Mohon tunggu...
Elly Nagasaputra MK CHt
Elly Nagasaputra MK CHt Mohon Tunggu... Administrasi - Konselor Pernikahan dan Keluarga

Konselor Profesional yang menangani konseling diri, konseling pra-nikah, konseling pernikahan, konseling suami istri, konseling perselingkuhan, konseling keluarga. www.konselingkeluarga.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sulitnya Bertahan dalam Pernikahan yang Tidak Bahagia

9 Maret 2018   17:00 Diperbarui: 9 Maret 2018   17:03 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: couplestherapyinc.com

Ketegangan yang Berlarut

Bertahan pada sebuah pernikahan yang sudah diujung tanduk, itulah yang dirasakan Haryo (40) saat ini. Sepuluh tahun menikah dengan Irma (37), keluarga mereka tidak memiliki kekurangan dalam hal finansial. Sebagai seorang manajer di perusahaan internasional, pendapatan Irma cukup untuk membiayai keluarga kecil mereka yang terdiri dari dua anak. 

Memang, sejak anak keduanya didiagnosis berkebutuhan khusus, mereka sepakat bahwa Haryo yang pendapatannya lebih kecil, resign dan mengurus anak di rumah. Demi anak, Haryo memilih menjadi bapak rumah tangga dan mengurus semua urusan rumah dari sekolah anak-anak, hingga belanja dan memasak.

Tapi, dua tahun belakangan ini, sikap Irma mulai berubah. Menurut Haryo, Irma kian hari kian pemarah. Setiap pulang kantor, ia hanya marah dan mengeluh capek hingga tidak ingin diganggu oleh anaknya. Tapi di saat weekend, bukannya menghabiskan waktu dengan anak dan suami, Irma justru senang pergi seharian untuk bermain bowling dengan teman-temannya. Ia juga sudah jarang ikut acara keluarga besar.

Keadaan rumah yang 'panas' juga mempengaruhi psikologis anak-anak mereka. Tiara(9), anak pertama pasangan ini, bahkan lebih suka di dalam kamarnya sendirian, dari pada bermanja-manja dengan sang ibu ketika ibunya ada di rumah.

Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap Irma yang terkesan semaunya dan tidak lagi menghormati Haryo sebagai kepala keluarga. Tanpa peduli, Irma berbicara mesra dengan pria lain di telpon, di hadapan Haryo. Ya, mereka juga sudah berbulan-bulan tidak pernah bercinta lagi.

Demi anak, Haryo mencoba bertahan. Meski ia merasa tidak bahagia. Belakangan, Haryo memutuskan untuk bercerai saja. Tapi ketika melihat kedua anaknya, ia kembali menjadi ragu dengan keputusan tersebut.

Berjuang dan bertahan hingga persoalan tuntas 

Perlu disadari adalah tidak ada pernikahan yang tidak memiliki masalah. Setiap pernikahan memiliki masalah masing-masing, hanya kadarnya saja yang berbeda. Ada yang masalahnya sedikit, sehingga bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi, ada juga yang masalahnya banyak dan ruwet, sehingga sulit untuk bisa diselesaikan sendiri oleh pasangan tersebut.

Pada dasarnya, sebuah pernikahan harus diperjuangkan agar bisa bertahan, apapun masalahnya. Apalagi sebagai kepala keluarga, Haryo harus lebih berusaha keras lagi untuk memperjuangkan dan mempertahankan pernikahannya. Berjuang sampai titik darah penghabisan, walaupun harus berada dalam kondisi tertekan dan tidak bahagia.

