Sang anak murung. Matanya berkaca-kaca. Perempuan berusia sekitar enam puluh tahun yang ada di hadapannya terlihat rapuh dan linglung. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kalau ia sakit. Sepertinya ia berusaha menemukan jejak ingatannya yang hilang. Dan waktu bergulir dengan perkasa. Perasaan Hanum kian terpatri di seluruh rangkaian raga yang sesungguhnya akrab disapa anum ini, Tampaknya sekumpulan gejala yang memengaruhi kemampuan fungsi kognitif otak untuk mengingat, berpikir, bertingkah laku, dan berbicara mulai mengalami penurunan.
Mentari menyambut pagi dihari yang cerah, secerah wajah Hanum ketika menampakkan senyumnya di atas panggung. Hari penyematan bagi siswa akhir di SMA Batu Sangkar Sumatera Barat. Hanum dengan selempang yang terpasang ditubuhnya ‘Siswa Berprestasi’ lulus dengan nilai A terpilih di beberapa perguruan tinggi yang ada di Indonesia bahkan manca negara. Suara hiruk piruk memenuhi tenda penyematan kelas akhir itu, pelukan canda ceria tangisan mengisi suasana hingga sore tiba.
Berjalan sempoyongan ke arah gubuk yang ada di ujung hilir itu, sungguh hari yang sangat lelah namun senyum itu masih awet diwajah teduh Hanum ketika ia membayangkan betapa bangga Amaknya nanti ketika melihat sang anak membawa nama baik keluarganya.
“Asalamualaikum Amak, Hanum pulang.” ucap Hanum membuka pintu rumahnya.
Tampak Amak yang sedang menganyam daun mengkuang, jarak dengan pintu tidak terlau jauh namun tak ada sahutan jawab salam itu. Hanum duduk dihadapan Amak dengan melepaskan selempang yang ia kenakan.
“Amak, ini untukmu. “ ucap Hanum menyodorkan selempang itu.
“Simpan saja, nanti malah rusak kalau kau simpan sini.” jawab Amak tanpa melihat benda yang disodorkan Hanum.
“Baiklah.” ucap Hanum dengan senyuman yang memudar, meneteskan air mata yang tak terbendung.
Sampai kapan ini ya tuhan.
Berhari-hari, berminggu, bahkan berbulan, Hanum bagai bunga edelweis ketika angin menghembus mengikuti arah ia pergi terombang ambing tanpa penguatan. Tiga hari lagi ia harus menentukan kemana ia akan melangkah, apakah menjaga wanita tua yang lupa akan arti kehidupan, atau melanjutkan masa depan yang sudah ia pegang. Tentu saja semua itu kembali pada restu sang Amak.
Hari-hari Amak dikelilingi dengan anyaman daun mengkuang memproduksinya menjadi berbagai kerajinan sebagai penghasil uang untuk menunjang kehidupan sehari-hari nya dan Hanum. Hanum senantiasa membantu Amak ketika tugasnya sebagai pembantu juragan cabai telah selesai. Pikiran Hanum bagaikan ombak yang sedang naik arus tak beraturan, bagaimana cara ia izin kepada Amak untuk pergi kuliah keluar kota sedangkan keadaan keluarganya sedang tidak baik-baik saja.