Untuk para sandera yang lugu dan polos :
- Peter Tonsen Barahama
Lahir ; 8 November 1985
Agama ; Kristen
Alamat ; Kelurahan Bukit Tempayan, kecamatan Batu Aji, Batam.
- Julian Philip
Lahir ; 2 juni 1966
Agama ; Kristen
Alamat ; Kelurahan Sasaran, kecamatan tondang utara, kab Mihanasa
- Alvian Elvis Peti
Lahir ; 11 Agustus 1983
Agama ; Kristen
Alamat ; kelurahan kebon bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara
- Mahmud
Lahir ; 12 juni 1984
Agama ; Islam
Alamat ; Kelurahan Telaga Biru, Banjarmasih, Kalimantan Selatan
- Surian Syah
Lahir ; 27 Agustus 1982
Agama ; Islam
Alamat ; Kelurahan Watubangga, Kecamatan Baruga, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara
- Surianto
Lahir ; 21 Agustus 1985
Agama ; Islam
Alamat ; Gilireng Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
- wawan Saputra
Lahir ; 30 desember 1993
Agama ; Islam
Alamat ; Kelurahan Puncak Indah, Kecamatan Malili, Palopo, Sulawesi Selatan
- Bayu Oktavianto
Lahir ; 15 oktober 1993
Agama ; Islam
Alamat ; Kelurahan Miliran Mendak, Kecamatan Delanggu, Klaten, Jawa Tengah
- Rinaldi
Lahir ; 25 April 1987
Agama ; Islam
Alamat ; Makasar, Sulawesi selatan
- Wendi Raknadian
Lahir ; 3 oktober 1987
Agama ; Islam
Alamat ; Kelurahan Pasar Ambacang, Padang, Sumatra Barat.
Saya ucapkan SELAMAT DATANG dan SELAMAT BERSUA KEMBALI dengan keluarganya masing-masing.
Dan, tentunya kepada yang mulia:
- Presiden Jokowi
- Wakil Presiden Jussuf Kalla
- Menkopolhukam Luhut B. Panjaitan
- Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
- Kapolri Jenderal Badrodin Haiti
- Mentri Luar Negeri Retno LP. Marsudi
- Menteri Pertahanan Riyamizard Riyacudu
- Kepala BIN Sutiyoso
Terimakasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya telah berhasil dengan segenap kemampuan diplomasi total-nya memulangkan 10 WNI dengan selamat, sehat wal afiat tanpa cedera sedikit pun.
Diplomasi Total
Totalitas dalam misi diplomatik yang dilakukan pemerintah melalui kementrian luar negeri memakan waktu relatif lama dan dipastikan memang cukup alot, seiring desakan dan tuntutan publik tentang informasi keberadaan para sandera. Secara formal dan prosedural, upaya pemerintah untuk memulangkan kembali para sandera sudah ditunjukkan secara serius dan nyata dengan melibatkan resource Negara setidaknya 5 (lima) elemen penting dibawah koordinasi Menkopolhukam. Kementrian luar negeri yang seyogyanya ‘berhak’ menjalankan misi diplomasi ini ternyata tidak bermain tunggal. Ada 'pihak lain' yang informal dan berpengaruh dalam memainkan proses negosiasi. Tentu saja, dalam konteks ini, dilapangan banyak tercecer agen-agen diplomatik informal dengan membawa aneka kepentingan beserta simbol-simbol institusi yang melekat pada dirinya. Jaringan komunikasi dan persekutuan politik antar personal dan kelompok adalah kunci keberhasilan bagaimana para sandera itu berhasil dibebaskan. Jika menggunakan daya nalar politik semacam ini, maka kecil kemungkinan para sandera dapat dibebaskan begitu saja kalau hanya sekedar alasan ideologis. Publik tentu berspekulasi memberikan tafsir yang beragam dan mengerucut pada sebuah persepsi bahwa yang lebih realistis dan rasional itu ternyata lebih kepada motif pragmatisme ekonomi. Disamping itu, bisa jadi mereka yang memiliki ‘akses penuh’ sedang berlomba-lomba mencuri adegan untuk berebut menguasai panggung media, menanamkan pengaruh politik, pengincaran atas akses kekuasaan dilingkaran elit istana. Ada kerjasama elaboratif antara pemerintah Jokowi dengan pihak lain dalam negeri yang memiliki reputasi dan pengalaman panjang dalam dunia negosiasi pembebasan sandera. Dan ini sesuatu yang wajar.