 Tentunya langkah pertama yang perlu dilakukan pasangan untuk memperbaiki hubungan adalah komunikasi. Dalam hal ini, pasangan harus bisa berbicara dengan terbuka, bukan sekadar marah-marah atau komplain. Pasangan harus duduk bersama, mencari akar masalahnya sekaligus merancang solusi bersama untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Dalam kasus Haryo dan Irma, masalah yang dihadapi sudah sangat kompleks. Pola komunikasi sudah bertahun-tahun tidak lagi lancar. Di lain sisi, sikap Irma sudah sangat cuek. Ia seperti 'pasang badan' dan sudah tidak takut lagi pada suaminya. Dalam kasus seperti ini akan sulit bagi pasangan untuk kembali memulai komunikasi. Yang mungkin terjadi, bukan solusi tapi ujung-ujungnya adalah pertengkaran, saling menyalahkan.

Untuk kondisi seperti ini, sebenarnya yang dibutuhkan pasangan untuk membangun kembali komunikasi yang baik adalah seseorang yang memiliki otoritas untuk menengahi dan mengarahkan permasalahan yang ada, sekaligus mencarikan solusi bersama. Dalam hal ini adalah Konselor Pernikahan. Karena mengikuti konseling pernikahan tujuannya adalah mencari solusi yang permanen sekaligus memberikan jalan keluar yang menyeluruh dan tuntas atas masalah yang ada.  

Ketika berlarut-larut dalam situasi seperti Haryo tentu sangat melelahkan. Belum lagi dampak psikologis yang sangat buruk bagi anaknya yang melihat setiap hari pertengkaran orangtuanya dan juga aksi diam kedua orang tuanya.

Sehingga perlu ada penyelesaian masalah secara urgent. Saya selalu katakan, tidak ada guna ada di pernikahan yang hanya formalitas saja. Jika secara hati dan cinta sudah tidak ada. Apalagi jika seperti kasus di atas, bahkan istripun sudah tidak ada respek kepada suami sebagai kepala keluarga.

Terlepas bahwa pencari nafkah adalah istri namun suami tetaplah pemimpin keluarga yang harus dihormati, apalagi keputusan Haryo untuk menjadi "bapak rumah tangga" demi bisa mengurus kedua anaknya, terutama yang berkebutuhan khusus sudah merupakan kesepakatan bersama dari awal.

Tidak ada yang salah ketika sebuah keluarga memutuskan sesuatu yang "berbeda" Misal suami tidak lagi menjadi pencari nafkah utama karena berbagai pertimbangan. Semua keluarga memiliki keunikan dan kesepakatan mereka masing-masing. Namun tentunya harus tetap menjunjung tinggi value dalam pernikahan seperti kejujuran, keterbukaan, saling menghargai dan sebagainya.

Ketika hal ini dilanggar secara terus menerus, akan menimbulkan pertengkaran, kekecewaan, dan sakit hati berkepanjangan. Hingga akan sangat berat untuk melanjutkan hidup dalam rumah tangga.

Ketika kita merasa berat dengan berbagai kesulitan dan merasa sudah sangat penat untuk bertahan maka carilah pertolongan profesional sehingga Anda tidak harus berkubang bertahun-tahun mendatang dalam lingkaran penderitaan yang tidak habis-habisnya.

Ketika persoalan membelit sudah terlalu lama dan tidak ada solusi memang akan sangat berat menjalaninya. Terasa sangat sulit bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia. Sehingga perceraian sangat mungkin dipandang sebagai opsi yang jauh lebih melegakan dibanding terus terkukung dalam ketidakbahagiaan dan rasa tertekan jangka panjang.

Berjuang dan bertahan dalam pernikahan adalah sesuatu yang harus dilakukan. Namun, jangan putus asa karena selalu ada pertolongan ahlinya yang bisa Anda cari. Namun tentu saja berlaku pepatah "nasi sudah menjadi bubur". Karena itu bertindaklah sebelum "nasi" sudah menjadi "bubur" dan tidak bisa lagi melakukan apa apa, selain bercerai.

Salam Sejahtera,

Elly Nagasaputra, MK, CHt

Marriage Counselor & Hypnotherapist

konselingkeluarga.com

klinikhipnoterapijakarta.com

-healing hearts -- changing life -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun