Hai Kompasianer!
Siapa yang Sabtu (14/09/24) kemarin meluangkan waktunya buat piknik dan dialog di Taman Literasi Jakarta bareng Kompasiana? Gimana, dapat ilmu apa saja setelah diskusi dan saling sharing?
Yup, Kompasiana memeriahkan salah satu rangkaian agenda Pesta Literasi di Taman (Pelita) yang digelar Integrasi Transit Jakarta. Lebih dari 50 peserta antusias membahas tema yang sampai saat ini selalu menarik perhatian: Why blogging is still relevant?
Blogging Era Sekarang
Di awal era kepopuleran internet sekitar tahun 90an sampai 2000an, platform blog dan forum-forum komunitas sempat
merajai di Indonesia. Namun, era berubah dan tren berganti. Dari teks beralih ke audio visual, video singkat, foto, ditambah dengan kecerdasaan buatan (artificial intelligence) yang bisa membuat pengguna tak terbatas imajinasinya.
COO Kompasiana, Nurulloh, menjawab pertanyaan ini. Pada dasarnya, blogging adalah tempat kita untuk mengutarakan gagasan, pendapat, dan unek-unek tanpa harus terpaku pada format teks. Sehingga sampai kapan pun, nge-blog atau blogging akan tetap relevan dan kembali lagi ke kebutuhan kita sebagai kreator.
"Jadi kalau ada penekanan 'apakah blogging masih relevan', kebetulan di Kompasiana dalam sehari ada 1.500 (tulisan) yang tayang, [jadi] bisa dijawab kan, artinya masih relevan nggak tuh kalau [antusiasme kreator] tumbuh terus?" kata Nurulloh.Â
Menurut Nurulloh, semua konten digital yang kita konsumsi saat ini adalah bagian dari blog. Hanya saja, di era teknologi yang semakin berkembang, blog menjelma menjadi beragam format, mulai dari teks hingga audiovisual seperti podcast dan vlog.
"Sajian audiovisual seperti podcast dan vlog sebenarnya semua dasarnya adalah video blogging, karena balik lagi ke asal [definisi] blog itu, yakni web blog-- yang terdiri dari "www", dan blog (catatan). Jadi web blog adalah catatan yang diunggah di internet. Sehingga apa pun bentuknya--nggak hanya teks, tapi juga video, atau sekadar suara seperti podcast, itu bagian dari aktivitas nge-blog," tutur Nurulloh.Â
Jangan Berhenti Bercerita
Apa pun format dan bentuk blog-nya, Nurulloh berpesan ke kita semua agar jangan pernah berhenti bercerita. Sesuai dengan tagline Kompasiana, "Every Story Matters", semua cerita yang kita bagikan membunyai arti dan dampak untuk diri sendiri dan orang lain.Â
Karena itu, Kompasiana hadir menjadi salah satu platform digital yang mewadahi para blogger untuk bercerita. Berkaryalah sesuai dengan minat, passion, dan sesuatu yang kita kuasai agar bisa konsisten storytelling tanpa terhalang writer's block.
"Soal writer's block, kita harus kenali diri kita apa yang kita suka dan kuasai. Atau mungkin ketika ingin meningkatkan jumlah kunjungan, kita harus identifikasi kebutuhan orang, apa, sih, tren yang lagi ramai? Setiap orang punya pengalaman yang berbeda, kita cari celahnya," kata Nurulloh.
Kompasianer Ini Kasih Contoh Blogging yang Berdampak
Selain Nurulloh, narasumber lain yang bercerita soal hobi blogging adalah Tutut Setyorinie. Tutut adalah Kompasianer sekaligus pegiat lingkungan yang aktif bercerita di Kompasiana. Baca artikel-artikel Tutut di sini, ya!
Keresahannya sebagai warga Bekasi yang bermukim hanya 10 kilometer dari TPA Bantar Gebang membuatnya bersiasat menciptakan lingkungan bebas dari sampah. Lewat tulisan dan aksi nyatanya, Tutut menyebarkan edukasi pembuatan kompos mandiri untuk mengurangi volume sampah rumah tangga.Â
"Saya baca berita, kondisi TPA Bantar Gebang sudah setinggi gedung 16 lantai, sudah terjadi gunungan sampah. Jadi banyak sampah yang kita setorkan  setiap harinya. Saya selama 25 tahun ini, kurang lebih ada 18 ribu kantong sampah yang kita setor. Kesimpulannya, kita buang sampah cuma memindahkan sampah aja, sampahnya tetap ada dan menggunung. Itu berbahaya," kata Tutut.
Selama ini, Tutut konsisten menyuarakan keresahannya di platform Kompasiana tentang sampah dan kompos. Untuk meminimalisasi volume sampah, Tutut tidak lagi membuang sampah sisa makanan ke tong sampah yang hanya berakhir di TPU.Â
"Semua sampah organik aku masukkan ke wadah komposter untuk kemudian dicampurkan dengan daun-daun kering, cocopeat, dan tanah.
Hasil dari mengompos dijadikan campuran untuk tanaman buah dan sayur saya di pekarangan rumah" ujar Tutut.
"Percayalah, tidak ada kompos yang gagal. Yang ada hanya manusia gagal karena terlalu cepat menyerah," lanjutnya.
Keresahan Tutut akan lingkungan menjadikannya konsisten untuk terus menulis dan bercerita. Itulah salah satu tips Tutut agar tidak mengalami writer's block.
"Luangkan waktu, punya target. Cari kesukaan kita di mana," tutupnya.
Aksi Tutut dalam melestarikan lingkungan sejalan dengan tujuan Kompasiana yang ingin mendorong pembangunan berkelanjutan untuk hidup yang lebih lestari. Saat ini, Kompasiana mempunyai sebuah program bernama Game Changer.
Game Changer adalah aksi kolaboratif Kompasiana dengan Kompasianer dan Komunitas dalam merealisasikan ide dan gagasan melalui pembuatan konten dan gerakan nyata pada sektor pendidikan, lingkungan, kesehatan, ekonomi mikro, dan energi terbarukan.
Aksi ini merupakan bagian dari gagasan besar KG Media dalam program Lestari, sebuah komitmen berkelanjutan yang berisi serangkaian aksi nyata dalam mendukung akselerasi 17 agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, melalui media-media yang tergabung di jaringan KG Media.
Setiap individu dan kelompok yang ada di Kompasiana dan elemen masyarakat lainnya juga dapat ikut serta dalam misi ini melalui pembuatan cerita dan aksi nyata.
Edisi pertama Game Changer mengusung #SemuaBisaBelajar, sebuah kampanye sosial yang mengangkat isu "aksesibilitas pendidikan di Indonesia" . Dalam edisi pertama ini, kita bisa ikut berkontribusi mewujudkan #SemuaBisaBelajar dengan berdonasi untuk Taman Baca Pinjam Pustaka di Sorong. Klik di sini untuk berdonasi.Â
Yuk, jadilah blogger yang memberi dampak. Cerita Lestari Baru Dimulai di Sini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H