Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita Perlu Naik Level, dari Membuang Sampah Jadi Kelola Sampah

25 Oktober 2024   05:10 Diperbarui: 27 Oktober 2024   00:22 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meningkatnya populasi dan konsumsi masyarakat turut meningkatkan volume sampah yang dihasilkan. Sementara, kapasitas Tempat Pemrosesan Akhir Sampah atau TPA sering kali tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan tersebut. Masyarakat dan pemerintah perlu mengubah cara pandang mengenai pengelolaan sampah.

Menurut data SIPSN, timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 69,9 juta ton. Berdasarkan komposisi sampah yang ada di Indonesia, didominasi oleh sampah sisa makanan sebesar 41,60% dan sampah plastik sebesar 18,71%.

Sedangkan dari sisi sumber sampah, sampah terbanyak berasal dari Rumah Tangga dengan persentase sekitar 44,37%.

Banyaknya TPA yang mengalami timbulan sampah, menciptakan masalah lingkungan yang tak boleh luput dari perhatian, yakni mulai dari tercemarnya tanah dan air hingga menghasilkan gas metana---sebuah gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. Ujungnya adalah kesehatan masyarakat yang kelak--atau bahkan sudah--akan merasakan dampaknya.

Dampak lain meningkatnya timbulan sampah adalah tutupnya TPA itu sendiri seperti yang pernah terjadi di TPA Piyungan, Yogyakarta. Pemerintah Daerah DI Yogyakarta menghentikan pembuangan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Piyungan.

Dampaknya, tiga kabupaten/kota yang biasa mengirim sampahnya ke TPA yang telah beroperasi sejak 1996 itu harus melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Akibatnya, dari penutupan TPA tersebut adalah menumpuknya sampah-sampah di jalan.

Persoalan pengelolaan sampah di Indonesia seakan tidak pernah selesai. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada pengelolaan yang sistematis, komprehensif, dan berkelanjutan sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Dalam peraturan tersebut pengelolaan sampah didefinisikan sebagai kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Kompasianer Repa Kustipia, saat dihubungi Kompasiana, Selasa (09/10/2024), mengatakan saat ini masyarakat sudah jauh lebih baik dan teredukasi dalam urusan membuang sampah. Mereka, katanya, sudah dapat membedakan mana sampah yang organik dan anorganik.

Hanya saja, dikatakannya, saat sampah diangkut untuk dibawa ke TPA, pengangkut kembali menyatukan sampah yang telah dipisahkan tersebut. Hal itu membuat masyarakat bertanya-tanya buat apa dipisahkan kalau nantinya disatukan kembali saat diangkut.

Kompasianer Repa juga menyoroti infrastruktur yang belum merata dan memadai. Mulai dari pengangkut sampah hingga fasilitas umum.

"Di situ mungkin muncul hal-hal dilematisnya dalam hal waste management," katanya.

Persoalan lainnya adalah adanya kesalahan persepsi bahwa TPA adalah tempat pembuangan, bukan pemrosesan.

Kompasianer Nara Ahirullah mengatakan TPA semestinya menjadi tempat akhir sampah-sampah yang tidak bisa atau sulit didaur ulang.

Sementara, lanjutnya, sampah-sampah organik bisa diproses sejak dari rumah. Hanya saja, saat ini masyarakat terbentur ketersediaan infrastruktur. Sehingga, sampah-sampah organik maupun anorganik, berujung di TPA.

Padahal, dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 13 menyebut pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah.

"Artinya infrastruktur pengelolaan sampah itu harus disediakan dulu oleh pemerintah atau pengelola kawasan, baru kemudian masyarakat didorong kelolah sampah. Sekarang kan kondisinya tidak begitu. Orang disuruh memilah sampah tapi nggak dikasih infrastrukturnya,"  jelasnya, saat dihubungi Kompasiana, Rabu (10/10/2024)

"Lalu kemudian ketika orang tidak mau memilah sampah mereka mau disanksi. Sementara selama ini mereka sudah diberi sanksi berupa retribusi. Nah, salah kaprahnya di situ. Ketika mereka sudah membayar retribusi, mereka merasa sudah membayar jasa pengangkut sampah," imbuhnya.

Pembenahan pengelolaan sampah secara menyeluruh dengan sistematis, komprehensif, dan berkelanjutan perlu dilakukan sesegera mungkin. Sebab, dampak positif yang dapat dihasilkan sangat dibutuhkan hari-hari ini.

Misalnya, pengurangan dampak lingkungan. Dengan pengelolaan sampah yang baik, jumlah sampah yang berakhir di TPA atau dibuang sembarangan akan berkurang.

Hal ini juga dapat mengurangi polusi tanah, air, dan udara serta risiko kerusakan ekosistem. Pengolahan limbah organik juga bisa mencegah emisi gas rumah kaca, seperti metana.

Dengan lingkungan yang sehat, maka kualitas kesehatan masyarakat pun terjamin. Sebab, sampah yang dikelola dengan benar mengurangi risiko penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tercemar.

Selain itu, pengembangan ekonomi sirkular. Pasalnya sampah dapat menjadi sumber daya bernilai melalui proses daur ulang atau konversi menjadi energi. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan kompos sampah organik secara mandiri dari rumah.

Kompos sendiri merupakan hasil penguraian bahan-bahan organik seperti sisa makanan, dedaunan, dan ranting pohon melalui proses alami.

Kompos dapat digunakan sebagai pupuk alami yang memperkaya tanah tanpa memerlukan bahan kimia berbahaya.

Selain membantu mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA, kompos juga memiliki manfaat besar dalam mendukung pertanian berkelanjutan dan menjaga kesehatan ekosistem.

Mengelola sampah organik dengan membuat kompos secara mandiri punya banyak manfaat, di antaranya: Mengurangi polusi tanah dan air, mengurangi emisi gas rumah kaca, hingga mendukung pertanian berkelanjutan.

Selain untuk lingkungan, Kompasianer Repa mengungkapkan melakukan pemilahan sampah dan kompos secara mandiri dari rumah juga bisa menjadi healing bagi diri sendiri.

Kompasianer Nara juga menyarankan masyarakat perlu bersepakat secara kolektif untuk melakukan mengompos sampah organik bersama-sama dalam suatu wilayah, baik itu tingkat RT maupun RW.

Dengan melakukan praktik baik bersama-sama seperti ini, kita telah mencicil untuk bumi dan masa depan yang lebih baik.

Kita semua memiliki peran penting dalam mengatasi masalah sampah. Mulai dari memilah sampah di rumah, mendukung kebijakan ramah lingkungan, hingga ikut berpartisipasi dalam gerakan sosial yang peduli lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun