Beberapa bulan lalu banyak masyarakat yang mengeluh karena tagihan listriknya tiba-tiba meningkat tajam akibat efek dari pandemik. Sebagian besar aktivitas yang biasanya dilakukan di luar rumah, tiba-tiba harus menjadi aktivitas rumahan.Â
Diduga hal ini mengakibatkan peningkatan penggunaan peralatan listrik rumah tangga, dan sekaligus meningkatnya aktivitas "vampir" energi dari peralatan listrik rumah tangga.Â
Masyarakat yang awalnya menyalahkan PLN, tiba-tiba berbalik menjadi pihak yang bersalah, karena tidak mampu mengendalikan penggunaan listrik dan "kebocoran" listrik mereka.Â
Dan seperti yang sudah-sudah, semakin gencar pula himbauan untuk masyarakat agar bergaya hidup hemat energi. Efektifkah cara ini? Jawabannya ada pada pengalaman masing-masing.
Bagi saya, kejadian ini hanyalah salah satu indikasi adanya masalah pada mekanisme pasar energi. Anak teknik pasti memahami ungkapan "You can't control what you can't measure". Kita tidak bisa mengendalikan sesuatu yang tidak dapat diukur.Â
Terkait dengan konsumsi energi, entah apa yang otoritas harapkan saat menghimbau masyarakat awam untuk melakukan diet konsumsi listrik. Satu-satunya ukuran yang terlihat adalah tagihan listrik sebagai indikator jumlah listrik yang ditransmisikan ke rumah tangga tersebut.Â
Ditransmisikan ke peralatan mana saja? Pada saat apa? Berapa jumlah yang ditransmisikan? Tidak ada yang mengetahui. Lalu bagaimana bisa mendeteksi adanya kebocoran listrik? Atau bagaimana untuk mengetahui konsumsi pada peralatan apa yang harus kurangi?Â
Kalau dikurangi, bagaimana pengaruhnya pada kualitas hidup dan produktifitas? Jika hal-hal seperti ini tidak mudah dicerna oleh masyarakat, lalu bagaimana harus "diet listrik"?
Mengapa konsumen rumah tangga kesulitan untuk diet listrik?
Karena listrik merupakan permintaan turunan. Kebutuhan terhadap listrik timbul dari kebutuhan terhadap penerangan (dengan lampu), pengawetan makanan (dengan kulkas), pengkondisi ruangan agar nyaman (dengan AC atau kipas angin), atau pakaian yang bersih (dengan mesin cuci).Â
Listrik bukan kebutuhan utama, dan siapapun pasti lebih suka jika bisa membeli listrik dengan harga murah. Tidak seperti produk lainnya, dimana orang bersedia bayar lebih mahal karena merk atau selera.
Ibaratnya, saat kita ingin makan kue yang lezat, tapi justru pasar menyediakan peralatan dan bahan memanggang, seperti mixer, tepung dan telur. Jika permintaan terhadap kue adalah permintaan terhadap penerangan, maka mixer adalah lampunya, dan tepung adalah listriknya.Â
Mekanisme pasar energi saat ini meminta konsumen untuk meracik dan memanggang sendiri kuenya. Dalam hal membuat kue, syukurlah sudah banyak resep yang tersedia, yang mencantumkan informasi tentang jenis bahan, takaran terbaik dan temperatur udara yang dibutuhkan untuk membuat kue yang lezat.Â
Namun bahkan dengan adanya resep tersebut, masih saja ada tepung yang tercecer, dan masih banyak orang yang gagal membuat kue yang seperti diharapkan. Untungnya di pasar kue banyak penjual kue di pasar untuk memenuhi permintaan konsumen terhadap kue lezat.
