Mohon tunggu...
Ainun Nadliroh
Ainun Nadliroh Mohon Tunggu... -

Tak hanya ingin merangkai kata, namun ingin membuat kisah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Salju

21 November 2013   21:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:50 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baiklah. Seiring
berjalannya waktu, entah mengapa, tanpa disadari aku mulai terjerembab kedalam
ukhuwwah bersama gadis berkacamata ini. Aku lupa. Tapi yang pasti, selama
hampir satu tahun aku hidup di Surabaya,
namun baru belakangan ini aku memiliki nomer HPnya. Aneh, kan? Ya, aneh. Aku begitu takut hanya untuk
bertegur sapa dengannya. Walaupun hanya sekedar via SMS. Jangankan berteman
dengannya, untuk sekedar memanggil namanya saja butuh ribuan molekul keberanian
yang diteguhkan dengan keyakinan.

Namun, (lagi-lagi)
entah mengapa aku tiba-tiba aku mendapat segenap keberanian untuk meminta
nomernya dari salah seorang teman. Kayaknya ketika itu sedang urgent. Tapi
bermula dari sinilah komunikasi ku dengannya mulai terjalin. Terjalin hanya
sebatas sms.

Setelah itu kami
sudah agak terbiasa berkomunikasi (lagi-lagi) melalui SMS. Ternyata, di balik
ke’diam’annya, ia adalah orang yang enak untuk sekedar bercerita dan berbagi. Namun
yang anehnya, kami seakan tidak pernah berkomunikasi langsung. Ada bulan dan malam yang memisahkan kami. Ada bulan dan malam yang
menghantarkan sms kami. Entahlah. Tapi aku mulai menikmati gaya sms yang seperti ini. Seumur-umur baru
kali ini bersms-an dengan perantara bulan dan malam. Dari sini juga aku tahu,
ternyata ia memiliki perbendaharaan sastra yang sangat banyak. Ia seakan
seorang calon sastrawan besar yang sedang merajut mimpinya. Aku yakin, suatu
saat nanti bakalan banyak buku-buku yang terlahir dari ujung penanya. Aku yakin
itu.

Ironisnya, komunikasi
kami ini seakan hanya sebatas mimpi, sebatas dunia maya. Bagaimana tidak,
besoknya, dia yang ku kira sudah “mencair”, kembali “dingin”. Seakan malam
sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa, mungkin pun tak pernah terjadi apa-apa. Ia
kembali kepada keheningan yang tetap bersemayam di dalamnya. Tapi aku nggak
akan pernah protes kepadanya. Ia adalah ia. Bukan aku. Kalau itu sudah menjadi
prinsip hidupnya, mungkin itulah yang terbaik baginya. Lagian, setelah
kupikir-pikir, diam bukan berarti tidak peduli. Mungkin saja disana tersimpan
rahasia besar yang belum boleh aku ketahui. Entahlah….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun