Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keterbatasan Infrastruktur Jadi Tantangan, Antusias Belajar Perlu Dijaga

9 September 2024   18:05 Diperbarui: 11 September 2024   10:16 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendapatkan akses pendidikan yang layak telah menjadi prioritas nasional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa akses pendidikan belum merata, terutama di daerah-daerah terpencil.

Tantangan geografis dan keterbatasan infrastruktur sulit dipungkiri bahwa itu menjadi faktor hambatan untuk merasakan pendidikan yang memadai. Daerah terpencil di Indonesia umumnya memiliki kondisi geografis yang sulit dijangkau. Akses transportasi pun menjadi terbatas. Kerap kali anak-anak yang tinggal di daerah tersebut harus menempuh jalan jauh dan berliku demi mendapat pendidikan.

Selain itu, infrastruktur penunjang belajar pun sering kali tidak memadai, dengan bangunan yang rusak, kekurangan fasilitas dasar, dan minimnya sumber belajar.

Baca Juga: Bisa Nggak Ya Pendidikan Nonformal Jadi Harapan Baru Pendidikan?

Kondisi tersebut diperburuk oleh keterbatasan akses teknologi dan internet, yang sekaligus semakin memperlebar kesenjangan pendidikan antara daerah terpencil dan perkotaan.

Hal-hal seperti demikian diamini oleh Kompasianer Halimah Maysaroh ketika Kompasiana mewawancarainya beberapa waktu lalu. Dia mengaku, di beberapa daerah harus mengalami kondisi tidak mudahnya dalam hal mengakses pendidikan.

Kompasianer Halimah yang berprofesi sebagai seorang guru di Pulau Buru, Maluku, Ambon mengatakan bahwa kondisi anak-anak di daerah pesisir perlu mendapatkan perhatian. Sulitnya menjangkau sekolah karena keterbatasan infrastruktur seperti medan jalan yang tidak bersahabat hingga belum meratanya sekolah hingga pelosok menjadi permasalahan mendasar.

Pengalamannya mengajar sebuah sekolah di sana, dia harus menggunakan perahu untuk menyeberang 1 hingga 2 jam perjalanan. Atau di lokasi lainnya, dia harus menggunakan sepeda motor selama 5-6 jam perjalanan, naik turun gunung.

Kemudian ketersediaan listrik dan internet yang belum memadai turut memperburuk situasi. Listrik yang tidak merata dan internet yang belum memadai membuat proses belajar mengajar membutuhkan upaya lebih.

Sebagai contoh, anak-anak di sana pernah harus menyeberangi lautan selama satu jam untuk mendapatkan akses internet dan harus menumpang di rumah warga setempat untuk menjalani ujian.

Keadaan demikian tidak saja berdampak pada murid, tetapi kepada tenaga pengajar. Keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi pun menjadi terhambat.

Kompasianer Halimah menceritakan contoh kasus yang pernah ditemui. Seorang tenaga ajar terpaksa gagal lulus uji kompetensi lantaran sulitnya internet. Peserta uji kompetensi tersebut terpaksa harus menjalani ujian via online di pinggir laut.

"Jadi karena ujiannya di bibir pantai, kan, suara angin sama ombaknya kencang banget. Jadi suaranya gak kedengeran. Materi presentasinya jadi nggak jelas juga, kan," katanya.

Di sisi lain, yang juga perlu mendapat perhatian di sana adalah faktor ekonomi. Anak-anak di sana kerap kali terpaksa berhenti bersekolah ketiga musim panen tiba, lantaran ketika musim itu tiba, para orangtua meminta mereka untuk membantu memetik hasil panen.

Dilematis sebenarnya. Sebab hasil panen tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan mereka. Biaya hidup di pedalaman yang lebih mahal dibandingkan kota membuat situasi ini semakin sulit.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, sebagaimana diceritakan Halimah, antusiasme masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi. Orangtua sangat bekerja keras demi memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.

Di sana, orangtua rela untuk tidak membeli beras hingga menemani anak-anak mereka menyeberang ke kota untuk bersekolah. Hasilnya, tidak sedikit masyarakat yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana.

Baca Juga: Dayu Rifanto, Jendela Buku bagi Anak-anak

Dukungan masyarakat adat terhadap pendidikan pun sangat tinggi. Beberapa tokoh adat kerap menggelar doa bersama demi kelancaran anak-anak dalam mengenyam pendidikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi banyak tantangan, semangat dan dukungan untuk pendidikan di daerah terpencil tetap tinggi.

"Kalau di sini, gurunya tidak masuk mengajar atau datang terlambat, mereka kerap dicari oleh murid-muridnya. 'Miss, ke mana, kenapa belum datang', dan sebagainya. Itu artinya apa? Artinya mereka, anak-anak, sangat antusias untuk belajar," kata Kompasianer Halimah.