Tapi tidak demikian dengan pasar energi. Masyarakat awam tidak memiliki kapasitas untuk memilih alat elektronik yang efisien, tidak memiliki pengetahuan memadai tentang cara mengoperasikan peralatan agar listrik yang dikonsumsi optimal dan tidak tahu cara mendapatkan hasil yang diinginkan.Â
Tidak ada resep yang tersedia bagi masyarakat awam untuk menghasilkan penerangan yang nyaman untuk membaca, untuk tidur, untuk ruang keluarga.Â
Tidak ada resep terbaik bagi keluarga, untuk mengoperasikan kipas angin agar tidak masuk angin, tapi ruangan tetap sejuk. Tidak ada satupun.Â
Dengan keadaan yang demikian, bagaimana mungkin meminta konsumen untuk melakukan pengendalian konsumsi listrik? Takarannya saja tidak jelas.
Selain itu, kita bisa saja mengendalikan diri untuk makan kue, karena kita bisa memperkirakan efek kenyang atau jumlah kalori dari makan 2 atau 3 buah kue. Kita juga bisa melihat dengan jelas, berapa kue yang sudah dimakan, dan berapa kue yang hilang, untuk dijadikan acuan mengatur konsumsi kue dan mencegah kehilangan di masa yang akan datang.Â
Tapi dalam hal listrik, semua itu tidak tampak. Tidak ada efek yang mirip dengan rasa kenyang setelah mengkonsumsi listrik, dan kehilangan listrik rasanya seperti tidak kehilangan apapun. Lalu, bagaimana mungkin masyarakat awam mampu mengendalikan konsumsi listrik?
Bagaimana dengan edukasi untuk diet listrik?
Banyak studi psikologi yang menunjukkan bahwa secara umum, seringkali timbul gap antara kesadaran, pengetahuan dan perilaku. Termasuk dalam 'perilaku hijau'. Memiliki pengetahuan tentang vampir energi tidak akan selalu diikuti dengan perilaku hemat energi. Memiliki kesadaran tentang dampak lingkungan dari konsumsi listrik berbahan bakar fossil tidak akan selalu diikuti dengan keputusan untuk membeli AC hemat energi .
Tentu saja tidak dapat dipungkiri, bahwa edukasi memiliki peran dalam usaha meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hemat energi. Tapi patut dicatat, bahwa peningkatan efisiensi energi yang signifikan di sektor rumah tangga yang telah dicapai selama ini adalah kontribusi dari inovasi yang dilakukan oleh produsen peralatan elektronik. Bukan dari perubahan perilaku masyarakat sebagai konsumen energi.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa edukasi untuk diet listrik akan sangat sulit dilakukan. Mengubah perilaku masyarakat merupakan tantangan yang besar. Ditambah lagi, jika dampak dari perubahan perilaku tidak dapat dirasakan oleh pelakunya.
Pencerahan bagi rumah tangga konsumen listrik
Saat ini, mekanisme pasar energi untuk rumah tangga sungguh merugikan konsumen. Masyarakat diminta untuk membayar listrik yang bahkan bukan kebutuhan utama dengan harga yang tidak murah. Ditambah lagi konsumen harus menanggung biaya kebocoran dari peralatan elektronik yang tidak digunakan.Â
Bayangkan! Listrik. Bukan kebutuhan utama. Mahal. Dan masih harus membayar untuk kebocoran yang tidak kita konsumsi. Jadi begini rasanya jadi konsumen listrik. Pedih, luka, tapi tak berdarah....
Dan untuk itu, sangat penting kiranya untuk mendesain ulang mekanisme pasar energi, bukan hanya untuk konsumen, namun juga untuk keuntungan produsen dan perusahaan listrik.
Di tulisan selanjutnya, akan dijelaskan mengapa mekanisme pasar saat ini juga merugikan produsen.
Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari pemikiran untuk mendesain ulang pasar energi sebagai solusi untuk masalah ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan, khususnya Bagian 1- Permasalahan yang diakibatkan oleh mekanisme pasar energi saat ini.
Tayang di medium.com/@kontenenergi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H