Inilah yang kemudian menarik serta menggelitik bagi sebagian publik, pasca dibebaskannya 10 sandera WNI oleh kelompok ekstrimis Abu Sayyaf, yaitu pemerintah mengklaim bahwa keberhasilan proses negosiasi ini adalah hasil Diplomasi Total dari para pihak, baik formal maupun informal. Ini artinya, sebuah pesan komunikasi terbuka dari pemerintah kepada segenap warga Negara bahwa, dalam bahasa awam kira-kira begini ; “ sudahlah gak usah ribut-ribut lagi soal Uang Tebusan, yang penting 10 WNI sudah dibebaskan”. Pidato resmi Presiden Jokowi ini adalah penjelasan sebagai kepala Negara dan pemerintahan tentu disadari atau tidak sebagai obat penenang ditengah-tengah kegelisahan publik atas nasib para sandera. Dan ini adalah buah dari diplomasi total.
Megawati Sandera Jokowi
Uang tebusan 50 juta peso yang dipermohonkan oleh kelompok ekstrimis Abu Sayyaf menjadi kurang begitu penting lagi – meskipun masih relevan- untuk dijadikan bagian utama perbincangan ditengah-tengah euphoria publik ‘menyambut’ kedatangan para sandera.
Klaim-klaim keberhasilan atas upaya pemulangan para sandera oleh beberapa pihak (informal) adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tidak perlu dipergunjingkan hingga kita lupa dan sengaja melupakan pada agenda-agenda penting lainnya . Publik perlu secara dewasa atas pengetahuan dan kesadaran untuk menelaah lebih lanjut dan meneliti lebih dalam, justru saat ini bukan fokus pada peristiwa pembebasannya, tapi cermatilah pernyataan Megawati yang kontradiktif dan berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh Jokowi dan jajarannya.
Penjelasan pemerintah tentang tidak adanya uang tebusan, diperkuat oleh pihak lain yang disebutnya informal yaitu pernyataan testimoni Kivlan Zein. Ia bersama timnya melakukan misi diplomatik, sebagai negosiator yang bertindak mewakili PT. Patria Maritim Lines dimana para sandera itu bernaung.
Kemudian belakang terungkap pula, keterlibatan pihak lain yang sifatnya informal juga, yaitu kehadiran tokoh penting Surya Paloh (Partai Nasdem&Media Group) yang ditengarai aktif ‘berpartisipasi’ melakukan misi diplomatik, tujuannyapun sama ; membebaskan parasandera.
Tiga hal yang menjadi Catatan ;
Pertama, pidato Presiden Jokowi substansinya adalah bentuk apresiasi positif yang ditujukan kepada pihak-pihak (khususnya pihak informal) yang telah nyata berkontribusi dalam format misi kemanusiaan. Dalam konstelasi politik nasional, kadang kita menyaksikan anomali (kejanggalan) yang dipertontonkan elit kepada publik. Kehadiran pihak informal dalam tugas misi diplomatik bisa dipahami sesuatu yang anomali dalam domain hubungan resmi antar kawasan atau Negara. Jika ini dipahami secara apiotik (sempit) dan banalis (dangkal), maka segala macam atribut ideologi dan aneka mozaik tentang spirit ke Indonesia-an itu, tentu tidak lebih seperti barang abstrak dan illusif.
Mental apiotik dan banalitas berfikir ini adalah dua penyakit laten yang menggerogoti sahwat para aktor politik, yang secara diam-diam menyuburkan rasa kecurigaan dan kebencian sesama anak bangsa.
Kedua, statemen Megawati, “ Ya terang saja dilepas, wong dibayar koq “ adalah wujud lain sebuah sandera yang sesungguhnya, ironisnya ini ditujukan kepada kepemimpinan politik Jokowi yang ia anggap sudah seperti 'anak sendiri'. Sebagai petugas partai, tentu Jokowi sangat paham tentang fatsun politik sekalipun tersandera. Pernyataan atau sinisme politik Megawati ini sangat tidak menguntungkan banyak pihak. Penyanderaan Megawati atas Jokowi memiliki implikasi politik yang luas menyangkut trust publik dalam kaitan penyelesaian sandera untuk kurun waktu yang relatif panjang.
Ketiga, keterlibatan tokoh penting Surya Paloh dan Kivlan Zein yang mengambil bagian penting dalam misi diplomatik ini tentu perlu diapresiasi dengan baik. Mereka telah memberi warna tersendiri ketika banyak pihak dinegeri ini terkadang buang muka kemanusiaan dan abai secara sosial terhadap hal-hal yang fundamental.
Kepulangan 10 WNI ke bumi Nusantara, menyisakan satu Tanya :
Ada apa sebenarnya yang terjadi antara Jokowi, Surya Paloh, Kivlan Zein dan Megawati ?
Wallohu’alam…..
Salam kompasiana,….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H