional.

Perang informasi juga telah dirancang sedemikian rupa untuk memengaruhi dan mendapatkan keunggulan melalui penguasaan propaganda, penguasaan terhadap konten berbasis digital, bahkan sampai menguasai sistem siber atau yang kita kenal dengan istilah cyberwar.

Khusunya yang berhubungan dengan dunia siber, langkah yang paling ideal dan awal adalah dengan menerapkan electronics defense system atau e-defense berbasis Geographical Information System (GIS) pada postur pertahanan TNI.

Aplikasi pada GIS sangat membantu untuk melakukan analisis dalam operasional, perawatan, dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Saat ini, aplikasi GIS khusus untuk pertahanan sudah tersedia dan mudah didapatkan.

ESRI (Environmental System Research Institute) sudah mengeluarkan salah satu solusi informasi spasial dalam bidang pertahanan yaitu arc-GIS military tool. Aplikasi tersebut merupakan ekstensi dari ArcGIS yang berguna untuk melakukan pengamatan dan analisis data militer.

ESRI (Environmental System Research Institute) yang berpusat di Redlands, California, adalah salah satu perusahaan yang mapan dalam pengembangan perangkat lunak untuk GIS. Dan mungkin juga bisa menjadi ancaman non-state actors bagi konsumennya karena faktor penguasaan teknologi siber mereka.

E-defense merupakan penggabungan seluruh komponen sistem pertahanan negara yang terintegrasi dalam suatu sistem teknologi informasi. Peran e-defense akan sangat membantu pihak terkait untuk mengkaji secara komprehensif tentang postur pertahanan dan upaya modernisasi pertahanan (arms build-up).

Itulah kesiapan pemerintah dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap perang asimetris yang dilancarkan oleh non-state actors.

Referensi: UGM, Setkab, CNN, War on The Rocks

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun