Ditulis oleh Eyok El-Abrorii
Setelah berdebat persoalan warna soft-lens yang kamu kenakan, kamu menceritakan hal-hal di masa lalumu: yang remeh-temeh, kekanak-kanakan, dan kemarahan.
Lalu kamu membicarakan warna laut. Tadi warnanya keabu-abuan. Katamu, itu karena airnya akan menyesap ke awan.
Bagaimana rasanya mendaki ke awan?
Aku belum sempat menanyakannya, kamu terburu menjelaskan warna-warna laut. Warna biru, katamu adalah tempat ikan-ikan bersedih bersama, lalu warna hijau adalah tempat ikan-ikan mencari pasangan.
"Dan warna coklat apa artinya?"
"Laut mana yang berwarna coklat?"
"Semua tepian laut berwarna coklat."
"Jika kita ikan, apakah kita akan bertemu di hijaunya lautan?"
Aku tertawa, "Jika kita ikan, kita tidak akan dapat melihat bebukitan yang menggemaskan itu."
"Bebukitan itu, yang di seberang laut apakah berada di Pulau Sumbawa?" Pertanyaanmu kemudian. "Kenapa kita perlu tahu tempat-tempat di seberang laut?" Protesku. "Demikianlah, semua hal menjadi perlu, saat sedang bersamamu."
Kita diam bertatap-tatapan, diperhatikan matahari yang mulai kemerahan.
***
Lombok, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H