Serupa tapi tak sama di Simbuang

Apa yang diceritakan Kompasianer Halimah, turut dialami Kompasianer Yulius Roma Patendena. Kompasianer Yulius yang juga berprofesi sebagai guru berbagi pengalamannya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Pendidikan di Tana Toraja, menurutnya, sudah lebih baik dalam beberapa tahun terakhir.. Namun tidak pada daerah-daerah sekitarnya.

Di Simbuang, misalnya, sebagaimana diceritakan Kompasianer Yulius, jadi salah satu daerah yang cukup tertinggal dari segi pendidikan. Daerah ini terbilang jauh dari kota dan akses jalan yang cukup sulit turut menambah persoalan.

Suatu ketika Yulius pernah bertugas menjadi pengajar praktik pendidikan guru penggerak di sana. Dia harus menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Itu pun dengan catatan, cuaca sedang cerah. Jika hujan, perjalanan bisa mencapai 12 jam.

"Saya jalan jam 3 sore, baru sampai jam 9 malam. Saya harus bertanya 12 kali baru ketemu tempat yang saya tuju. Tidak semua orang tahu daerah sana, dan saya pun baru pertama kali ke sana ketika itu," katanya. (Perjalanan menuju Simbuang pernah dituliskan Kompasianer Yulius di sini dan di sini)

Di daerah ini pun tidak banyak guru yang mengajar, hanya ada satu kepala sekolah dan satu guru. Bahkan dia pernah mendapati sekolah yang tidak didatangi oleh kepala sekolahnya selama 9 bulan lamanya.

Menurut Kompasianer Yulius, hal itu bukan disebabkan kekurangan guru, melainkan tidak meratanya guru yang mengajar. Mereka lebih memilih mengajar di kota. Keterbatasan akses dan infrastruktur serta perbedaan tradisi dan budaya di Simbuang menjadi penyebabnya.

Persoalan ekonomi juga turut jadi hambatan anak-anak dalam mengenyam pendidikan. Di sana, mayoritas anak muda lebih memilih menjadi "pengasuh" kerbau petarung. Mereka mendapatkan imbalan yang cukup lumayan untuk seusia remaja.

Kerbau adalah hewan yang tak bisa dipisahkan dari kegiatan budaya di Toraja, khususnya pada acara Rambu Solo' (kedukaan). Memiliki kerbau dapat pula diartikan sebagai simbol kesejahteraan.

Hobi anak muda Toraja memelihara dan merawat kerbau petarung bukan tanpa alasan. Selain karena penghasilan yang diterima terbilang lumayan bagi mereka yang masih belia, adu kerbau menjadi salah satu tontonan hiburan warga Toraja yang hampir tiap bulan ada pelaksanaannya di seantero Tana Toraja dan Toraja Utara melalui kegiatan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Adu kerbau diadakan secara resmi karena adanya kegiatan Rambu Solo'.

Para anak muda Toraja memegang peran penting akan keberadaan kerbau-kerbau petarung ini. Merekalah yang berjibaku merawat kerbau. Satu ekor kerbau petarung biasanya dirawat oleh satu kelompok anak muda. (Perihal kerbau petarung dan anak muda bisa baca di sini)

Kendati demikian, seperti yang dialami Kompasianer Halimah sebelumnya, anak-anak di Simbuang memiliki semangat dan antusias belajar yang cukup tinggi. Tak jarang, anak-anak juga kerap datang lebih awal ketika bersekolah.

Apa yang diceritakan baik oleh Kompasianer Halimah dan Kompasianer Yulius setidaknya memberikan gambaran bagaimana kondisi pendidikan kita hari-hari ini. Segudang persoalan, terutama kaitannya dengan akses pendidikan tidak boleh terus dibiarkan.

Mengutip KOMPAS.id, persoalan-persoalan ini sesungguhnya sudah lama terjadi. Masih terbatasnya dan kurang akomodatifnya sekolah terhadap peserta didik, masih banyak anak-anak yang kesulitan mendapatkan sekolah.

Baca Juga: Yuk, Kita Wujudkan Mimpi Anak-anak di Papua dengan Buku!

Selain itu, aksesibilitas terkait dengan jarak dan rute tempuh, di mana kerap kita saksikan tontonan viral siswa yang berjalan belasan kilometer menandakan bahwa aksesibilitas terhadap lembaga pendidikan masih sangat terbatas dan bermasalah.

Permasalahan dan keterbatasan ini menjadi tantangan besar bagi anak-anak yang ingin mengejar mimpi melalui pendidikan. Pemerintah, guru, dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk sama-sama mencari jalan keluarnya.

Keterbatasan tidak boleh jadi api dalam sekam dalam akses pendidikan. Bagaimanapun, mereka adalah masa depan bangsa, dan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan harus dijamin.

Dan terpenting, harapan dan antusias anak-anak sekolah adalah lentera yang harus terus kita jaga bersama, meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun